Sekretaris Perusahaan Abrun Abubakar mengatakan, penurunan volume penjualan perusahaan merupakan bagian dari gerakan moratorium (penundaan) ekspor timah dari Bangka Belitung, ketika harga timah turun sampai 19.000 per mton pada Oktober 2011, dimana harga timah itu lebih rendah dari pada biaya produksi.
Abrun mengatakan, gerakan moratorium merupakan protes dari produsen timah Indonesia terhadap pedagang, yang menggunakan isu krisis ekonomi di Eropa untuk menurunkan harga timah di pasar global.
“Secara fundamental, turunnya harga timah tidak cukup beralasan, karena stok logam timah di LME (London Metal Exchange) berada pada posisi di bawah normal (16.000 mton), sementara itu produksi timah di Indonesia sedang menurun akibat musim hujan dan kondisi cuaca buruk,” kata Abrun di Jakarta.
Selama moratorium ekspor logam timah pada Oktober hingga Desember 2011, manajemen mengurangi penjualan spot yang memang kurang menguntungkan pada saat harga timah rendah, sedangkan komitmen dengan pelanggan yang telah mengikat kontrak pembelian masih dilayani seluruhnya dengan baik.
Pada 2012, diperkirakan konsumsi logam timah dunia akan mengalami kenaikan sekitar 5-6 persen dari tingkat konsumsi pada tahun 2011 sebesar 350 ribu ton. Sementara, produksi logam timah pada 2012 akan mengalami penurunan akibat penerapan undang-undang minerba pada September 2012 sehingga pasokan bijih timah ke luar negeri dari penambangan ilegal dapat ditekan semaksimal mungkin.
“Dengan pertimbangan yang konservatif maka perseroan menargetkan pertumbuhan pendapatan usaha di atas 15 persen melalui peningkatan produktifitas serta efisiensi biaya usaha,” ujar dia. (lum)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 2012, Ekonomi Indonesia Diproyeksikan Tetap Tumbuh 6 Persen
Redaktur : Tim Redaksi