JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dituding ingin memberangus habis semangat kebebasan pers. KPU mengeluarkan peraturan yang intinya mengancam mencabut izin penyiaran, penerbitan pers jika melanggar aturan.
"Tak jelas apa maksud KPU menjadi rezim pembabat kehidupan bangsa. Setelah membabat habis keberadaan parpol, kini semangat pembabatan mengalir ke dunia pers," sesal Pengamat Politik, Ray Rangkuti, Rabu (17/4).
Dijelaskan Ray, dalam Peraturan KPU (PKPU) nomor 1 tahun 2013 tentang aturan kampanye, semangat membabat media tertuang dengan tegas dan samar. Yang samar, ia menjelaskan, dalam Pasal 36 ayat (5) dimana intinya berbunyi: selama masa tenang media dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.
Selain itu juga ada Pasal 44 ayat (1) yakni: media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye pemilu bagi peserta pemilu.
Nah, sementara pasal yang menurut Ray semangatnya malah seperti masa otoriter adalah pada Pasal 46 yang isinya soal sanksi media massa yang dianggap melanggar. Yang paling keras adalah yang tertuang dalam huruf f. "Media yang melanggar aturan dapat dicabut izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penertiban media massa cetak," ungkap Ray memaparkan isi dalam salah satu pasal itu.
Dia mengaku heran mengapa cara berpikir rezim otoritarian ini bisa menyusup ke benak anggota Komisioner KPU. Menurutnya, mencabut izin media karena melanggar aturan pemilu bukan saja telah lama diwanti-wanti oleh Mahkamah Kontitusi untuk tidak lagi dipakai, tetapi juga sangat bertentangan dgn smangat reformasi dan pembangunan demokrasi.
"Tidak mudah dipercaya norma pembatatan masuk ke PKPU ini sebagai semata kealfaan," terangnya.
Ray pun menilai ada yang jadi masalah di kepala dan benak anggota komisioner. Yakni semangat yang terlalu ingin mengatur banyak hal, memandang memiliki kekuasaan secara mutlak, serta melihat bahwa keberadaan media yang bebas adalah ancaman bukan jembatan menuju demkrasi yang sehat. "Jelas ini tindakan yang disengaja. Dibuat dengan kesadaran penuh," ungkapnya.
Dia menilai ketika muncul protes lalu KPU berkilah ada kelalaian, itu adala cara mengelak tak elegan. Oleh karena itu, ujarnya, tak cukup meminta agar pasal-pasal itu dicabut. "Lebih dari itu, KPU mestinya mencari tahu unsur yang mengakibatkan cara berpikir 'pembatatan' bisa terjadi dilingkungan mereka," terangnya. "Cabut pasal pembabatan," Ray mengakhiri. (boy/jpnn)
"Tak jelas apa maksud KPU menjadi rezim pembabat kehidupan bangsa. Setelah membabat habis keberadaan parpol, kini semangat pembabatan mengalir ke dunia pers," sesal Pengamat Politik, Ray Rangkuti, Rabu (17/4).
Dijelaskan Ray, dalam Peraturan KPU (PKPU) nomor 1 tahun 2013 tentang aturan kampanye, semangat membabat media tertuang dengan tegas dan samar. Yang samar, ia menjelaskan, dalam Pasal 36 ayat (5) dimana intinya berbunyi: selama masa tenang media dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak Peserta Pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.
Selain itu juga ada Pasal 44 ayat (1) yakni: media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye pemilu bagi peserta pemilu.
Nah, sementara pasal yang menurut Ray semangatnya malah seperti masa otoriter adalah pada Pasal 46 yang isinya soal sanksi media massa yang dianggap melanggar. Yang paling keras adalah yang tertuang dalam huruf f. "Media yang melanggar aturan dapat dicabut izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penertiban media massa cetak," ungkap Ray memaparkan isi dalam salah satu pasal itu.
Dia mengaku heran mengapa cara berpikir rezim otoritarian ini bisa menyusup ke benak anggota Komisioner KPU. Menurutnya, mencabut izin media karena melanggar aturan pemilu bukan saja telah lama diwanti-wanti oleh Mahkamah Kontitusi untuk tidak lagi dipakai, tetapi juga sangat bertentangan dgn smangat reformasi dan pembangunan demokrasi.
"Tidak mudah dipercaya norma pembatatan masuk ke PKPU ini sebagai semata kealfaan," terangnya.
Ray pun menilai ada yang jadi masalah di kepala dan benak anggota komisioner. Yakni semangat yang terlalu ingin mengatur banyak hal, memandang memiliki kekuasaan secara mutlak, serta melihat bahwa keberadaan media yang bebas adalah ancaman bukan jembatan menuju demkrasi yang sehat. "Jelas ini tindakan yang disengaja. Dibuat dengan kesadaran penuh," ungkapnya.
Dia menilai ketika muncul protes lalu KPU berkilah ada kelalaian, itu adala cara mengelak tak elegan. Oleh karena itu, ujarnya, tak cukup meminta agar pasal-pasal itu dicabut. "Lebih dari itu, KPU mestinya mencari tahu unsur yang mengakibatkan cara berpikir 'pembatatan' bisa terjadi dilingkungan mereka," terangnya. "Cabut pasal pembabatan," Ray mengakhiri. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... CPNS Penjaga Mercusuar Sepi Peminat
Redaktur : Tim Redaksi