JAKARTA – Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan data mengejutkan soal penindakan kasus korupsi bidang pendidikan dalam kurun waktu 2009. Ditemukan 95 kasus korupsi pendidikan mandek, tanpa keterangan apapun dengan kerugian negara mencapai Rp 154 miliar.
Bukan itu saja, penegak hukum pun membuat keunikan. Dengan meneribikan hak istimewa, yakni Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) terhadap satu perkara korupsi pendidikan.
“Dari 160 kasus yang ditangani penegak hukum, hanya 56 kasus yang berhasil divonis. Ini memperlihatkan data yang menohok terkait pemberantasan korupsi bidang pendidikan,” ujar Koordinator Peneliti ICW, Febridiansyah di kantor ICW, Jakarta, Kamis (12/1).
Menurutnya terlantarnya 95 kasus korupsi pendidikan di lembaga penegak hukum itu harus direspons keras. Mandeknya penyidikan terhadap 95 kasus korupsi ini memberikan indiaksi lain. Bahkan memunculkan pendapat adanya penyimpangan prosedur penyidikan kasus.
Dia menilai perkara yang sudah ditangani sejak 2009 itu sewajarnya mendapatkan progress penyidikan yang lebih cepat. Apalagi dari perkara tersebut sudah ada tersangkanya. Sehingga tidak mungkin perkara tersebut ‘hilang’ tanpa kabar.
“Masa ada kasus korupsi yang berhenti, tanpa kejelasan. Ada sesuatu dari kasus ini, dan sangat wajar kalau ICW berpikiran demikian,” ujar dia.
Dalam penyampaian Indonesian Corruption Out Look 2012 bidang Pendidikan, Febri menegaskan korupsi bidang pendidikan ini sangat beragam modusnya. Mulai dari penyimpangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), mark up anggaran, penggelapan, pemotongan sampai pungutan liar.
Lokasi tindak korupsinya pun, sambung dia, terjadi sangat beragam. Mulai dari sekolah, intansi daerah, sampai instansi pemerintah pusat. Termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama.
“Korupsi bidang pendidikan ini sudah terlalu lama dibiarkan. Jika ada penindakan pun kerap sebatas mengaburkan perkara saja,” tuturnya.
Fakta yang ditemukan ICW, lanjut dia, dalam kurun waktu 2009 saja 160 kasus korupsi yang sudah ditangani kejaksaan dan kepolisian itu tidak semuanya tuntas. Bahkan sudah rentang perkaranya cukup lama dibiarkan berlarut-larut.
Lebih detil dia menyebutkan kasus yang ditangani kejaksaan-kepolisian ini sudah pada tingkat yang berbeda. Pada tingkat banding terdapat 1 kasus dengan kerugian Rp 3,7 miliar, tingkat kasasi terdapat 1 kasus dengan kerugian Rp 100 juta, tingkat SP3 terdapat 1 kasus dengan kerugian Rp 1,6 miliar.
“Tahap tuntutan terdapat 6 kasus dengan kerugian Rp 4,9 miliar dan tahap vonis sebanyak 56 kasus dengan kerugian negara Rp 94,4 miliar,” pungkasnya.
Jika ditotalkan dari perkara yang ditangani, Febri menjelaskan, terdapat 65 kasus sudah masuk pengadilan dan divonis. Tapi kasus yang mandek tanpa keterangan jumlahnya mencapai 95 kasus dari total perkara 160 kasus. “Ini makin besar jumlahnya jika diakumulasikan dengan kasus korupsi tahun 2010 sampai 2011,” kata dia.
Menurutnya, kasus korupsi pendidikan ini merupakan perkara yang kerap berkaitan dengan kepentingan politik. Karena semua partai melirik bidang pendidikan sebagai bagian dari kampanye. Sehingga tak heran anggaran pendidikan ini pun sangat besar.
Sayangnya, ujar dia, banyaknya anggaran yang menyimpang itu tidak diimbangi dengan penindakan. Kejaksaan-kepolisian tidak serius meneliti perkara tersebut. Ditambah lagi pengawasan anggaran pendidikan sangat lemah.
“BPK-BPKP belum semua memantau penggunaan dana pendidikan. Karena lembaga itupun kesulitan tenaga auditor. Jadi sulit memantaunya. Disinilah korupsi itu terjadi,” pungkasnya. (rko)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Guru-Siswa Madrasah Internasional Wajib Kuasai Tiga Bahasa
Redaktur : Tim Redaksi