Korut Ancam Serang AS Lagi

Pyongyang Bakal Dimasukkan List Pendukung Terorisme

Selasa, 23 Desember 2014 – 05:05 WIB

jpnn.com - SEOUL - Skandal Sony Pictures mengakibatkan hubungan Korea Utara (Korut) dan Amerika Serikat (AS) kian panas. Sejak Washington menuding Pyongyang berada di balik serangan cyber yang memaksa Sony Pictures membatalkan penayangan The Interview pada Hari Natal, pemerintahan Kim Jong-un menebar berbagai ancaman terhadap AS.

Dalam surat ancamannya, Korut memperingatkan seluruh penduduk AS untuk waspada. Sebab, mereka tidak hanya akan menyerang Gedung Putih dan Pentagon alias markas Departemen Pertahanan, namun juga seluruh wilayah Negeri Paman Sam. "Militer dan rakyat DPRK (Korut) sangat siap berkonfrontasi dengan AS dalam segala bentuk perang apa pun, termasuk cyber," terang Korean Central News Agency (KCNA).

BACA JUGA: Mobil Singapura via Johor Bayar Rp 71 Ribu

Kemarin (22/12) Pyongyang ganti menuding Presiden AS Barack Obama menebarkan rumor. Sebab, Korut tidak pernah berada di balik peretasan Sony Pictures seperti tuduhan Washington.

"Tapi, kami memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para peretas Sony Pictures meski tidak mengenal mereka. Mereka telah melakukan hal yang benar," lanjut KCNA yang mengutip komentar pejabat senior Korut.

BACA JUGA: Anjing Tembak Tuannya

The Interview, film parodi tentang kisah fiksi pembunuhan Kim Jong-un, seharusnya akan tayang pada 25 Desember. Tetapi, serangan cyber terhadap Sony membuat cuplikan The Interview muncul di internet dan memantik amarah sekelompok masyarakat. Terutama masyarakat Korut yang tidak bisa menerima skenario matinya pemimpin mereka di tangan dua wartawan AS.

Selain bocoran The Interview, serangan cyber terhadap Sony itu mengakibatkan tersebar luasnya cuplikan beberapa film Holywood lain. Skrip film terbaru James Bond pun kini bisa bebas dibaca di internet. Bukan hanya itu, beberapa e-mail pribadi antara tokoh film dan produser, serta surat elektronik penting sejumlah lembaga keuangan juga bocor ke muka publik.

BACA JUGA: Tas Hilang di Bandara, Ketemu setelah 20 Tahun

Akhir pekan lalu, Obama memberikan tanggapan resmi terkait dengan skandal Sony Pictures. Dia menyayangkan keputusan Sony Pictures yang membatalkan premiere alias penayangan perdana The Interview di seluruh bioskop AS karena ancaman kelompok-kelompok tidak jelas. Kelompok-kelompok itu mengancam melancarkan serangan mirip 11 September 2001 alias 9/11 jika The Interview tetap tayang pada Natal ini.

Soal tudingan tersebut, Korut menyatakan bersedia menginvestigasi skandal peretasan itu bersama AS. Pyongyang tidak yakin dengan laporan FBI dan intelijen AS yang menyebut adanya identitas Korut pada peretas. Sayangnya, AS tidak menanggapi ajakan Korut untuk bersama-sama menelusuri kasus tersebut. Obama juga memilih berpegang teguh pada laporan FBI dan intelijennya.

Partai Republik lantas mendesak Obama menjatuhkan sanksi baru terhadap Korut. Gagasan itu sempat memantik amarah Pyongyang. Mereka berjanji tidak tinggal diam bila Washington benar-benar menjatuhkan sanksi baru. Namun, Obama tidak menganggap serangan cyber itu sebagai ancaman perang. Karena itu, pemimpin 53 tahun tersebut akan lebih dulu meninjau.

"Saya rasa, ini tidak berkaitan dengan perang. Menurut saya, ini adalah vandalisme. Vandalisme yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Sangat mahal," tegas Obama. Dalam pidato kenegaraannya pada Minggu malam waktu setempat (21/12), politikus Partai Demokrat itu berencana mencantumkan kembali Korut dalam daftar negara-negara pendukung terorisme.

"Kami memiliki kriteria yang sangat jelas untuk bisa memasukkan sebuah negara ke dalam kategori negara pendukung terorisme atau bukan. Kami juga tidak menilai hanya berdasar kabar dari media. Kami akan melakukan peninjauan sistematis tentang ini semua," papar Obama lebih lanjut. Dia berjanji menyikapi serangan cyber tersebut dengan bijaksana dan transparan. (AP/AFP/BBC/hep/c14/ami)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sang Ibu Tersangka Pembunuhan 7 Anaknya


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler