PALU - Kebijakan larangan ekspor rotan asalan, mentah dan setengah jadi yang tertuang dalam Permendag No.35 tahun 2011 mulai dirasakan dampaknya oleh pelaku industri rotan di daerah hulu, Provinsi Sulawesi Tengah. Akibat kebijakan menteri perdagangan ini pasokan bahan baku industri rotan menjadi sangat terbatas.
Petani enggan merotan karena rotan yang punya nilai jual hanya jenis dan ukuran tertentu saja. Kondisi ini menyebabkan, pasokan ke industri rotan setengah jadi menjadi sangat terbatas. Pelaku industri rotan setengah jadi hanya membeli rotan jenis dan ukuran tertentu dari petani sesuai dengan jenis dan ukuran tertentu yang punya nilai jual di indutri hilir yang ada di pulau jawa, khususnya di Cirebon.
Efendi, pimpinan CV Fajar Baru mengakui, sebelum ada kebijakan larangan ekspor rotan asalan dan setengah jadi ini pihaknya tidak hanya berharap dari pasar di pulau jawa tapi juga ekspor. Di pasar ekspor, mentah, rotan asalan dan setengah jadi sangat menjanjikan. Dan relatif tidak ada pembatasan jenis dan ukuran. Di pasar ekspor sekitar 10 jenis rotan dari daerah ini punya nilai jual. Sementara di pasar di pulau jawa yang punya nilia jual hanya sekitar 2-4 jenis saja. Itu pun dengan ukuran tertentu.
“Sebelum ada kebijakan pelarangan ekspor rotan asalah dan setengah jadi ini saya mengorder dari petani all size, semua jenis. Tapi sekarang yang saya beli hanya 2 sampai 4 jenis saja. Itu pun ukuran tertentu saja,” ujar Efendi.
Sesuai dengan permintaan pasar di pulau Jawa, pihaknya juga memperketat sortiran. Di tingkat petani, kata Efendi, kebijakan ini cukup berdampak pada produktivitas, walau pun pihaknya menaikan harga pembelian. “Sejak mulai efektif diberlakukan kebijakan ini Januari lalu saya belum pernah mengirim ke pulau jawa karena pasokan bahan baku sangat terbatas. Kalau pengusaha lain mungkin ada yang mengirim,” keluh pengusaha rotan yang memiliki pabrik pengolahan di Kelurahan Kayu Malue, Palu Utara ini.
Bukan hanya terancam tutup, akibat kebijakan pelarangan ekspor rotan asalan dan setengah jadi, pihaknhya juga mengalami kerugian yang cukup besar. Banyak stok rotan yang siap ekspor terancam tidak bisa di pasarkan lagi.
“Jadi memang, dampak dari kebijakan ini sangat kami rasakan,” sebutnya.
Hal senada diungkapkan Yerry, manager CV Budi Mulia, salah satu industri rotan di wilayah Palu Utara. Yerry mengakui dari 3 unit pabrik pengolahan rotan yang dikelolannya, satu unit tutup sama sekali. Sementara 2 unit lainnya berjalan tapi sudah tidak normal. Dua unit pabrik yang masih beroperasi tersebut, mempekerjakan karyawan sisa sekitar 30 persennya saja.
“Kendalanya pasokan bahan baku itu. karena beda dengan sebelum ada kebijakan pelarangan ekspor rotan asalan dan setengah jadi itu, sekarang kami membeli rotan dari petani hanya jenis dan ukuran tertentu saja. Ini sangat memberatkan petani,” cerita Yerry.
Dengan adanya kebijakan baru ini persoalan lain yang dirasakan pelaku industri rotan adalah terlalu ketatnya pengawasan ketika antar pulau rotan setengah dari dari Palu ke Pulau Jawa. Proses pemuatan dan bongkar, pemeriksaan dilakukan Sucofindo. Hal ini menyebabkan adanya biaya-biaya tambahan yang harus ditanggung oleh pengusaha. (ars)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 19 Pendaftar Calon Komisioner OJK Kandas
Redaktur : Tim Redaksi