BACA JUGA: Uje: Gugun Sudah Bisa Bersenda Gurau
Selain break event point, hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia mulai membuka diri terhadap film dengan genre di luar kategori mainstream.Salah satu kekhawatiran terbesar dari Miles Production dan Mizan Production dalam memproduksi film Laskar Pelangi adalah ceritanya di luar kategori mainstream, yakni horor, komedi, dan percintaan.
Hal itu diakui oleh Putut Widjanarko, vice president operations Mizan
BACA JUGA: Siswa Berprestasi Gratis Masuk Ancol
”Awalnya, kami nervous di situ,” ucap Putut.Kini, kata Putut, kekhawatiran tersebut tidak terbukti
BACA JUGA: Saipul Boyong Ponakan ke Ancol
”Tapi, antara film dan novel berbedaOrang nonton film bisa sampai dua kali ya,” terangnya.Putut menganggap prestasi itu sebagai bukti masyarakat Indonesia mulai menerima kehadiran film lain dengan tema berbeda”Kami bersyukur film ini mendapat apresiasi yang besar sekali,” imbuhnya.
Soal adanya perbedaan antara novel dan tafsirnya dalam film, itu justru bukan masalahPutut mengatakan, mengutip ungkapan Andrea Hirata, untuk apa film itu dibuat jika isinya sama saja dengan yang terdapat dalam novel.
Mira Lesmana, produser dari Miles Production, menambahkan, pihaknya realistis ketika film Laskar Pelangi dirilisKarena alasan genre yang berbeda, dia tidak berani pasang target untuk mendapatkan penonton sebanyak-banyaknya.
Hanya, menurut dia, jika menghitung biaya produksinya, film tersebut harus ditonton satu juta penonton agar bisa balik modal atau break event point”Sampai 700 ribu penonton saja sudah melebihi ekspektasi,” katanya saat diwawancara belum lama ini.
Mizan Production dan Miles Production saat ini sedang bersiap-siap mengerjakan film sekuel, Sang Pemimpi, sesuai dengan novel milik Andrea Hirata itu”Insya Allah masih (kerja sama dengan Miles Production)Sudah seperti jodoh memang ya,” tutur Putut(gen/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Chika Tunggu Sutradara di Bali?
Redaktur : Tim Redaksi