jpnn.com - Acara talk show komedi 'Lapor, Pak' sekarang digemari banyak orang.
Setting-nya menggambarkan sebuah kantor polisi dengan seorang komandan dan beberapa anak buah.
BACA JUGA: Kemalingan, Andhika Pratama Sampaikan Pesan untuk Pelaku
Cerita berpusar mengenai interograsi, penahanan, dan pelaporan-pelaporan berbagai masalah oleh masyarakat kepada polisi.
Komandan polisi diperankan oleh Andre Taulani. Petugas polisi diperankan oleh Andhika Pratama, Ayu Ting Ting, dan Wendy Cagur. Mereka semua adalah komedian yang sudah sangat berpengalaman di berbagai acara komedi. Ada juga Kiki Saputri, komedian stand up, yang berperan sebagai salah seorang petugas.
BACA JUGA: Andhika Pratama Lihat Makhluk Gaib Bersuara Aneh, Seram
Acara ini sebenarnya acara komedi biasa. Lawakan yang ditampilkan juga lawakan standar yang umumnya disajikan komedian masa kini.
Namun, beberapa hari belakangan ini netizen ramai berbicara mengenai Lapor Pak karena Andhika Pratama dikabarkan menghilang setelah lawakannya dianggap menyentil kebijakan pemerintah.
BACA JUGA: Bongkar Isi Mobil Kiky Saputri, Andre Taulany Tercengang Melihat....
Editan video berisi beberapa potongan lawakan Andhika Pratama beredar di medsos dan dikirim berantai di grup percakapan WhatsApp. Narasi video berbunyi 'Andhika ke mana, Min, tiga hari menghilang tidak kelihatan'.
Ternyata Andhika memang tiga hari diistirahatkan alias di-grounded karena lawakannya yang menyentil pemerintah. Tiga hari setelah cuti, Andhika tampil lagi. Ketika Kiki Saputri menyambut tamu Andre langsung menghampiri dan melarang Kiki bicara kepada tamunya. Kiki langsung menyeletuk, ‘’Ah, Komandan sama saja, suka membungkam suara rakyat….’’
Suasana pun penuh gelak tawa. Andhika langsung menimpali, ‘’Kemarin gua ngomong kayak gitu langsung diliburkan tiga hari…’’. Suasana makin pecah oleh tawa masing-masing personel. Wendy langsung gemetaran tangannya. ‘’Kemarin saya lihat di depan ada tukang siomay bawa HT….’’ jawabnya ketika ditanya Komandan.
Kayaknya Andhika kena sensor. Kayaknya acara itu dimata-matai ‘’orang ber-HT’’ seperti kata Wendy. Padahal sebenarnya 'Lapor, Pak’ adalah acara murni komedi.
Dialog lucu dan segar menjadi ciri khas 'Lapor, Pak'. Andre Taulany yang menjadi komandan bisa menjadi sentral figur yang menjadi host utama sebagai pusat cerita. Wendy Cagur dan Andhika Pratama bisa menjadi co-host yang saling mengisi dan mengumpan dengan dialog-dialog yang segar yang sering membuat suasana pecah.
Andre piawai mengolah situasi dengan lawakan yang standar, tetapi segar. Dalam sebuah episode, seorang wanita cantik datang ke kantor polisi dan ditemui Andre. Setelah basa-basi sejenak wanita itu bertanya kepada Andre di mana tempat untuk melapor. Andry menjawab, 'di hatiku…'.
Wendy Cagur menjadi co-host yang tangkas mengolah situasi. Ketika seorang pelapor datang Wendy dengan ramah menyapa, ‘’Selamat datang, ada yang bisa saya banting?’’. Situasi pun pecah.
Andhika Pratama langsung menimpali dengan menyapa pelapor, 'Selamat datang, ada yang bisa saya bansos?'. Suasana makin gerr. Sang pelapor bertanya kenapa suasana kantor agak gelap. Andhika menjawab, ‘’Maaf, bola lampu masih belum terpasang,’’ sambil menunjuk ke kepala Wendy yang botak plontos.
Gaya khas Andhika Pratama yang memelesetkan ‘’bantu’’ dengan ‘’bansos’’ itulah yang lucu, tetapi bermasalah. Dalam salah satu episode yang potongannya viral, digambarkan Andhika bertanya kepada seorang petugas yang sedang mempersiapkan jarum suntik untuk vaksinasi.
Episode itu berjudul 'Persiapan Vaksin, Bukannya Tegang Malah Lucu'. Dari situ muncul lawakan Andhika yang membuat riuh karena menyindir bansos. ‘’Dokter, mau tanya, suntikannya besar atau kecil, ya?’’ tanya Andhika kepada seseorang yang berpakaian seperti dokter. ‘’Ya kecillah, emang kenapa?’’ sang nakes tanya balik. Andhika menimpali, ‘’Kecil itu karena dipotong-potong, enggak?’’
Andhika melanjutkan kalimatnya menjadi gurauan yang menyindir bansos, ‘’Soalnya, ada suntikan yang gede terus dipotong-potong jadi kecil’’. Wendy dan Kiki menyahut ‘’Suntikan apa, tuh?’’. Andhika menjawab, ‘’Suntikan dana bansos….’’. Celetukan Andhika membuat suasana langsung pecah.
Dalam sebuah episode lain, Komandan membawa Andhika dan kawan-kawan untuk mengamankan demonstrasi mahasiswa. Puluhan mahasiswa berdemo dengan membawa berbagai macam spanduk berisi bermacam-macam tuntutan.
Andhika mendekati salah seorang pedemo yang membawa poster bertulis ‘’Kami Menuntut Keadilan’’. Andhika bilang kepada pedemo itu, ‘’Kamu salah tempat, demo di sini. Seharusnya kalau kamu menuntut keadilan demo ke TPU (tempat pemakaman umum)’’. Wendy menimpali, ‘’Kok demo keadilan ke TPU…’’. Andhika dengan tangkas menjawab, ‘’Soalnya keadilan sudah lama mati….’’ Suasana pecah lagi…
Lawakan-lawakan cerdas khas Andhika Pratama ini membuatnya harus diistirahatkan. Tidak ada keterangan resmi mengenai penyebabnya. Namun, episode yang tayang 28 September menunjukkan bahwa Andhika memang terkena sensor.
Siapa yang menyensor? Siapa lagi kalau bukan sang bos media. Kalau dikulik lebih jauh kepada para bos media pasti tidak ada jawaban yang tegas. Pasti disampaikan bahwa tidak ada larangan atau pun sensor untuk acara apa saja. Memang tidak ada sensor. Para pelaku acara itu sudah sadar dengan sendirinya.
Sudah ada mekanisme sensor yang melekat pada mereka.
Itulah yang disebut sebagai swasensor atau ‘’self-censorship’’ yang sudah melekat dan menjadi mekanisme yang berjalan secara otomatis. Tidak ada lembaga sensor seperti zaman despotisme Orde Baru dulu.
Tidak ada lagi Departemen Penerangan yang mengawasi semua media dan menerapkan sensor terhadap materi yang menyindir pemerintah.
Namun, mekanisme swasensor tetap berlaku seperti pada era despotisme itu.
Inilah era yang oleh John Keane disebut sebagai ‘’New Despotism’’ (2020), era Despotisme Baru. Sebuah kekuasaan despot yang tidak akan membiarkan oposisi muncul untuk melakukan kritik terbuka maupun tertutup.
Dalam era Old Depotism seperti Orde Baru, oposisi dibungkam secara langsung. Para pegiat oposisi akan ditangkap kalau berani menentang kekuasan. Bahkan, kekuasan despot tidak akan segan-segan menangkap, memenjarakan, dan bahkan menghilangkan para oposan.
Tidak terhitung berapa banyak aktivis oposisi yang menghilang tanpa jejak sampai sekarang.
Depotisme lama memberangus dan menyensor media. Tidak ada media yang dibiarkan bebas mengritik. Setiap kali ada suara kritis, media akan diancam dengan beredel. Kalau masih tetap kritis media pun akan diberedel, ditutup selamanya.
Di era despotisme baru media berkembang pesat. Namun, fungsi media tidak lagi menjalankan kontrol sosial melainkan sekadar menjadi sumber hiburan.
Pemerintah despotisme baru sangat canggih dalam memainkan media. Mereka dirangkul menjadi bagian dari kekuasan, dan media mendapat banyak keuntungan ekonomi karena hubungan strukturasi dengan kekuasaan.
Gaya despotisme lama memimpin secara otoriter. Partai-partai politik dihilangkan atau dikerdilkan. Pemilu dilaksanakan sebagai syarat demokrasi prosedural saja. Pemilu hanya menjadi basa-basi politik menjadi topeng demokrasi.
Di masa digital sekarang, dengan kecanggihan quick count, hasil pemilu bisa diketahui lima jam setelah TPS tutup. Di zaman despotisme Orde Baru, hasil pemilu bisa diketahui lima tahun sebelum TPS dibuka.
Wajah penguasa otoriter sekarang tidak garang seperti dulu. Wajah penguasa otoriter di era Despotisme Baru ramah dan merakyat. Penguasa despotism baru suka blusukan dan bagi-bagi hadiah kepada rakyat.
Namun, di balik keramahan itu mesin-mesin despotisme bergerak dengan garang memberangus suara-suara yang berseberangan.
Jangan keliru dan tidak usah khawatir. Gambaran yang diberikan John Keane itu tidak terjadi di sini, tetapi di China. Keane setidaknya menyebut China 265 kali ketika menggambarkan despotisme baru.
Alhamdulillah. Kita layak bersyukur. Mari kita lapor kepada para pemimpin kita: Lapor, Pak. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror