jpnn.com, JAKARTA - Intoleransi membayangi pluralitas di Indonesia, meskipun negara menjamin kebebasan dalam kehidupan beragama.
Pernyataan tersebut mencuat dalam forum diskusi terpumpun (FGD) Kebangsaan Seri 1 bertema “Menjajaki Pentingnya Penyusunan Undang-undang Toleransi” yang dihelat DPP LDII di Jakarta, Senin (25/12).
BACA JUGA: Perkuat Kerja sama, DPP LDII Kunjungi Aster Panglima TNI
“Ketika negara ini dibentuk, sebagai negara Pancasila, maka keberagaman diakui. Maka pemerintah menjamin terciptanya kehidupan yang rukun dan bertoleransi, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945,” ujar Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki.
Menurutnya, banyak konflik yang melibatkan kehidupan beragama, membutuhkan perhatian dan langkah antisipatif pemerintah.
BACA JUGA: Lewat Cara Ini Kemdikbudristek & LDII Dorong Penguatan Pendidikan Karakter
“Sisi yuridis, perlu perundang-undangan yang secara khusus mengatur kerukunan umat beragama,” kata Saiful.
Untuk itu, Kemenag mendorong rancangan undang-undang perlindungan umat beragama.
BACA JUGA: Irjen Karyoto: Firli Bahuri Bisa Dijemput Paksa
Saat ini, Saiful menjelaskan terdapat tiga kelompok yang mengoyak toleransi.
“Pertama, mereka yang merasa paling benar, mengklaim kebenaran tunggal. Merasa menjadi wakil Tuhan YME, sehingga bertindak dengan kekerasan dan intoleransi,” ungkapnya.
Akibatnya, mereka mudah menghakimi, mengkafirkan dan memvonis orang lain. Kedua, adalah kelompok eksklusif.
“Mereka menjadi cikal bakal dari intoleransi. Membatasi diri dengan masyarakat, dan tidak mencocoki dengan nilai-nilai lokal, serta tidak sejalan dengan pemikiran orang lain,” urainya.
Ketiga ialah ideologi transnasional, yang bisa merusak tatanan bangsa Indonesia.
“Karena punya ideologi, berupa tujuan politik dan kekuasaan. Mereka punya target, mengubah tatanan kehidupan berbangsa Indonesia,” ujarnya.
Untuk mengatasi gejala intoleransi, Kemenag telah mengkampanyekan moderasi beragama, dengan empat indikator.
“Pertama ialah komitmen kebangsaan. Empat pilar kebangsaan, kita butuh Pancasila,” katanya.
"Kedua, toleransi, yakni mengakui dan menghargai apa yang menjadi keyakinan dan landasan hidup seseorang. Ketika muncul saling tidak menghargai, maka sumber intoleransi terjadi,” jelasnya.
Ketiga, ialah antikekerasan. Moderat di tengah, tetapi tengahnya tidak diam. Menyapa yang berada di pihak kanan dan kiri, memberikan penyadaran, bahwa perbedaan adalah sunnatullah.
"Keempat, mampu beradaptasi dengan nilai-nilai lokal. Ini yang mulai terjadi gesekan di bawah. Muatan lokal, dihidupkan dengan cara pandang beragama, maupun lainnya,” kata Saiful Rahmat.
Intoleransi bila dibiarkan bakal menciptakan persoalan kebangsaan yang lebih besar, yakni mengancam eksistensi bangsa Indonesia.
Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso memberikan alternatif solusi dalam tataran praksis.
“Konsepnya, pertama, harus berbicara yang baik. Tidak menjelekkan, tidak menyakiti, karena bangsa Indonesia, lahir dari perbedaan,” ujarnya.
Dia menambahkan kedua agar amanah dan saling mempercayai.
“Selama bisa dipercaya, tidak akan punya masalah,” kata KH Chriswanto.
"Kemudian mengalah. Tidak usah mengedepankan emosi. Kalau zaman pemilu seperti ini mengedepankan emosi, maka ya sudah. Saya lihat, yang tidak senang, tetap tidak senang, dan orang yang senang, tetap senang,” imbuhnya.
Keempat, saling menjaga kehormatan dan perasaan. Dengan demikian, kata dia akan bisa mengutamakan kepentingan bersama, kesejahteraan bersama, sehingga akan seiring seirama, dan ada kesamaan persepsi menuju Indonesia Emas 2045.
Namun, tantangan besar mewujudkan Indonesia Emas ialah terdapat pada urusan kebangsaan.
“Maka, kebangsaan menjadi program prioritas LDII. Pertama urusan kebangsaan, kedua keagamaan, ketiga pendidikan, dan keempat kesehatan,” jelasnya.
Dia menjelaskan empat program itu muaranya pembangunaan SDM.
“Indonesia akan menghadapi bonus demografi, kemudian Indonesia Emas 2045. Salah satu bingkai menjadikan SDM berkualitas, adalah memiliki wawasan kebangsaan,” katanya. (rhs/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menang Total di Debat Cawapres, Gibran Kuasai Media Sosial
Redaktur & Reporter : Rah Mahatma Sakti