Langgar KUHAP, Putusan Pengadilan Harus Batal Demi Hukum

Rabu, 16 Mei 2012 – 17:10 WIB
JAKARTA - Profesor Yusril Ihza Menhendra menegaskan setiap Putusan Pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus batal demi hukum.

"Kalau ada pihak Jaksa selaku eksekutor Putusan Pengadilan melaksanakan Putusan Pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut maka eksekutor bisa dituntut dengan Pasal 333 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), sedangkan Jaksa Agung bisa dituntut dengan Pasal 55 KUHP," tegas Yusril Ihza Mahendra, di press room DPR, Senayan Jakarta, Rabu (16/5).

Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyatakan setiap surat putusan pemidanaan memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

"Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan djatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan," kata Yusril.

Demikian juga halnya kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. "Perintah tersebut walau tidak disebutkan secara spesifik dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap," imbuhnya.

Lebih lanjut, Yusril mengutip Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut 'mengakibatkan putusan batal demi hukum'.

"Putusan pengadilan dikatakan batal demi hukum (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum," tuturnya.

Selain itu Yusril juga mengungkap putusan Mahkamah Agung nomor 169 K/Pid/1988, 17 Maret 1988 yang menegaskan 'Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak mencantumkan status terdakwa sebagaimana diatur Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.'

"Dengan putusan tersebut maka tidak perlu lagi Jaksa meminta fatwa ke MA mengenai putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi KUHAP," tegasnya.

Hal yang sama juga dijelaskan Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. "Putusan Pengadilan pidana yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tidak boleh dilaksanakan dan batal demi hukum."

"Kalau Jaksa eksekutor menjalankan putusan tersebut berarti yang bersangkutan melakukan tindak pidana karena secara paksa merampas hak orang lain," ujar politisi Demokrat itu.

Lebih lanjut, Benny mengungkap ada sekitar 30 lebih pengaduan masyarakat ke Komisi III DPR terkait putusan pengadilan yang tidak mematuhi ketentuan KUHAP tapi tetap dijalankan oleh Jaksa eksekutor.

"Ada 30 laporan yang masuk ke DPR dan Pak Yusril tadi bilang tengah menangani empat putusan pengadilan yang melanggar KUHAP," terang Benny K Harman. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Black Box Gosong Tak Rusak Memori CVR

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler