Konvensi Capres Dongkrak Elektabilitas Partai

Jumat, 05 April 2013 – 23:41 WIB
JAKARTA -  Board of Advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jeffrie Geovanie mengatakan partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) perlu mempertimbangkan kembali konvensi mengusung calon presiden (Capres). Menurutnya, cara ini dianggap menjadi strategi untuk bisa mendongkrak elektabilitas partai.

Jeffrie menjelaskan konvensi ini pernah dipraktekkan Partai Golkar pada tahun 2004 saat dipimpin Akbar Tanjung. Konvensi yang dimenangi Wiranto ini ternyata cukup efektif mendongkrak suara partai berlambang beringin itu. Hasilnya, Golkar kembali menjadi partai pemenang Pemilu yang digelar 5 April 2004.

"Setelah konvensi Capres bergulir, hebohlah politik nasional. Pemilih dipaksa untuk mengikuti dari hari ke hari konvensi tersebut. Dan terbukti kemudian Golkar memenangi Pemilu," kata Jeffrie dalam keterangannya persnya di Jakarta, Jumat (5/4).

Dikatakan pula Jeffrie, konvensi ini sangat ideal karena juga memberikan peluang bagi Capres alternatif untuk diusung. Pemilih juga bisa mendapatkan informasi yang lebih utuh jika para Capres ini diberikan panggung di media untu menyampaikan visi dan misinya.

"Ide konvensi capres ini ideal sekali namun akhirnya kita harus terbangun dari mimpi mengingat perilaku para pemilik partai yang tampaknya tidak akan berkenan melakukan itu dengan seribu alasan pembenaran," katanya.

Saat ini, nama-nama Capres yang yang high profile dengan elektabilitas tinggi sudah bermunculan. Namun yang bersangkutan bukan kader atau pengurus partai misalnya Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Gita Wirdjawan, Mahfud MD  dan Din Syamsuddin.

Sementara itu, Peneliti Ma'arif Institute for Culture and Humanity, Endang Tirtana mengatakan tradisi konvensi politik sudah dimulai pada tahun 1766 di Amerika Serikat. Konvesi ini kemudian berkembang dan banyak diadopsi oleh banyak negara karena terbukti mengundang gairah politik di masyarakat.

Dalam perkembangannya, konvensi Capres memang ada sisi positif dan negatifnya. Endang mengatakan sisi positifnya adalah pemilih tidak terkesan "membeli kucing dalam karung" karena mendapatkan lebih banyak informasi.

"Meskipun tidak bisa ditampik juga, bahwa "bisnis konvensi" bisa menjadi hal negatif juga dalam partai ketika "sawer uang" dijadikan strategi untuk memenangkan konvensi termasuk anggapan bisa menimbulkan perpecahan partai karena calon-calon yang kalah akan bermanuver," katanya.

Namun di Indonesia, tradisi konvensi ini belum sepenuhnya diterima oleh para elit partai. Endang mengatakan untuk bisa dibudayakan,  butuh keikhlasan dari para petinggi partai karena mayoritas parpol di indonesia masih dikendalikan kelompok-kelompok tua yang tidak ingin lepas dari kekuasaan. (awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketua DPD Puji Sikap Danjen dan Prajurit Kopassus

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler