JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus mengumbar janji-janji manis, setelah disahkannya Undang-undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Mereka mengupayakan tahun depan biaya kuliah hanya untuk SPP saja.
Pernyataan ini disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso. Mantan rektor ITB itu mengatakan sebagai permulaan upaya ini akan diterapkan untuk program studi (prodi) yang tidak berbiaya mahal. Seperti prodi-prodi di bawah rumpun Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) serta prodi-prodi bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) lainnya.
Seperti diketahui, saat ini biaya kuliah sangat beragam jenisnya. Mulai dari SPP yang rutin dibayarkan setiap tahun, hingga pungutan ketika baru diterima. Pungutan awal kuliah ini yang kerap dikeluhkan masyarakat karena sangat mencekik. Misalnya untuk kuliah di Fakultas Kedoteran (FK) di kampus negeri top, uang masuk berkisar Rp 100 juta hingga Rp 200 juta per mahasiswa.
Upaya memberlakukan satu jenis tarikan biaya kuliah ini digunakan untuk membuat tarif kuliah semakin terjangkau. Djoko mengatakan tudingan ada kampus negeri yang menerapkan prinsip komersialisasi pendidikan tidak benar. "Kalau yang berbiaya mahal banyak. Tidak mesti berbiaya mahal itu adalah komersialisai," katanya.
Djoko menerangkan semangat komersialisasi itu artinyan kampus negeri mengejar laba dalam pengelolaan keuangannya. Menurutnya komersialisasi ini muncul jika tarif kuliah yang dibebankan ke masyarakat lebih tinggi cost perguruan tinggi.
Djoko mengatakan yang terjadi di kampus negeri adalah, tarif yang dibebankan kepada masyarakat masih lebih murah ketimbang cost perguruan tinggi. "Nah peran pemerintah adalah menutup kekurangan cost tadi," kata dia.
Untuk mewujudkan komponen biaya kuliah hanya untuk tarikan SPP saja, Djoko mengatakan akan memperbesar pengucuran biaya operasional pendidikan tinggi (BO PT). Dengan biaya ini, kampus tidak sampai membebankan banyak-banyak biaya keperluan operasional kepada mahasiswa.
Tahun ini, BO PT diperkirakan sekitar Rp 1,4 triliun. "Untuk tahun ini masih bisa untuk menurunkan uang masik. Mudah-mudahan tahun depan bisa menggratiskan uang masuk," katanya. Sehingga mahasiswa hanya terbebani biaya SPP saja.
Persoalan lain yang diungkit Djoko adalah urusan pendirian prodi baru. Djoko menuturkan setelah ada UU Dikti ini setiap kampus yang akan mendirikan prodi baru wajib memenuhi syarat minimum akreditasi dulu. "Sehingga setelah diberi izin, prodi baru cepat mendapatkan akredasi," kata dia.
Upaya ini menimbulkan konsekuensi pemenuhan kebutuan lembaga akreditasi. Seperti diketahui, saat ini akreditasi perguruan tinggi hanya dijalankan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT). Melaui UU Dikti, akan didorong keberadaan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
Lembaga ini akan dikelola swasta. Bisa juga LAM didirikan oleh organisasi profesi tertentu, dan hanya mengakreditasi prodi-prodi yang sesuai dengan bidangnya. Djoko mengatakan pengawasan dan pemberian izin pendirian LAM ini akan diperketat. Diantara jenis pengawasan ini digunakan untuk mengatur tarif akreditasi.
"Kalau tidak diatur mereka (LAM, red) bisa seenaknya sendiri. Wong diatur saja masih seenaknya sendiri," tuturnya. Dengan adanya sistem akreditasi yang ketat ini, diharapkan tidak terus bermunculan upaya pendirian prodi asal-asalan. Dimana bisa merugikan mahasiswa, karena mengancam legalitas ijazah. (wan)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mulai Kumpulkan Materi Untuk Bank Soal
Redaktur : Tim Redaksi