jpnn.com - Saya baca puisi lagi. Juga puisi lama.
Kali ini di Konya. Di pedalaman Turki. Di halaman makam Maulana Rumi. Yang juga museumnya.
BACA JUGA: Di Balik Kemewahan Itu
Suhu minus lima. Salju di mana-mana. Saya pilih puisi pendek. Agar tidak keburu membeku. Dan agar mudah di-upload.
Puisi Maulana Rumi.
Puisi yang berumur hampir 1.000 tahun.
BACA JUGA: Sarahâs Bag Itu
Puisi abadi.
BACA JUGA: Kuliahkah di Lebanon
Saya terpaksa mampir toko. Membeli ketu. Yang sampai menutup telinga. Juga membeli sarung tangan. Yang model baru. Yang tetap bisa untuk main HP.
Minus lima derajat.
Angin pula.
Telinga terasa mau copot. Telapak tangan mati rasa.
Tapi saya tahan diri.
Untuk tetap membaca puisi.
Bukankah itu puisi Rumi? Yang mengajarkan pengorbanan tanpa batas? Mengapa takut mati kedinginan?
“Dalam keadaan marah dan murka, jadilah seperti orang mati” kata Maulana Rumi.
“Mbudek dan micek,” kata filsafat Jawa. Artinya: menulikan telinga. Dan membutakan mata.
Rumi pujaan saya. Sejak remaja. Juga pujaan orang sedunia. Lihatlah siapa saja yang datang ke Konya. Dan mereka melakukan apa.
Saya lihat wanita India. Dari Mumbai. Duduk bersila. Di lantai ruang besar makam itu.
Saya juga bersila di sebelahnya. Setelah tadi lama bersila di pojok sana.
Saya amati wanita India itu. Saya tunggu dengan sabar. Kapan dia membuka mata.
“Saya bisa merasa tenang di sini,” katanya. Setelah matanya melihat dunia di sekitarnya. Dan melihat keinginan saya menyapanya.
“Saya sekarang memilih tinggal di Konya. Agar tiap hari bisa menenangkan diri di sini,” katanya.
“Dengan suami? ” tanya saya.
“Sendiri. Suami yang sering ke sini,” jawabnya.
Wanita itu lulusan teknik industri. Lalu bekerja di Dubai. Di perusahaan minyak. Selama hampir 20 tahun.
“Uang banyak untuk apa? Kalau jiwa tidak tenang?" katanya.
Ia pun berhenti bekerja. Terutama setelah kehilangan anak wanita satu-satunya. Umur 5 tahun. Kecelakaan mobil.
Nama wanita itu Amrita. Tidak hanya selalu bersemedi. Tapi juga sampai mendalami sufi Rumi. Termasuk mempraktikkan tari sufi. Tari Sheman. Yang muter-muter tanpa henti itu.
“Saat menari itu Anda bisa sampai trance“? tanya saya.
“Tentu,” jawabnya.
Murid-murid di madrasah saya juga selalu latihan tari itu. Di Takeran, Magetan. Tapi lebih untuk pertunjukan. Bukan untuk menaikkan jiwa ke luar angkasa.
Anda Islam? Hindu?
Dia tidak langsung menjawab. Lama menundukkan kepala. Saya pun merasa bersalah. Terlalu terbawa jiwa wartawan.
Mestinya saya ke sini membawa jiwa tarekat. Pertanyaan seperti itu menghina.
Maulana Rumi tidak pernah mempersoalkan agama. Bahkan dalam satu puisinya Rumi menulis: bukan Islam, bukan Kristen, bukan Yahudi.
Yang penting: jiwa bisa sampai. Ke Yang Maha Agung. Yang Maha Pencipta.
Tapi Rumi adalah Islam.
Guru tasawuf. Sufi Agung, mesti ia tidak pernah mengklaim itu.
Rumi lahir di tahun 1207. Setengah abad sebelum Majapahit berdiri.
Sebenarnya ia lahir di Balukh. Dulu wilayah Parsi. Sekarang masuk Afganistan. Memang Rumi dari suku Parsi. Yang sekarang mendominasi Iran.
Zaman Rumi, Mojopahit belum ada. Kerajaan Pajajaran belum lahir.
Kita merasa zaman Mojopahit itu begitu kunonya. Guru sejarah tidak meletakkan Mojopahit dalam peta dunia. Saat mengajar di SD dulu. Tidak pernah ada penjelasan: di zaman itu di mana sudah seperti apa.
Konya sudah melahirkan Rumi.
Meski Mojopahit kemudian juga melahirkan Empu Prapanca. Wartawan pertama kita.
Di Konya udara memang membeku. Di luar Rumi.
Di Konya jiwa mengangkasa. Di dalam dada.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Druze
Redaktur : Tim Redaksi