Kursi Museum Banggar

Sabtu, 21 Januari 2012 – 00:46 WIB

SAYA bukan anti kemewahaan. Saya juga bukan anti barang mahal. Mewah dan mahal itu sensasi yang asyik buat bumbunya canda. Juga penting untuk berbagi rasa pada pembaca. Itulah faktor yang membuat saya ngebet ke Gedung Nusantara II, berlari-lari naik eskalator, agar cepat-cepat bisa masuk Ruang Banggar yang didesain dengan interior Rp 20 miliar itu. Sumpah, saya pingin banget duduk di kursi Rp 24 juta-an, yang dirancang costumize itu.

Bisa diorder sesuai selera pemesannya. Juga selaras dengan fungsi, kegunaan, dengan derajatkenyamanan mendekati sempurna. Saya sudah membayangkan, bersandar punggung di kursi yang diproduksi oleh perusahaan furniture terkenal, Vitra Company, Jerman itu. Pasti seru, sensasional, dan punya stok bahan cerita yang tak ada habis-habisnya. Atmosfer Ruang Banggar itu sendiri, pasti bisa bicara. Saya ingin menghirup udara di ruangan yang akan digunakan untuk mengatur perputaran Rp 1.300 triliun duit negara.

Yang parfum pewanginya harus mengalahkan aroma uang kertas baru yang baru keluar dari BI itu. Konon, inilah satu-satunya space, yang di saat bersidang anggota dewan “tak pernah mengantuk!” Juga tidak pernah menguap, sekalipun pagi dini harinya, habis menonton big match Real Madrid vs Barcelona. Ruangan itu oleh banyak pihak juga disebut sebagai tempat paling serius, paling sibuk, paling sering berkutat dengan angka 9 sampai 10 digit.

:TERKAIT Ruangan ini pula yang dinilai paling “panas”, paling “hot”, paling “seksi” dan sekaligus paling “basah”. Jangan dirangkai, hot, seksi dan basah itu dalam satu pemahaman konotatif, nanti bisa menjurus. Tempat berukuran kecil, sekitar 100 meter persegi itu juga dianggap jembatan yang bisa menjadi air mata, atau sumber mata air. Kemarin, rupanya bukan hanya saya yang ingin merasakan ruangan itu. Banyak orang datang, dan hanya ingin melihat ruangan yang oleh beberapa anggota dewan disebut-sebut sebagai calon museum itu.

Tapi, keingintahuan itu pupus. Ruang Banggar itu tertutup, terkunci rapat, dan tidak boleh ada “orang asing” nyelonong. Kalau dari luar, pasti orang tidak menyangka, ruang yang bersebelahan dengan Sekretariat Komisi III itu adalah tempat yang sedang heboh dipergunjingkan publik. Karena dari luar memang tidak terlihat mewah, tidak terkesan mahal, tidak ada tanda-tanda itu bernilai puluhan miliar. Malah mungkin, ruang itu dianggap gudang tempat menyimpan barang-barang tak berguna.

Koridor antara ruang Banggar dan Sekretariat Komisi III itu ada tulisan besar menggantung di langit-langit: “Exit”. Lama saya menduga-duga, apa maksud “exit” itu? Padahal, koridor itu adalah satu-satunya akses menuju pintu utama Ruang Banggar? Pikir saya, seharusnya tertulis “Entry” atau pintu masuk? Ah, saya tidak mau berspekulasi dengan pertanyaan “mengapa?” Di depan Ruang Banggar itu juga ada pentry, dapur bersih yang faktanya tidak bersih.

Tidak matching, ada ruangan yang interiornya mewah dan mahal, tetapi di depannya ada pemandangan tumpukan piring kotor, sendok garpu berlepotan sisa makanan, dua kompor portable, bungkusan plastik sayur mayor? Lalu sisi diagonal dari pentry itu ada pos keamanan yang biasa untuk registrasi dan tanda tangan absen. Dalam kondisi tidak terpakai saja, saya yang berdiri 5 menit di situ sudah menemukan dua putung rokok? Terus terang saya jadi berpikir, ini gedung dewan memang sudah terlalu crowded. Saya maklum, kalau ada ide untuk menambah ruang dan kapasitas. Saya maklum banget, kalau ada rencana memperbaiki toiletnya.

Saya cek memang sudah berumur dan kurang pantas lagi wakil rakyat kita memiliki rest room seperti itu. Lagi-lagi sayang, saya menyesal gagal masuk ruangan itu. Gagal menyandarkan kepala punggung atas kursi yang mereknya sangat terkenal itu. Seperti apa sih kursi karya sebuah perusahaan yang showroomnya ada di 16 negara itu. Yakni, Australia, Austria, Belgia, China, Republik Ceko, Prancis, German, India, Meksico, Belanda, Norwegia, Polandia, Spanyol, Swiss, Inggris dan AS. Kalau dari Jakarta, yang terdekat ada representative office di Singapore, Central Mall, Magazine Road, Corner Havelock. Jadi, sudah pasti impor.

Saya pingin membuktikan empuknya kursi jenis conference version yang resmi dipakai 60 kepala negara dalam NATO Summit, 3 April 2009 lalu –termasuk Barack Obama, Angela Dorothea Merkel dan Nicolas Sarkozy--- di Kurhaus, Baden-Baden, Jerman. Kursi yang didesain agar orang yang duduk di situ 100 persen nyaman. Baik juga, anak-anak SMK berkunjung di sana, melihat detail, terus membuat copy paste-nya? Biar bukan hanya mobil Esemka dan pesawat Jabiru yang bisa dibuatnya? Saat presiden 25 negara Uni Eropa berkumpul di Spanyol, kursi jenis ini juga yang pesan.

Termasuk pertemuan internasional Brisbane City Council, Brisbane Foreign & Commenwealth Office, London Industriellenvereinigung, Vienna NATO Hauptquartier, Ramstein. Ada 35 bandara internasional terbaik di dunia yang juga menggunakan produk kursi Vitra di ruang tunggu mereka. Seperti Munich Airport, Heathrow London, Abu Dhabi, Dubai, Doha-Qatar, Pearson Toronto, Stuttgart, Changi-Singapore Terminal 3, Dusseldorf Jerman, Eindhoven Belanda, Frankfurt Jerman, Nantes Atlantique Prancis, Terminal Le Petit Porteur, Luxembourg, dan masih banyak lagi.

Semakin penasaran saja untuk menduduki kursi itu? Tapi kritiknya kan mahal? Ya, soal harga memang bisa menjadi perdebatan panjang. Mahal dan murah itu tergantung dari mana memandangnya? Siapa yang menilainya? Jika menghasilkan kinerja akseleratif, yang istimewa, yang produktif, yang 10 langkah lebih maju buat bangsa, jadi tidak mahal.

Rasanya, itu yang membuat publik selalu sensitif terhadap dewan? Kalau kinerjanya jempol, bisa dibuktikan, bisa dijamin, jangankan kok Rp 24 juta, mau Rp 100 juta juga orang tutup mata? Karena dengan nilai itu dia bisa menghasilkan kinerja yang 100 kali lebih kencang? Ada lho, kursi yang bandrolnya USD 1,6 juta, sekitar Rp 14,5 M, satu biji? Bahkan ada yang USD 2,4 juta, atau Rp 21,8 M satu biji? Kursi dari aluminium dan kaca fiber yang dilelang di Christie’s London.

Desainernya MarcNewson asal Australia, dan kursinya dinamakan Lockheed Lounge. Ya, urusan kursi memang kaya cerita. Mungkin karena itu pula, “kursi” menjadi arena perebutan yang sangat ketat dan mahal? (*)

*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi INDOPOS dan Wadir Jawa Pos.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Antikempes Antipaku


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler