"Pengamatan kami dalam beberapa tahun terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan salah satu aktor pelumpuh terhadap upaya pemberantasan korupsi," kata Ronald, Senin (1/10).
Dijelaskan Ronald, upaya pelemahan itu begitu nyata yang terlihat dalam dua hal. Yaitu disebutkan dia, upaya politisasi anggaran untuk menghambat pembangunan gedung KPK dan penggunaan fungsi legislasi untuk merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengarah pada pelumpuhan KPK.
"Upaya pelumpuhan tersebut disinyalir dilatarbelakangi fakta bahwa saat ini KPK sangat gencar menangani kasus korupsi politik di DPR," katanya.
Ia menegaskan, tercatat beberapa politisi dari berbagai partai politik dicokok oleh KPK. Pun demikian, Badan Anggaran (Banggar) yang disinyalir sebagai episentrum korupsi di DPR pun tidak luput dari pengawasan dan aksi KPK.
"Sehingga politisi korup di DPR merasa terganggu dan melakukan upaya serangan balik menggunakan dua fungsinya yaitu penganggaran dan legislasi," kata Ronald.
Dia menjelaskan, anggaran pembangunan gedung KPK sebetulnya telah disetujui oleh DPR dan pemerintah melalui APBN 2012 dengan nilai Rp72,8 milyar atau sekitar 4,7 persen dari seluruh usulan gedung baru untuk lembaga yudikatif yang ada.
Namun dalam prakteknya, kata dia, DPR justru berupaya menghalang-halangi pencairan anggaran untuk membangun gedung tersebut. DPR menyatakan bahwa anggaran KPK diberi tanda bintang sehingga tidak bisa digunakan.
"Alasan yang digunakan juga cenderung dipaksakan. Awalnya DPR menyarankan agar KPK menggunakan gedung milik pemerintah yang tidak terpakai. Namun, alasan ini dimentahkan oleh pernyataan Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan bahwa tidak ada gedung yang bisa digunakan sesuai kebutuhan KPK," ujarnya.
Menurut Ronald, perlu diingat bahwa KPK adalah lembaga penegak hukum yang membutuhkan sarana dan prasarana khusus untuk menunjang tugas dan kewenangannya dalam penegakan hukum seperti halnya kepolisian dan kejaksaan.
"Jika dibandingkan dengan lembaga sektor penegakan hukum, anggaran pembangunan gedung kepolisian dan kejaksaan juga disetujui oleh DPR," katanya. Dia menjelaskan, anggaran pembangunan gedung Mahkamah Agung Rp663,216,819,000.00 atau 43,15 persen. Kemudian, Polri Rp556,742,039,000.00 atau 36,22 persen, Kejaksaan Rp244,233,569,000.00 atau 15,89 persen dan KPK hanya Rp72,834,918,000.00 atau 4,74 persen.
Total Rp1,537,027,345,000.00 atau 100 persen. "Namun ada perlakuan berbeda yang dilakukan oleh DPR. Ini mengisyaratkan bahwa fungsi anggaran DPR telah disalahgunakan untuk melemahkan lembaga anti-korupsi," katanya.
Pelemahan kedua adalah dengan mempreteli instrumen kewenangan KPK terutama yang terkait penindakan hukum (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan). Upaya ini dilakukan melalui revisi terhadap UU 30 Tahun 2002.
Ia menyebutkan, bentuk upaya pelemahan diantaranya kewenangan penututan KPK yang akan dipangkas oleh DPR.
Dijelaskan, DPR juga akan mempersoalkan masa jabatan pimpinan pengganti KPK dan soal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Kemudian, kata dia, rencana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dibentuk DPR justru membuka potensi intervensi politik ke KPK sekaligus memperbesar kewenangan DPR dan penyadapan KPK harus sesuai ijin pengadilan. "Padahal korupsi adalah extraordinary crime," tegasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivis Tionghoa Serukan Lawan Penistaan Agama
Redaktur : Tim Redaksi