JAKARTA - Lingkaran setan kasus korupsi yang melibatkan elite politik tidak akan bisa diputus tanpa mereformasi sistem pendanaan partai. Tanpa adanya UU Keuangan Partai dan pembatasan dana kampanye dalam UU Pemilu, UU Pilpres, dan UU Pilkada, berbagai hiruk pikuk agenda pemberantasan korupsi tidak akan berdampak signifikan.
"Masyarakat justru semakin permisif ketika disuguhi korupsi Senayan dan istana," kata pengamat politik Burhanuddin Muhtadi dalam diskusi Saling Sandera Kasus Korupsi Parpol di gedung DPR kemarin (5/7).
Burhan -begitu dia biasa disapa- mencontohkan, saat ini banyak terpidana korupsi yang keluar dari penjara justru mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Ada juga tersangka korupsi yang terpilih dalam pilkada.
"Jadi, lama- kelamaan, ada proses perayaan terhadap korupsi. Ini efek sistem (yang) nggak dituntaskan dari awal. Korupsi menjadi semacam festival yang dinikmati sebagai tontonan," kata peneliti senior di Lembaga Survei Indonesia (LSI) itu.
Belakangan, sindir Burhan, muncul respons Presiden SBY yang menganggap korupsi sebagai "perlombaan". Dalam pidatonya beberapa waktu lalu, SBY menyebut masih ada partai lain yang kadernya lebih banyak terjerat kasus korupsi daripada Partai Demokrat. "Seolah-olah korupsi dilihat dari kuantitasnya," kritiknya.
Burhan khawatir konstruksi korupsi di kalangan parpol sudah bukan lagi persoalan etis, melainkan teknis semata. Artinya, pelaku korupsi sekadar dianggap "kurang ahli" atau bernasib sial. "Lama-lama korupsi menjadi amunisi parpol untuk menghantam parpol lain. Ini disebabkan konstruksinya bukan etis lagi," tegasnya.
Menurut Burhan, sepanjang tidak ada aturan pembatasan dana kampanye dalam pelaksanaan pemilu, pilpres, dan pilkada, maka masih banyak politisi, termasuk kepala daerah, yang masuk penjara karena korupsi politik. Burhan mencontohkan, dalam pelaksanaan pilkada, kepala daerah yang mendapat dana kampanye dari para cukong dan bandar besar akan menggantinya dengan barter proyek. "Akibatnya, kita berputar-putar dalam lingkaran korupsi," tandasnya.
Adanya indikasi saling sandera antarparpol dalam kasus korupsi itu dibenarkan anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat serta Ketua Divisi Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul. Martin kembali mengingatkan tentang pidato SBY mengenai parpol yang kadernya lebih banyak terjerat kasus korupsi daripada Partai Demokrat.
Pernyataan SBY itu seolah terjustifikasi oleh ditetapkannya Zulkarnaen Djabar, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Alquran. "Jadi, seperti saling menyandera. Tiba-tiba muncul kasus Zulkarnaen Djabar. Padahal, kasus ini sudah ada sejak lama," kata anggota komisi III itu.
Ruhut Sitompul yang juga duduk di Komisi III DPR berpandangan sama. "Sandera-menyandera itu jujur saja ada," ungkapnya. "Aku nggak buka kau, tapi kau juga jangan buka aku," imbuh Ruhut. Menurut dia, fenomena politik saling sandera semacam itu tidak baik. "Dalam berpolitik itu tetap ada etikanya," tegasnya.
Tapi, anggota Fraksi Partai Golkar Nudirman Munir tidak sependapat. "Baik Fraksi Partai Golkar maupun Partai Golkar tidak merasa atau pernah melakukan sandera-menyandera. Kalau memang ada yang melakukan (korupsi), ya harus ditindak," tegasnya. Menurut dia, korupsi itu sepenuhnya tanggung jawab individu masing-masing anggota dewan. (pri/c3/agm)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tinggal Selangkah, BPIH Diputuskan Selasa Depan
Redaktur : Tim Redaksi