jpnn.com - JPNN.com - Petinggi Kementerian Perdagangan (Kemendag) memantau pergerakan harga sembako di dua pasar satelit di Kota Padang, Kamis (29/12). Dua pasar satelit tersebut adalah Pasar Raya Padang dan Pasar Lubukbuayo.
Pemantauan dilakukan untuk memastikan ketersediaan pasokan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat Sumbar jelang pergantian tahun.
BACA JUGA: Plt Gubernur Larang Warga Jakarta Main Petasan
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan memantau di Pasar Raya Padang. Dia mendapati dalam dua hari sebelumnya, cabai merah dijual Rp 32 ribu per kilogram, kemarin naik jadi Rp 38 ribu per kilogram.
Sedangkan harga cabai rawit justru turun dari Rp 70 ribu per kilogram menjadi Rp 58 ribu per kilogram.
BACA JUGA: Plt Gubernur DKI Rayakan Pergantian Tahun Baru Di mana?
Sedangkan, harga bawang merah juga naik dari Rp 16 ribu jadi Rp 18 ribu. Sementara itu, harga daging sapi masih bertahan di kisaran Rp 120 ribu per kilogram.
Untuk daging ayam, harganya pun naik. Awalnya Rp 25 ribu per kilogram, naik jadi Rp 30 ribu per kilogram. Untuk telur masih stabil pada kisaran Rp 1.200 per butir.
BACA JUGA: Simak Rekayasa Lalin Penutupan Jalur Puncak
Oke Nurwan sempat mempertanyakan ke pedagang daging di Pasar Inpres Kota Padang terkait penyebab harga daging masih tinggi dan tak turun setelah Lebaran.
Padahal di daerah lain, seperti Lampung, Semarang dan Jawa Timur harga daging sapi sudah turun pada kisaran Rp 110 per kilogram.
“ Di tempat lain, harga daging sudah turun, rupanya di Sumbar masih bertahan di angka Rp 120 ribu per kilogram,” tanya Oke Nurwan kepada salah seorang pedagang daging di Inpres II Pasar Raya Padang.
Pedagang daging, Anto menyebutkan harga daging memang masih tetap sama dan tak ada penurunan setelah Lebaran.
Dia mengungkapkan, dengan pemindahan pedagang ke lantai II saat ini, omset jauh berkurang. Jika sebelumnya sehari dapat menjual daging 60 sampai 70 kilogram, sejak pindah hanya mampu menjual paling banyak 20 kilogram daging per hari.
Menurutnya, harga daging tetap tinggi karena dia membeli sapi dengan harga mahal. “Saat ini harga daging sapi tetap stabil. Kalau barang kebutuhan lain kan sudah mulai merangkak naik,” tukasnya.
Oke Nurwan kemudian langsung menimpali. “Ya stabil pada kisaran harga yang tinggi ya pak?” ucapnya.
Pedagang tersebut menyebutkan, meski harga tinggi namun masyarakat masih mampu membeli. Penurunan daya beli saat ini bukan disebabkan harganya tinggi, namun karena masyarakat malas berbelanja ke lantai II yang hanya jualan daging.
“Kalau ada pedagang barang yang tidak tahan lama dan kelapa, masyarakat pasti mau naik ke atas. Kalau yang satu jualannya di sini, sedangkan lainnya di tempat berbeda, ya sudah jadinya pak,” ucapnya.
Oke Nurwan menyebutkan, dia datang ke Sumbar untuk memantau harga barang kebutuhan pokok di Sumbar jelang tahun baru.
Dari pantauannya, natal dan tahun baru ternyata tak terlalu berpengaruh, namun tetap saja ada kenaikan harga karena tingginya permintaan.
Namun, kenaikan harga tersebut masih terkendali. Selain itu, ketersedian pasokan juga tak ada persoalan. ”Setelah kami monitor, harga terkendali dan stok juga lancar di Sumbar,” ucapnya.
Katanya, ada sejumlah komoditi yang sangat terkendali harganya. Misalnya minyak goreng. Pemerintah menetapkan harganya Rp 10.500 per liter.
Harga minyak goreng di Sumbar justru di bawah angka Rp 10 ribu per liter. Sementara untuk komoditi beras berada di atas harga yang ditetapkan pemerintah, namun masih di bawah harga rata-rata nasional.
Pemerintah menetapkan harga jual beras kualitas medium sekitar Rp 9.300 per kilogram. Sedangkan harga rata-rata beras secara nasional Rp 10.300 per kilogram. Harga beras medium di Sumbar berada pada kisaran Rp10 ribu per kilogram.
Terkait harga daging yang masih tinggi di Sumbar, katanya mungkin saja karena kekhasan masyarakat Sumbar yang suka masakan rendang dan dendeng. Sehingga, daging yang dijual daging segar bukan daging beku.
“Komoditi daging tak terlalu memberikan pengaruh terhadap inflasi. Untuk komoditi gula, kami akan intervensi jika harganya tak terkendali,” ucapnya.
Kemendag akan intervensi lewat Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). PPI akan membeli komoditi langsung ke sentranya sehingga bisa dijual ke pasaran dengan harga lebih murah.
Namun, PPI tak boleh buka lapak setelah mendapatkan pasokan. PPI hanya boleh mendistribusikan komoditi yang mereka beli ke asosiasi pedagang. Misalnya, saat harga cabai tinggi, PPI beli cabai ke sentra cabai. Kemudian mendistribusikannya ke asosiasi pedagang cabai. Dengan pola itu, PPI bisa mempengaruhi harga cabai.
“Jadi, PPI tidak bersaing pula dengan pedagang, jualan cabai. Pemerintah tentu tak mau juga, jika pedagang dirugikan dan masyarakat kemahalan. Jadi , PPI harus punya trik mengatur harga sehingga ketika PPI mendapatkan harga murah, tak langsung menjual dengan harga yang didapatkan PPI. Karena itu juga akan mematikan usaha pedagang. Harus ada hitung-hitungannya,” ucapnya.
Jika masalah pada ketersediaan stok, maka PPI mencari stok komoditi yang tinggi tersebut. Kalau distribusi barang, maka jalur distribusi yang diperbaiki.
“Kalau sudah faktor alam, kami tak bisa berbuat banyak. Tapi, kalau stok atau jalur distribusi, masih bisa dicarikan solusinya,” ucapnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumbar Asben Hendri mengatakan, saat harga cabai dan gula tinggi di Sumbar, PPI turun menstabilkan harga.
“Untuk menstabilkan harga, kami juga dibantu PPI. Sekarang kan harga cabai sudah mulai turun. Dulu, harga cabai sampai tembus Rp 90 ribu hingga Rp100 ribu di daerah. Sekarang sudah di kisaran Rp 38 ribu per kilogram. Kami juga terus lakukan monitoring harga ,” ucapnya. (ayu)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Target Khusus Yura Yunita Untuk Tahun Depan
Redaktur & Reporter : Soetomo