Lahirkan 35 Dai, Tiga Qari, Empat Hafidz

Jumat, 02 Agustus 2013 – 02:47 WIB
Melihat Aktifitas Pondok Pesantren Di Dalam Lapas Cianjur Pembinaan Ahlak Mampu Kikis Hukum Rimba. FOTO : GUNAWAN SUTANTO / JAWA POS

Setahun ini Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cianjur mengoperasikan pesantren terpadu untuk para narapidana. Sebuah upaya pembinaan akhlak bagi para pesakitan.
 
GUNAWAN SUTANTO, Cianjur
 
Jarum jam menunjuk pukul 08.30. Sejumlah narapidana keluar dari sel tahanan masing-masing. Setelah wudu, mereka menuju aula lapas yang kini difungsikan sebagai masjid untuk mengikuti kegiatan harian Pesantren Terpadu At-Taubah, model pendidikan agama yang diprakarsai pengelola lapas dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Cianjur, Jawa Barat.

Pesantren di dalam kompleks lapas tersebut diresmikan pada 9 Mei 2012. Itulah satu-satunya pesantren yang dikhususkan bagi para napi dan tahanan. Di Indonesia baru ada di Lapas Cianjur.

BACA JUGA: Dalam Sekejap Langsung Dapat 80 Klien

Pagi itu (31/7) Jawa Pos berkesempatan melihat aktivitas di Pesantren At-Taubah. Didampingi Kasi Pembinaan dan Kegiatan Kerja Lapas Cianjur Mastur, Jawa Pos berkeliling dari ruangan ke ruangan pesantren yang dihuni 871 napi-tahanan tersebut. Padahal, lapas kelas II-B itu semestinya hanya diperuntukkan bagi 310 penghuni.

"Setiap pagi, kecuali Sabtu-Minggu, mereka mengikuti kegiatan pesantren selama satu setengah jam. Itu tidak hanya pada bulan Ramadan saja, tapi juga pada hari-hari biasa," ungkap Mastur.

BACA JUGA: Mengenal Komunitas Blues, Relax, and Kongkow-Kongkow Time (BreakTime)

Kegiatan pagi itu bermacam-macam. Ada yang belajar baca-tulis Alquran, ada yang belajar qiraah, bahkan kajian kitab kuning bagi yang sudah fasih membaca Alquran.

"Setelah bisa membaca Alquran, mereka harus mengikuti ujian. Hasil ujian itulah yang menentukan kelas selanjutnya si santri, termasuk ke kelas kitab kuning," jelasnya.

BACA JUGA: Pilih Singapura agar Bisa ke Amerika

Selain itu, ada kelas untuk pembinaan akhlakul karimah melalui pembelajaran akidah, fikih, tasawuf, dan sejarah Islam. Total ada 25 kelas yang diampu Pesantren At-Taubah.

Pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam ruang pendidikan. Beberapa kelas menempati selasar terbuka dan kamar tahanan. Misalnya, kelas tahanan anak-anak yang menempati kamar dalam sel. Dipandu seorang ustad, mereka duduk di tikar sambil menyimak pelajaran yang diberikan. Seorang tahanan terpaksa mengikuti pelajaran sambil tiduran karena sedang sakit.

"Ya beginilah kondisinya. Sarana pesantren kami memang masih serba apa adanya," lanjut Mastur.
Menurut Kepala Lapas Cianjur Tri Saptono, keberadaan Pesantren Terpadu At-Taubah tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan KH Totoy Muchtar Gozali, pengasuh Ponpes YPI Al-Intiqol, Pabuaran, Cianjur.

"Ustad Totoy inilah yang menggagas pendirian pesantren ini," ujar Tri sambil memperkenalkan sang ustad di sampingnya.

Ustad Totoy menjelaskan, keinginan untuk mendirikan pondok di dalam lapas muncul ketika perayaan Maulid Nabi di pondoknya setahun lalu. Ketika itu, seluruh muspida dan pengurus MUI Cianjur hadir. Diundang pula sejumlah warga binaan lapas. Dari situ, terungkap keinginan besar warga binaan untuk mendapatkan siraman rohani yang intensif agar mereka bisa lebih dekat kepada Sang Khalik.

"Mendengar unek-unek itu, akhirnya saya mengusulkan agar di dalam penjara diadakan kegiatan pembelajaran seperti di pesantren," ujarnya.

Dalam pandangan Totoy, pembelajaran di pesantren perlu waktu 3"4 tahun untuk menghasilkan seorang santri yang militan. Apalagi bila pembelajaran dilakukan lebih lama.

"Di sini (Lapas Cianjur) kan banyak narapidana yang menghabiskan masa tahanannya di atas lima tahun. Saya pikir, waktu sepanjang itu pasti jauh lebih efektif jika digunakan untuk belajar agama," terangnya.

Gayung bersambut. Gagasan Totoy direspons positif oleh MUI, pihak lapas, dan Pemkab Cianjur. MUI langsung menurunkan 36 ustad untuk ditugaskan mengajar di Pesantren At-Taubah. Selain belajar rutin mengaji sesuai dengan tingkatan masing-masing, setiap Selasa para "santri" diajak istighotsah bersama.

Menurut Totoy, pendirian pesantren di dalam kompleks penjara tersebut sempat menimbulkan pro-kontra. Ada yang menanggapi dengan senang, ada yang cuek. Salah seorang napi yang menyambut positif adalah Heri Sukirman. Dia bukan napi biasa. Dia merupakan mantan wakil ketua DPRD dan ketua DPC Partai Demokrat Cianjur. Heri ditahan karena tersandung kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos).

"Setelah mengikuti pendidikan di pesantren ini, saya mendapat ketenangan batin yang luar biasa. Rasanya, saya seperti tidak berada di dalam penjara," ujar narapidana yang harus menjalani hukuman tujuh tahun penjara itu.

Berdasar evaluasi, kata Tri Saptono, selama setahun ini kegiatan Pesantren At-Taubah telah menunjukkan banyak hasil positif. Misalnya, sebelum ada pesantren, sekitar 78 persen warga binaan muslim tidak bisa baca tulis Alquran. Kini tinggal 22 persen yang masih intensif belajar membaca Alquran. Bahkan, beberapa "santri" sudah khatam Alquran.

Yang lebih membanggakan, dalam waktu setahun ini, At-Taubah juga telah melahirkan 35 warga binaan yang siap diterjunkan menjadi mubalig (penceramah agama). Ada tiga warga yang lulus menjadi qari dan beberapa kali diundang untuk membacakan ayat-ayat suci Alquran dalam acara perayaan agama di luar lapas. Masih ada 17 warga binaan lagi yang sedang dididik menjadi qari.

"Ada juga empat santri yang sudah mampu menjadi hafidz (penghafal Alquran)," imbuh Totoy.

***
Pagi itu ada pemandangan yang menarik. Di antara ustad yang sedang memberikan pelajaran di depan para santri, terdapat seorang ustad yang tampil dengan mengenakan seragam polisi. Dia adalah Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) H Supandi, anggota Satuan Pembinaan Masyarakat (Binmas) Polres Cirebon. Supandi menjadi salah seorang pengajar kitab kuning di pesantren tersebut.

Totoy mengungkapkan, kehadiran Supandi sebagai ustad di At-Taubah memang unik. Awalnya warga binaan sempat menolak. Maklum, mayoritas narapidana pernah bersinggungan dengan polisi saat terjerat perkara pidana. Karena itu, tidak sedikit napi yang dendam kepada korps baju cokelat tersebut.

"Pak Supandi pernah saya minta untuk tidak memakai seragam polisi saat mengajar. Tapi, dia tidak mau. Katanya, dia ingin menunjukkan bahwa polisi juga ada yang baik. Buktinya bisa dilihat, mereka bisa menerima kehadiran polisi," jelas Totoy.

Pihak lapas menginginkan, selepas menjalani masa hukuman nanti, para narapidana bisa benar-benar kembali dan diterima masyarakat. Modal pembinaan akhlak selama di At-Taubah diharapkan bisa dijadikan bekal untuk terjun di masyarakat.

"Kami juga menyiapkan program pelatihan yang bersertifikat serta keterampilan kerja. Pendidikan agama di pesantren ini juga ada ijazahnya, sehingga diharapkan masyarakat bisa melihat mereka sudah berubah," tegas Tri.

Beberapa alumnus benar-benar telah mentas dengan membuka usaha sendiri. Bahkan, ada yang sudah menjadi juragan cendol yang sukses di Cianjur.

"Bisa dikatakan, setelah adanya pesantren ini, tidak ada residivis yang masuk penjara lagi. Itulah yang menggembirakan," papar Tri.

Beberapa napi yang dimintai komentar mengaku mendapat ketenangan batin setelah mengikuti pendidikan pesantren di lapas. Misalnya, Heri Suherlan, 27, terpidana kasus asusila. Jejaka yang baru menjalani masa hukuman setahun dari total enam tahun itu mengaku jalan hidupnya kini lebih terang.

"Dulu seperti di penjara lain, ada hukum rimba. Siapa yang kuat itu yang berkuasa. Sekarang beda, rasa kebersamaan dan toleransi di antara para penghuni jauh lebih tinggi," ungkapnya. (*/c5/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Waswas Ditegur SBY sampai Setop Pidato Habibie


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler