jpnn.com, JAKARTA - Legenda timnas Indonesia Kurniawan Dwi Yulianto mengkritik klub-klub tanah air yang getol menggunakan pemain asing.
Menurut pria asal Magelang, Jawa Tengah, itu, pemain asing akan mematikan talenta lokal.
BACA JUGA: Liga 1 2018 Disiarkan 3 Teve dan Livestreaming
Berikut ini catatan Kurniawan mengenai pemain asing di Liga Indonesia sebagaimana dilansir laman resmi Persebaya Surabaya:
BACA JUGA: Pesan Superpenting Azrul Ananda untuk Pemain Persebaya
Keterlibatan pemain asing di Indonesia secara otomatis memosisikan sepak bola tanah air berada di persimpangan jalan. Sebab, dari segi industri sepak bola, kehadiran mereka cukup menguntungkan.
Selain meramaikan dan mendongkrak market dan value juga membuat kompetisi sepak bola tanah air semakin berwarna.
BACA JUGA: 5 Statistik Mentereng Persebaya pada Piala Gubernur Kaltim
Dan, yang terpenting dari semua itu, adalah transfer ilmu serta pengalaman ke pemain lokal.
Tapi, di sisi lain, kehadiran mereka tidak lebih dari benalu yang tumbuh menumpang di dahan pohon. Kok bisa?
Ya, kehadiran para pemain-pemain impor tersebut juga secara tidak langsung menggiring masa depan sepak bola tanah air ke jalur yang tidak sehat.
Kualitas para pemain lokal, terutama di posisi-posisi tertentu menjadi tergerus, melemah karena jatah bermain yang terpangkas habis, diambil alih oleh pemain asing.
Parahnya, sektor yang terancam melemah akibat dominasi pemain asing tersebut adalah posisi-posisi kunci dalam sepak bola itu sendiri.
Karena rata-rata pemain impor yang didatangkan, kalau tidak posisi bek, ya pengatur serangan di lini tengah, atau striker sebagai juru gedor.
Dalam tiga tahun terakhir, mayoritas pemain asing yang datang ke Indonesia di dominasi oleh pemain Eropa dan Amerika Latin.
Nah, khusus untuk dua posisi yang saya sebutkan di awal, bek dan gelandang, sejatinya kurang begitu jemawa membunuh talenta pemain lokal.
Karena, di dua posisi tersebut, masih membutuhkan banyak pemain. Artinya, bila formasi tim menggunakan empat pemain bertahan, maka tiga di antaranya secara otomatis masih diisi oleh pemain lokal.
Begitu juga di posisi gelandang yang pada umumnya bermain dengan tiga atau empat pemain.
Tapi, berbeda dengan posisi striker. Di mana, sepak bola yang terus mengalami perkembangan membuat banyak tim dan pelatih cenderung bermain dengan satu striker.
Anehnya, di Indonesia, posisi tersebut selalu dipercayakan kepada pemain asing. Kalaupun tidak pemain asing, mereka adalah pemain pemain lokal yang berasa asing alias naturalisasi.
Ketajaman Marko Simic di lini depan yang sekaligus mengantarkan Persija Jakarta juara Piala Presiden lalu, menjadi fenomena baru dalam jagat sepak bola tanah air.
Virus Simic bahkan menyebar dengan cepat, alias membuat ngiler klub-klub lain. Para suporter yang seharusnya memenangkan tribun saat tim pujannya bermain pun, tak pelak, juga masuk dalam drama ini. Tuntutan untuk mendatangkan striker sekelas Simic, membahana.
Sebelum Simic, cerita tentang striker lokal yang kian terlupakan sudah pernah terjadi. Itu setelah federasi menaturalisasi Illija Spasojevic, pemain asal Montenegro yang pernah bersinar di kompetisi Liga Malaysia dan menjadi bagian penting Bhayangkara FC menjuarai Liga 1 musim lalu.
Saat ini, Spaso bergabung dengan Bali United menggantikan striker asing mereka, Sylvano Comvalius yang sukses mencetak 37 gol di musim lalu.
Comvalius adalah pemain jangkung asal Belanda. Total gol yang dia lesatkan bersama Bali United tersebut menjadikannya pemegang rekor baru pencetak gol terbanyak dalam satu musim di kompetisi kasta tertinggi tanah air.
Pemain yang sudah hengkang ke Thailand itu mematahkan rekor yang dipegang sekian lama oleh striker lokal, Peri Sandria, 34 gol bersama Bandung Raya di Liga Indonesia musim 1994-1995.
Sekali lagi, saya menegaskan, dengan menjamurnya striker asing tersebut, tentu memiliki dampak tidak bagus.
Pemain-pemain lokal yang memiliki kemampuan di posisi tersebut, dengan terpaksa harus tersingkir, alias hanya bisa menghangatkan bench pemain.
Kalaupun mendapat jatah bermain, itu diawali dari bangku cadangan dengan minutes play sangat sedikit. Kalaupun menjadi starter, itu karena striker asing berhalangan.
Dibandingkan dengan era kami dulu, di mana banyak striker lokal dengan naluri membobol gawang lawan sangat banyak.
Sebut saja ada Widodo Cahyono Putra, Zainal Arif, Gendut Doni, Indrianto Nugroho, Rocky Putiray, serta Ilham Jaya Kesuma.
Setelah kami, ada Bambang Pamungkas serta Boaz Solossa, striker tajam dari tanah Papua. Setelah itu, sepak bola kita kian sulit menemukan striker hebat.
Saya tidak bisa memungkiri bahwa menjamurnya striker lokal di era kami dulu itu karena sistem sepak bola tanah air mendukung kami untuk berkembang.
Ketika itu, rata-rata tim bermain menyerang dengan menggunakan dua striker. Di mana, meski ada striker asing, namun satu jatah tetap diberikan untuk pemain lokal. Jadi, tidak ada dominasi tapi kompetisi.
Dampaknya luar biasa positif. Sebab, dengan kepercayaan yang diberikan, saya dan rekan-rekan sebagai striker mendapat jam terbang dan pengalaman bermain lebih banyak.
Kemampuan kami pun terasah. Hasilnya, ketika membela tim nasional dan bertarung melawan negara-negara lain di kompetisi internasional, Indonesia tidak kalah bersaing di posisi teratas kolektor gol terbanyak karena memiliki banyakk striker hebat.
Dengan begitu, saat mendengar bahwa Persebaya Surabaya berencana belum menggunakan pemain asing di posisi striker, saya sangat senang.
Saya bangga, bahwa tim yang dulu saya bela itu, masih berada di jalan yang benar dalam mendukung cita-cita sepak bola tanah air.
Sebab, visi besar dari membentuk tim sepak bola kuat serta membangun kompetisi yang lebih baik, tidak lain hanya untuk penguatan tim nasional semata.
Artinya, kehadiran pemain asing di sepak bola tanah air seharusnya sebagai suplement saja, bukan piranti utama yang wajib didatangkan.
Malaysia pernah membuktikan semua itu. Sepak bola mereka pernah meraih masa kejayaan setelah otoritas sepak bola mereka memutuskan untuk melarang pemain asing berkompetisi di sana. Hasilnya, fondasi sepak bola mereka matang, dan kuat.
Begitu juga sepak bola negeri kita. Kalau semua tim di tanah air memutuskan lebih percayakan posisi striker mereka kepada pemain asing, atau bahasa kasarnya sudah mengalami ketergantungan, maka saat itu pula, sepak bola kita sedang sekarat.
Kalau sudah begitu, jangan berharap lini depan Timnas kita akan tajam dan kompetitif melawan negara negara lain.
Kalau sudah begitu, bisa saja di kemudian hari, mereka-mereka atau sederhananya, pemain pemain muda saat ini yang berposisi sebagai striker, bisa frustrasi dan beralih profesi, atau pensiun lebih cepat dari lapangan sepak bola lantaran peluang bermain tidak lagi ada.
Kalaupun ada, mereka hanya sebagai penghangat bangku cadangan dengan jadwal bermain yang tidak pasti.
Dan, suatu saat Indonesia berhasil menjuarai kompetisi level internasional, tapi skuat timnas kita didominasi oleh pemain-pemain impor yang dinaturalisasi, maka saya yakin tidak ada kebanggaan di sana.
Dan, bila masa itu benar-benar terjadi, maka saat itu kita sedang bergembira dan merayakan kegagalan pembinaan sepak bola negeri kita sendiri.
Sampai di titik ini, saya selalu bangga dengan tim-tim tanah air yang masih memiliki keberanian untuk memberikan kepercayaan lebih kepada pemain lokal.
Karena, meski sepak bola negeri kita sudah memasuki era industri, namun semangat untuk menjaga produk sepak bola tanah air harus tetap diperhatikan.
Bisnis memang penting, tapi harus berimbang dengan tujuan besar sepak bola negeri ini, yaitu timnas yang kuat. (*)
Kurniawan Dwi Yulianto
Mnatan penyerang timnas yang ikut mengantarkan Persebaya Surabaya juara Liga Indonesia 2004
BACA ARTIKEL LAINNYA... Cetak Gol untuk Persebaya, Buka Baju, Fauzimovic Ingat Ortu
Redaktur : Tim Redaksi