Kritik Ahok, Mantan Wagub DKI: Saya Prihatin...

Sabtu, 14 Februari 2015 – 09:25 WIB
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto. Foto: Dokumen JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengritisi kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Berbagai predikat buruk yang disandang ibukota. Mulai dari kota paling tidak aman, paling macet, paling buruk mengatasi banjir, pemprov terkorup di Indonesia, bayar PBB termahal, dan paling tidak menghargai PKL.

Berbagai predikat yang disandang Jakarta itu membuktikan bahwa Ahok tidak mampu mengelola pemerintahan dengan baik.

BACA JUGA: Duh, Nyaris Saja jadi Korban Begal Motor Depok

"Terus terang, saya prihatin dengan kondisi Jakarta saat ini," ujar Prijanto kepada INDOPOS (Grup JPNN.com), kemarin (13/2).

Prijanto juga menyoroti, kebijakan Ahok yang menjadikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemprov DKI sebagai PNS termahal di Indonesia. Pasalnya, penghasilan PNS DKI pada anggaran 2015, memiliki penghasilan yang sangat fantastis.

BACA JUGA: Ahok Minta Satu Kamar di Istana Bogor

Ada dua remunerasi, yaitu TKD Statis dan TKD Dinamis. Menurut Prijanto, TKD Dinamis dapat  dinilai tidak wajar. TKD Dinamis berpotensi melanggar aturan, norma kepatutan, berlebihan dan ketidakadilan. Bahkan, ekstremnya kebijakan TKD Dinamis  bisa masuk katagori memperkaya orang lain. Artinya kebijakan ini, pelaksanaannya bisa masuk dalam Tipikor.

Prijanto juga memaparkan, remunerasi di Pemprov DKI dalam bentuk TKD (tunjangan kinerja daerah) pada tahun 2010, lahir karena pengelolaan keuangan daerah sebelumnya. Terdapat indikasi ketidakadilan dan pemborosan.

BACA JUGA: Jelang Valentine, Pasar Bunga Rawa Belong Banjir Pembeli

Sebelum ada TKD, ketidakadilan tercermin adanya 12 SKPD/UKPD yang menerima Tunjungan Khusus sebesar 1x gaji tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Sedangkan pemborosan tercermin adanya Tupoksi yang dijadikan program oleh SKPD/UKPD. Pemborosan terbesar, adanya komponen honor sebesar 1,2 T per tahun. Untuk menghapus ketidakadilan dan pemborosan menjadi remunerasi TKD yang berkeadilan dan  proposianal tidaklah mudah.

"Walaupun akhirnya Gubernur pak Foke menyetujui penghapusan tunjangan khusus dan komponen honor diganti dengan TKD. Silahkan baca buku “Kenapa Saya Mundur Dari Wagub DKI Jakarta,” tegas Prijanto.

Dia menjelaskan, ketika penghasilan PNS Pemprov DKI tahun 2015 naik dengan angka yang fantastis, dan dengan alasan mencegah korupsi, efisiensi, serta penghapusan komponen honor Rp 2,3 triliun per tahun, jelas mengundang pro dan kontra.

Prijanto mengkritisi, meningkatkan penghasilan yang membuat iri PNS di daerah lain itu, belum tentu bisa mengerem nafsu korupsi. Selama PNS, masih berpola hidup harus punya mobil Alphard, apartemen, rumah bertingkat, ruko, kebun, anak sekolah di luar negeri, golf seminggu dua kali (di Singapura atau Brunei), maka keinginan korupsi sulit dibendung.

Artinya, untuk mengerem nafsu korupsi, di samping pemberian kesejahteraan, harus juga diiringi dengan menata pola hidup para PNS. Apabila kebijakan TKD Statis dan TKD Dinamis muncul karena adanya  komponen honor Rp 2,3 triliun per tahun, jelas kelalaian dan pelanggaran yang disengaja oleh yang memprogram dan pengawas.

Sebab sejak tahun 2010, komponen honor sudah tidak diizinkan karena sudah diganti dengan TKD. Kebijakan TKD Statis dan TKD Dinamis dengan alasan sudah ada komponen honor tidak bisa dibenarkan.

"Setelah ada ketentuan komponen honor tidak ada, tetapi masih muncul, gubernur dan wakil gubernur harus bertanggung jawab. Mereka berdua memiliki kewajiban yang sama dalam pengelolaan keuangan daerah," ungkap Prijanto. (wok/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dikecam Ahok, Menteri Rini Bela PLN


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler