Kriminalisasi Kontrak Migas Dianggap Hambat Investasi

Minggu, 26 Januari 2014 – 16:22 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Kriminalisasi terhadap kontrak kerjasama pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) atau Production Sharing Contract (PSC) terbukti telah menghambat investasi. Indonesia sama sekali tidak bisa berharap adanya peningkatan produksi migas dalam kondisi sekarang ini.

Hal ini diungkapkan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto terkait kondisi investasi di sektor migas pada 2014. Menurutnya, kriminalisasi terhadap kontrak migas, salah satunya yang dialami karyawan dan kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam kasus bioremediasi telah menjadi salah satu penghambat utama investasi di sektor migas tahun ini.

BACA JUGA: Genjot Pendapatan, AP II Bangun Hotel di Kawasan Bandara

“Terbukti, sampai 2014 tidak ada investasi besar sektor migas yang masuk ke Indonesia. Para investor takut dan ragu-ragu, setelah masuk dan menanamkan modal dalam jumlah besar, kontraknya diintervensi oleh pihak lain. Yang sudah terlanjur masuk (menanamkan investasi, red) untuk sementara memilih bertahan,” ujar Pri Agung dalam keterangan persnya, Minggu (26/1).

Di sektor hulu migas Indonesia saat ini, kata Pri Agung, para investor takut dan malas masuk. Sedangkan yang sudah terlanjur masuk, hanya mau bertahan, tanpa mau menanamkan investasi lebih besar lagi. Mereka cuma melanjutkan, merawat fasilitas dan menjaga tetap berproduksi. “Kita sulit berharap investasi yang besar pasca kasus bioremediasi. Misalnya investasi yang besar untuk EOR (Enhance Oil Recovery), tidak akan terjadi,” ucapnya.

BACA JUGA: Pemerintah Tak Tahu Ada Orang Asing di Direksi Blitzmegaplex

Bila kondisi ini terus berlanjut, imbuhnya, maka kita tidak bisa berharap produksi minyak nasional bisa naik sampai diatas satu juta barel per hari, seperti yang ditargetkan pemerintah. “Jangankan naik, bertahan saja sulit. Yang jelas produksi minyak akan terus turun akibat kondisi ini. Kontraktor migas yang ada hanya mau merawat lapangan, tapi takut investasi,” tandasnya.

Menurut Pri, kalau ingin produksi minyak naik, mutlak dibutuhkan investasi. Baik untuk eksplorasi maupun  untuk mengoptimalkan sumur produksi. “Mustahil produksi minyak naik tanpa investasi baru. Tapi kenyataannya sekarang, investor takut masuk,” ungkapnya.  

BACA JUGA: AP II Belum Untung Operasikan Bandara Halim

Dalam situasi seperti ini, kata Pri Agung, mestinya pemerintah turun tangan. Presiden harus meluruskan persoalan bioremediasi ini, agar tidak terus menghambat investasi. Tapi yang terjadi presiden hanya diam, dan tiap-tiap komponen penyelenggara negara termasuk penegak hukum jalan sendiri-sendiri. Padahal para pakar hukum telah menegaskan, bioremediasi bukan kasus korupsi.

Sebelumnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof DR Romli Atmasasmita, SH LLM telah menegaskan, kasus bioremediasi mutlak bukan kasus korupsi. Selain karena kegiatan pembersihan bekas minyak pada tanah itu dinaungi PSC yang masuk ranah perdata, kesalahan yang dituduhkan kepada para karyawan dan kontraktor PT CPI merupakan pelanggaran administratif.

“Mereka ini kan dianggap bersalah gara-gara ada kontrak yang tidak dibaca secara teliti. Kalau toh itu benar, maka kategorinya mal-administrasi, bukan korupsi. Mal-administrasi tidak sama dengan perbuatan melawan hukum,” ujar guru besar yang ikut menyusun Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ini.  

Romli menerangkan, ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk korupsi atau tidak. Yang perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang, dan adanya kerugian negara. Ketiga unsur ini harus dipenuhi secara komulatif. Jika salah satunya tidak ada, maka tidak bisa disebut tindak pidana korupsi.

Ia menambahkan, dalam UU Tipikor juga ada pasal 14 yang mengatur batasan-batasan perbuatan yang dikategorikan korupsi. Namun pasal 14 ini seolah tidak pernah ditengok oleh penegak hukum, baik jaksa, hakim, termasuk pengacaranya.

“Jaksanya merasa tidak seksi jika suatu kasus tidak digiring ke korupsi. Hakimnya takut kalau tidak memvonis bersalah orang yang dituduh korupsi, akan dianggap membebaskan koruptor, diperiksa Komisi Yudisial, dan sebagainya. Pengacaranya takut kalau membela dengan pasal 14, maka kasus cepat selesai dan ‘argo’-nya pendek. Nah negara hukum macam apa Indonesia ini?,” tukasnya.

Pakar hukum migas, M Hakim Nasution juga telah menerangkan, kegiatan yang dinaungi PSC tidak bisa dikategorikan korupsi. Karena dalam PSC telah diatur mekanisme over dan under lifting (pengembalian, red) jika terjadi kelebihan atau kekurangan penyerahan minyak jatah negara. “Jika terjadi perselisihan, mekanisme penyelesaiannya melalui arbitrase. Jadi PSC ini murni perdata,” tegasnya.

Terkait kriminalisasi yang terjadi pada PSC, Hakim menilai bukan UU-nya yang salah. Melainkan tidak adanya leadership (kepemimpinan) yang meluruskan arah penegakan hukum. “Sistem politiknya harus diubah, agar ke depan kita mendapat pemimpin yang berkualitas,” ujarnya. Hakim pun memastikan, investor tidak akan ada yang berani masuk, bahkan kabur dari Indonesia, jika situasi ini tidak dibenahi. (awa/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Strategi Indomaret Hadapi Kompetitor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler