Korupsi di Kampus, Jadikan Introspeksi

Rabu, 09 Mei 2012 – 07:25 WIB

JAKARTA–Pernyataan Ketua DPR, Marzuki Ali yang menuding korupsi kerap dilakukan civitas kampus dan alumni, telah membuat sebagai akademisi gelisah. Lontaran pendapat tersebut dianggap terlalu mengeneralisir persoalan, apalagi menyebutkan kampus tertentu.

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, A Bakir Ihsan mengatakan, pendapat tersebut tak perlu disikapi secara negatif. Pendapat itu didasari oleh berbagai fakta-fakta yang ada. Tak bisa diingkari tindak korupsi itu terjadi di kalangan akademisi.

”Tak perlu diingkari. Lebih baik mari kita bangkit bersama, menata kampus bebas korupsi,” ujar A Bakir Ihsan dalam surat elektroniknya yang diterima INDOPOS (Grup JPNN), Jakarta, Selasa (8/5).

Memang sangat memprihatinkan, lanjut dia, perguruan tinggi yang menjadi basis moral juga terseret dalam arus korupsi. Tak lagi mampu menahan dari tindakan tak terpuji tersebut. Menurutnya pelaku korupsi memang menyeret siapa saja. Tak melihat status dan pendidikan. Korupsi menyerupai serangan yang sangat eksesif, terjadi pada semua kalangan.

”Saya percaya banyak dosen yang masih dapat menjaga diri, tapi tak sedikit pula yang terseret arus tersebut,” paparnya. Tak diingkari pun, tambah dia banyak kampus yang telah membekali lingkungannya dnegan pendidikan anti korupsi. Bahkan diperkuat dengan kegiatan keagamaan sebagai nilai-nilai moral.

Tetapi nyatanya, ucap dosen FISIP UIN ini, pendidikan yang diajarkan tak begitu memberi pengaruh. Tindak korupsi terus terjadi. Pelakunya pun dari kalangan orang terdidik. ”Tak boleh menyalahkan sistem. Karena korupsi yang terjadi sudah begitu luas, menyerang banyak lembaga, termasuk kampus,” ungkapnya.

Dia berharap kampus bisa menjadi sumber gerakan anti korupsi. Perguruan tinggi pelru kembali mengembangkan tri dharma perguruan tinggi. Karena itu menjadi symbol peran perguruan tinggi dala kehidupan.

Meningkatnya tindak korupsi, tak terlepas dari lemahnya pendidikan di perguruan tinggi. Perlu kesadaran berasma tentang kenyataan tersebut. Perguruan tinggi harus berbenah menjawab perubahan dan tantangan. ”Seharusnya perguruan tinggi menjadi epicentrum perlawanan korupsi. Bukan sebaliknya menjadi penyumbang koruptor,” papar dia.

Selain itu, A Bakir Ihsan meminta dua institusi pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan secaar langsung, yakni Kemendikbud dan Kemenag dapat lebih mengontrol lembaga pendidikan. Memberikan sanksi bagi kampus yang di dalamnya ada tindak korupsi.

Pernyataan serupa disampaikan Menteri Pendidikan M. Nuh. Dikatakan, di beberapa kasus, orang menjadi pintar melanggar aturan setelah lulus kuliah. Ada banyak hal yang membuat seseorang menjadi suka melanggar aturan.

"Oleh karena itu, ayo sama-sama kita benahi. Itu kan nakalnya setelah lulus. Terus dia ikut opo, ikut opo, semua tidak menjamin sehingga yang harus kita lakukan pembenahan sistemnya secara keseluruhan," ujar M Nuh saat memimpin rapat pembahasan RUU Perguruan Tinggi (PT) di kantornya, Selasa (8/5).

Menurutnya, penggeneralisasian alumni kampus mana yang paling korup tidaklah tepat. Dia mencontohkan, jika ingin mencari orang nakal di Indonesia, maka sebagian besar merupakan orang Jawa. Hal itu jarena populasinya paling banyak. "Dari teori statistik kan begitu. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengambil generalisasi seperti itu," sambung Nuh.

Namun, lanjutnya, jika ada perguruan tinggi yang nakal maka seharusnya introspeksi. "Bisa jadi PT-nya sudah mempersiapkan dengan baik, tapi setelah keluar dari PT kan nggak bisa lagi kita kendalikan. Organisasi kepemudaan juga begitu. Organisasi politik juga begitu, dan seterusnya," paparnya.  (rko/dms)



BACA ARTIKEL LAINNYA... Perjalanan Dinas Sedot 1,6 Persen APBN


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler