Kuda Messi Keledai Emosi

Oleh Dahlan Iskan

Senin, 25 Juni 2018 – 12:01 WIB
Dahlan Iskan. Ilustrasi: Jawa Pos

jpnn.com - Messi itu ibarat kuda sekaligus keledai. Kuda bagi klubnya: Barcelona. Keledai bagi negaranya: Argentina.

Itu bukan pendapat saya. Itu ejekan dari media sosial. Setelah tim piala dunia Argentina ‘dikalahkan’ Islandia dengan skor 1-1. Apalagi saat mendapat hadiah penalti

BACA JUGA: Romantisnya Uluwatu dan Magetan

Messi gagal bikin gol: tendangannya terlalu lemah. Seperti tidak ada semangat.

Lebih-lebih setelah Argentina ditaklukkan beneran oleh Croasia 0-3. Dan Messi belum bikin satu pun gol.

BACA JUGA: Klarifikasi Xherdan Shaqiri soal Selebrasi Gol Kontroversial

Kritik lain lebih masuk akal: Messi itu kurang Argentina. Emosinya bukan emosi Argentina. Tangisnya bukan cry for Argentina.

Sejak umur 13 tahun Messi sudah pindah ke Barcelona: sejak anak genius ini terkena penyakit defisit hormon. Ia mendapat pengobatan di Barcelona. Atas biaya klub kaya itu.

BACA JUGA: Batu Nisan untuk Partai Tionghoa

Sejak itu hidupnya praktis di Barcelona. Argentina memberinya tempat lahir. Dan penyakit. Barcelona memberinya hidup. Dan kehidupan.

Teori yang agak ngawur itu dikuatkan oleh peristiwa dua tahun lalu. Saat Argentina masuk final Copa America yang dimajukan. Melawan Chili.

Argentina kalah dari tetangganya itu: Messi juga gagal di tendangan penalti.

Copa America itu dilaksanakan di Amerika Serikat. Ditepatkan dengan HUT ke-100 Copa America.

Saya lagi di sana saat itu. Tiga bulan. Melihat drama itu di kafe yang gemuruh di Kansas City, Missouri. Disway belum lahir saat itu.

Sejak itulah Chili dibenci di seluruh Amerika Latin. Bukan hanya di Argentina.

Sikap Chili begitu merendahkan Argentina. Setelah drama itu. Membuat Chili menjadi musuh bersama di seluruh Amerika Latin. Hingga gagal maju ke piala dunia saat ini: oleh sepak bola gajah.

Saat itu Peru bermain mata dengan Colombia. Permainan itu disebut ‘Pakta Lima’.

Lima adalah ibukota Peru. Mereka sepakat untuk tidak saling menyerang. Sambil menunggu hasil pertandingan lain.

Para pemain saling mendekat dan berbisik. Pemain lawan juga membisikkan sesuatu ke rivalnya.

Bola nyaris selalu berada di daerah pertahanan masing-masing. Saling umpan. Tanpa ada pemain lawan yang merebut bola. Hasilnya: 1-1. Chili tersungkur. Dan tersingkir. (Lihat video).

Maka janganlah lecehkan Messi. Ingatlah ini: tanpa tiga gol Messi di babak penyisihan Argentina sudah senasib dengan Chili.

Bahwa di Barcelona ia seperti the Black Stallion mungkin karena ini: iklim tim secara keseluruhan memang mendukungnya. Barcelona adalah tim perjuangan. Emosinya emosi perjuangan. Seperti ehm Persebaya sekarang ini.

Barcelona adalah alat perjuangan: membawa misi pro-kemerdekaan Cataluna. Dari kerajaan Spanyol. Yang kalau merdeka ibukotanya di Barcelona.

Lihatlah kalau Barcelona lagi bertanding. Home. Begitu banyak berkibar bendera Cataluna. Tidak ada satu pun bendera Spanyol.

Karena itu Barcelona harus selalu menang lawan klub Espanol: sebuah klub di Barcelona yang didirikan untuk pro-integrasi.

Dan jangan lupa: Barcelona juga harus menang setiap melawan Real Madrid. Klub dari ibu kota Spanyol itu.

Penuh dengan emosi. Sepak bola tanpa emosi… apalah apalah apalah artinya.

Tidak percaya? Cobalah nonton pertandingan piala dunia sekarang ini. Cobalah jangan memihak salah satunya. Di mana asyiknya?

Menonton sepak bola itu harus memihak. Asyik…. bisa seperti jaran goyang.

Misalnya saat Mesir lawan Saudi Arabia. Sama sekali tidak menarik. Sama-sama Arabnya. Sama-sama sudah tersingkirnya.

Tapi tetap saja saya akan memihak Mesir. Karena ada Mo Salah-nya.

Memang ia dapat hadiah rumah di dekat Mekkah. Oleh raja Saudi. Setelah Salah mencetak gol terbanyak di Inggris. Dan mendapat tropi pemain terbaik Inggris tahun ini.

Tapi saya tetap memihak Mesir: karena ia Liverpool. Padahal mestinya saya itu memihak Chelsea. Di Chelsea-lah saya belajar mengelola suporter sepak bola.

Atribut Persebaya itu dulunya terinspirasi dari Chelsea. Tapi emosi saya tetap di Liverpool: sejak Liverpool dapat hadiah penalti.

Penendangnya sengaja tidak mau memasukkan bola penalti itu. Tidak seharusnya Liverpool dapat penalti. Wasit-lah yang salah lihat.

Tanpa teknologi VAR pun Liverpool sudah fair play. Pokoknya sepak bola itu penuh emosi. Teknologi VAR justru akan mengurangi derajat emosi itu.

Kenapa tidak menambah wasit saja? Menjadi dua? Seperti di basket?

Bayangkan: bagaimana penonton baru bisa meneriakkan ”gooool…” dua menit setelah bolanya masuk gawang. Di mana asyiknya?

Teriakan gooool yang tertunda itu ibarat main seks yang ejakulasinya tersendat.

Tanyakan saja pada Xherdan Shaqiri. Saat pemain Swiss ini mencetak gol kemenangan lawan Serbia. Sabtu dini hari lalu.

Selebrasi Shaqiri bikin heboh. Mungkin ia akan kena denda. Ia copot kausnya. Ia peragakan jempol dan jarinya. Melambangkan bendera Albania.

Shaqiri memang warga Swiss. Tapi darahnya Albania. Waktu kecil ia diajak orang tuanya mengungsi ke Swiss. Setelah suku Albania yang Islam ditindas habis di Serbia.

Akibat perang Balkan itu Albania dan Serbia memisahkan diri dari Yugoslavia.

Perang Balkan ternyata berlanjut di Piala Dunia. Shaqiri salah. Pemain klub Stok City ini membawa politik ke pertandingan sepak bola.

Saat ditanya mengapa mantan pemain Bayern Munchen dan Inter Milan ini melakukan itu jawabnya singkat: saya tadi emosi. Dendam turunan rupanya dibawa ke bawah sadarnya.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Fan Piala Dunia 2018 Tak Perlu Hotel, Tidur di Kereta Saja


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler