Selama tiga minggu, 24 November-15 Desember, Presiden Direktur Wira Jatim Group ARIF AFANDI mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) di Amerika Serikat. Dia sempat mengunjungi New Orleans yang pada 2005 porak-poranda disapu badai Katrina. Bagaimana kota di negara bagian Louisiana itu bangkit kembali? Berikut catatan mantan wartawan Jawa Pos dan wakil wali Kota Surabaya tersebut.
= = = = = = = = = = = = = = = = = =
PERISTIWA pada sore hari tujuh tahun lalu itu masih membayang dalam ingatan Jeffrey Michael Player. Hujan yang mengguyur Kota New Orleans dan peringatan berulang-ulang dari pemerintah lewat televisi serta radio akan adanya badai membuat pria 43 tahun tersebut memutuskan untuk mengungsi bersama keluarga.
Dengan mobil besar, dia membawa istri, anak, dan orang tuanya pergi ke Houston, tempat neneknya tinggal. Butuh waktu 6 jam perjalanan darat untuk mencapai kota itu dari New Orleans.
Keputusan pria yang kini bekerja di travel agent tersebut untuk mengungsi ternyata tepat. Sejam setelah dia bersama keluarga meninggalkan rumah, tanggul kanal di sebelah rumah jebol. Tempat tinggalnya pun hancur tak bersisa. Amuk badai Katrina membuat bangunan tanggul setinggi 2 meter di sepanjang kanal itu tak kuat menahan derasnya air.
Akibatnya, 80 persen Kota New Orleans terendam. Sebanyak 1.289 orang tewas dan puluhan ribu lainnya harus mengungsi ke kota lain. "Sejam saja telat ambil keputusan, kami sekeluarga pasti ikut jadi korban badai itu," kenang Player ketika saya temui di rumahnya.
Rumah mantan pemain football dan softball saat SMA tersebut memang hanya berjarak 50 meter dari tanggul. Tanggul tersebut jebol sepanjang 400 meter. Lewat tayangan televisi, Player menyaksikan rumahnya roboh tergerus air dan akhirnya tenggelam. Sebagian tetangganya yang tidak sempat mengungsi tewas.
Badai Katrina juga memorak-porandakan kampung yang dihuni para musisi dan warga miskin di sebelah kawasan perumahan keluarga Player. Kampung yang dihubungkan dengan jembatan dari rumah Player itu terendam air berhari-hari. Badai Katrina memang menjadi mimpi buruk bagi kota di negara bagian Louisiana tersebut.
New Orleans adalah kota kelahiran para musisi jazz dan blues. Bahkan, diyakini musik blues lahir dari kota tersebut. Setiap tahun di kota itu digelar karnaval yang sangat terkenal. Namanya Mardi Gras. New Orleans juga satu-satunya kota di AS yang "mengizinkan" orang minum bebas di sepanjang Bourbon Street. Di jalan itulah berjajar bar, pub, kelab, dan tempat favorit orang yang ingin menikmati sajian para musisi jazz-blues.
Terlepas dari itu semua, kota yang masih kental dengan budaya Prancis tersebut rentan terendam banjir. Sebab, kota itu diapit Sungai Mississippi "sungai besar yang melintang di tengah benua Amerika" dan Danau Pontchartrain.
Seperti Jakarta dan Surabaya, tinggi daratan New Orleans sama dengan permukaan air laut. Karena itu, banyak bangunan di pinggir kanal untuk menjaga kota dari genangan air. Pemerintah setempat juga membentengi perumahan warga di sepanjang kanal dengan tanggul yang cukup tinggi.
Saya pernah berkunjung ke kota itu bersama Pemred Jawa Pos Leak Kustiya pada 1997. Hanya, saat itu kami tidak sempat blusukan, sehingga tidak bisa memotret sudut-sudut kotanya. Sedangkan kali ini, begitu tiba di New Orleans, saya dapat kesempatan keliling kota. Setelah melewati Mercedes-Benz Superdome, tempat penampungan korban badai Katrina, saya langsung menuju kawasan kota lama, French Quarter.
Dari kota lama, saya lalu menyeberangi jembatan menuju kampung yang menjadi korban terparah saat diterjang badai. Namanya kawasan Lower 9th Ward. Kawasan tersebut memang mirip lembah di daerah yang rendah. Karena itu, ketika badai terjadi, Lower 9th Ward terendam air hingga setinggi 5"9 meter.
Sebagian besar warga yang tinggal di kampung itu adalah kelas menengah ke bawah. Rumahnya kecil-kecil. Rata-rata berukuran 20"30 meter persegi. Banyak musisi yang tinggal di tempat tersebut. Termasuk Fats Domino, penyanyi jazz yang amat terkenal di New Orleans. Sebagian penghuni kawasan itu juga tidak mengasuransikan rumahnya. Bahkan banyak yang menyewa.
Jika rumah tersebut sudah diasuransikan, mereka bisa membangun kembali dengan dana klaim asuransi setelah badai. Kalau tidak, mereka harus membangun dengan biaya sendiri. Mereka harus menunggu bantuan dari pemerintah federal serta para dermawan.
Salah satu yang saat itu getol memberikan bantuan adalah bintang Hollywood Brad Pitt dan Angelina Jolie. Bahkan, pasangan selebriti tersebut sampai mengadakan lomba desain arsitektur rumah rehabilitasi korban Katrina. Pemenangnya berbentuk rumah panggung. Tak heran, di kawasan itu kini banyak dibangun rumah panggung yang dirancang tahan banjir.
"Sebelum badai, sebagian warga di kawasan ini sudah miskin. Setelah badai, beban hidup mereka lebih berat," ungkap Archi, pria kelahiran New Orleans yang menjadi pemandu kami.
Menurut cerita Archi, banyak pengungsi yang tidak kembali ke kampung halaman karena tidak bisa membangun rumahnya. Karena itu, di kawasan tersebut masih banyak rumah yang dibiarkan terbengkalai. Ada pula tanah kosong yang ditinggalkan penghuninya setelah badai menghantam.
Badai yang menewaskan ribuan orang dan membuat puluhan ribu lainnya kehilangan tempat tinggal tersebut ternyata membangkitkan semangat baru bagi warga New Orleans. Mereka yang semula tidak acuh dengan kota legenda itu mulai peduli antarwarga. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat lahir dan ikut mendampingi warga yang menjadi korban.
Bukan itu saja. Musisi Harry Connick Jr bersama Habitat for Humanity ikut turun tangan. Mereka membangun ribuan rumah milik korban badai Katrina. Mereka juga membuat kampung musisi lengkap dengan peralatan pendukungnya. Ada studio, ada peralatan recording yang modern, termasuk segala hal yang dibutuhkan para musisi. Di kampung itu, para musisi bisa mendapatkan rumah dengan harga murah.
"Banyak teman saya yang tinggal di kampung itu dan memperoleh fasilitas lengkap. Mereka sangat terbantu oleh proyek tersebut. Hanya, tidak semua musisi bersedia tinggal di situ karena situasinya belum sepenuhnya aman," kata Bens Passer, vokalis dan pemain terompet Orleans 6 Band.
Pemerintah dan polisi New Orleans yang sebelumnya dikenal paling korup di Amerika juga berubah. Sebagian masyarakatnya makin punya kepedulian terhadap proses pemerintahan dan kinerja polisi. Bahkan, muncul sejumlah LSM yang sampai kini sangat aktif mengawasi mereka.
Saya merasakan ada spirit baru dari pemerintah kota dan masyarakatnya untuk membangun New Orleans baru. Kota dengan pemerintahan lebih terbuka, bertanggung jawab, dan partisipasi masyarakatnya yang tinggi.
Kota tempat kantor pusat Freeport, perusahaan tambang yang beroperasi hingga Papua, itu kini mulai menarik perhatian warga luar. Jumlah penduduknya pun terus bertambah. Spirit warga New Orleans untuk bangkit setelah dihantam badai Katrina tampak sekali. (*/c5/ari/bersambung)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Axel Moeller, Presiden Audax Indonesia, Penyelenggara Event Bersepeda Long Distance Paling Populer (1)
Redaktur : Tim Redaksi