Kota Tua Menjadi Pilihan Belajar, Diikuti Setiap Anak Setiap Sore

Selasa, 26 November 2013 – 03:37 WIB

jpnn.com - Berakhir pekan dengan keluarga di kawasan wisata Kota Tua tentu mengasyikan. Namun, tidak demikian bagi mereka, anak-anak jalanan yang kurang beruntung.

Hiruk pikuk keramaian Taman Fatahillah justru menjadi ladang pengisi pendaringan hidup mereka sehari-hari. Selebihnya, dihabiskan dengan bermain. Lalu, bagaimana dengan belajar?

BACA JUGA: Belajar Alquran dengan Teknologi

Langit di balik gedung Stadhuis (Museum Fatahillah) sedikit menguning kemerahan. Tanda hari mulai senja. Seantero taman kala itu ramai seperti biasanya.

Di antara kawan kecil berkaos merah, Nalendra duduk bersila beralas terpal biru. Di hadapannya meja lipat kecil sebagai alas untuk menulis. Bocah 7 tahun itu mengerutkan dahi. Kebingungan mengisi jawaban penjumlahan di buku tulisnya yang mulai lecak.

BACA JUGA: Bogor Kekurangan Guru SD

Berulangkali hasil guratan pinsilnya digosok karet penghapus. “Masih salah itu, bukan 3 tapi 5, kan tandanya tambah,” kata Nengsih (35) menemani putranya belajar bersama di depan Gedung Pos Indonesia, Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat.

Nengsih senang bisa memberikan anak-anaknya pendidikan. Meski bukan di sekolah reguler. Tak hanya Nalendra, Galih yang berusia 6 tahun dan Bagus, 3 tahun juga diikutsertakan. Belajar bersama ratusan teman lainnya.

BACA JUGA: Skema Penghitungan Jam Mengajar Diubah

“Malah bukan saya yang mau, si kecil yang suka ngajak aja, 'Mak belajar yuk di taman,” ujar istri pengemudi truk itu menirukan ajakan si bungsu.

Nengsih sejak 15 tahun tinggal berpindah tempat di Jakarta. Belakangan ini tinggal di pinggir kali, di samping Kalog, belakang Jalan Kunir, Kawasan Kota Tua, Taman Sari, Jakarta Barat. “Kebetulan, anak-anak belum sekolah, tapi senang bisa belajar, biar pinter katanya mau jadi sopir yang bisa terbang (pilot),” ucap perempuan asal Tegal, Jawa Tengah itu.

Begitulah gambaran susana setiap Sabtu sore di Taman Fatahillah. Mulai pukul 15.00-18.00, sekitar 150 anak-anak kecil berkumpul, belajar bersama di teras luar Gedung Pos Indonesia. “Mereka ini ada yang anak jalanan, pengamen, anak-anak pedagang kaki lima, dan sejenisnya. Di antaranya juga ada yang putus sekolah,” ujar Bunda Any (37), Kepala pembina anak-anak di lokasi itu.

Tak pernah terpikirkan sebelumnya. Berawal dari satu ajakan, diikuti ratusan kawan kecil lainnya. Niat tulus Any tidak memberi sedekah ke anak-anak pengamen. Mengundang kebaikan lain, bersedia memberikan makan dan minum apa yang mereka ingin. Lebih dari itu, kata hatinya menyentuh ke pendidikan yang seharusnya anak-anak jalanan itu peroleh. Tapi malah menghabiskan waktu mencari uang.

“Tadinya setiap Sabtu saya ajak nongkrong aja, tapi lama kelamaan makin banyak, mereka ajak temannya yang lain,” ucap perempuan bernama lengkap Any Kusuma Dewi itu.

Dua tahun berlalu, kegiatan belajar mengajar anak asuh Any berjalan lancar. Hanya untuk satu tujuan, agar anak-anak senang. Nyatanya begitu, setiap ketemu Bunda. “Kalau dulu, terlalu riuh pedagang di taman ini jadi gak kebagian tempat,” ucapnya.

Disebut perempuan asal Blitar, Jawa Timur itu program edukasi yang diberikan ke anak-anak jalanan ini 'Bermain sambil belajar'. Menurutnya, anak-anak di usia antara 3-15 tahun itu sedang asyik-asyiknya bermain. Bagaimana membuat mereka tetap ingin belajar, pastinya penyampaian materi juga layaknya permainan.

“Gak jarang, anak-anak diminta berkeliling, mencatat tentang sejarah bangunan di sekitar taman ini, kapan didirikan dan letaknya di mana,” kata Any.

Lambat laun, kecintaan Any melekat di hati anak-anak asuhnya di taman itu. Komunitas yang tadinya kecil, tumbuh membentuk Yayasan. Any menamainya Yayasan Tri Kusuma Bangsa. “Dua tahun lalu yayasan itu saya bentuk, saya yang pelopori sendiri biar anak-anak betah belajar disini," kata ibu beranak tiga itu.

Tanpa lokasi, tanpa kantor pusat, yayasan yang dibentuk Any melaju di taman itu. “Ya di sini saja, gak pakai kantor pusat segala, saya cuma ingin anak-anak bangga saja, sama diri mereka sendiri,” ujarnya sambil terus tertawa. “Haha, punya yayasan tapi gak punya tempat, saya cukup senang di taman ini bisa lepas,” tambahnya.

Di gelaran beralas terpal, meski tanpa ruang kelas. Jenjang usia belajar di yayasan itu tetap digolongkan. Kelas Bintang untuk anak setaraf Playgroup dan Taman Kanak-kanak (TK), Kelas Bulan setaraf anak kelas 1-3 Sekolah Dasar (SD).

Kemudian, Kelas Matahari setaraf kelas 4-6 SD, Kelas Bumi setaraf kelas 1-3 Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Kelas Pelangi untuk anak berkebutuhan khusus. “Ada 4 anak yang masuk kelas Pelangi di sini,” ujarnya.

Tentunya tanpa bantuan relawan dan guru bantu, Any tak akan sanggup membimbing masing-masing kelas. Layaknya sekolah reguler, setiap kelas di taman belajar itu ada wali kelasnya. Ada ketua kelasnya juga. Mata pelajarannya juga tetap sama, ada Bahasa Indonesia, menulis, berhitung, menggambar, membaca, hingga mengaji.

“Kurikulumnya juga disesuaikan, kalau di sekolah musimnya ujian. Sebab disini ada juga anak yang masih bersekolah reguler. Nanti kalau mereka ujian, kita juga ujian. Ada raport-nya juga, yah sekadar bentuk penghargaan, kan mereka juga jadi bangga, bahkan yang dapat ranking, juga dikasih piala,” papar Any.

Jauh dari bayangan Any, mengeluarkan ijazah bagi anak didiknya usai lulus nanti. Menginat waktu belajar hanya 3 jam seminggu, tentunya masih jauh setaraf dengan syarat mutlah legitimasi yang dikeluarkan pemerintah.

“Saya ketemu mereka 3 jam dalam seminggu, anggap aja raport ini sebagai penyemangat, kan ada piala juga buat yang ranking. Usaha mereka mau datang juga perlu dihargai. Setidaknya mereka datang ke sini ada kesan menyenangkan,” ucap perempuan berkulit putih itu.

Sedikit membuka diri, motivasi Any membentuk yayasan belajar gratis ini digelutinya sejak 10 tahun lalu. Istri seorang pengusaha ini sudah memiliki anak asuh di segala penjuru daerah. “Yah, di tempat asal saya aja (Blitar) ada ratusan anak, di Jakarta ada yang di Cakung, Cawang, Jakarta Timur sama di sini,” ungkap perempuan yang sedang menyelesaikan studi Manajemen dan Hukum di dua universitas berbeda ini.

Masa kelam sosialita kehidupan bersama kawan sepergaulanya dirasakan sudah cukup. Glamour, senang-senang, pesta, layaknya kehidupan artis ditinggalkannya sejak tiga tahun silam. Menyenangkan anak-anak jalanan ini merupakan titik balik, katanya.

“Baru tiga tahun lalu saya benar-benar pegang kendali, saya putuskan ingin fokus dan membentuk yayasan, yang pure (murni) milik saya sendiri, donaturnya juga saya, tak lagi dipegang karyawan seperti dulu,” ucap Any yang berkaca mata hitam sambil merapihkan rambut lurusnya yang pirang.
Justru, lanjut Any, spekulasinya itu mendapat tanggapan dari kawan-kawan lamanya. Mereka ikut support, memberikan makanan dan minuman untuk anak asuhnya usai belajar.

Bukan bubur kacang hijau, susu, atau coklat. Tapu makan malam yang nikmat. “Makan nasi sama ayam,” kata Siti Anissa (14) yang mengaku senang ikut Bunda Any.

Nissa panggilannya, murid Any paling besar. Sejak awal ikut bergabung, belajar di taman itu. Gadis berkulit sawo matang itu siswi putus SD di Pasuruan, Jawa Timur.

“Berhenti kelas 3 SD, udah gitu ikut bunda, diajak bunda juga main ke rumahnya. Kalau temen-temen, sekarang udah pada kelas 2 (SMP),” tutur Siti lalu terdiam. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 4 Ribu Siswa Bersaing di RP Science Competition


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler