Lebanon Hadapi Hiperinflasi, Harga Barang Naik hingga 300 Persen

Senin, 03 Agustus 2020 – 13:10 WIB
Ilustrasi aktivitas warga di Beirut, Lebanon. Foto: JAMAL SAIDI/REUTERS

jpnn.com, LEBANON - Krisis besar boleh jadi bisa dihadapi Lebanon sejak dilanda perang saudara, tetapi tidak ketika nilai tukar mata uang negara jatuh dan diperparah pandemi corona.

Menurut ekonom Universitas Johns Hopkins, Prof Steve H. Hanke bahwa Lebanon sekarang menjadi negara pertama di Timur Tengah dan Afrika Utara yang menghadapi hiperinflasi.

BACA JUGA: Siswa SMA Azhar Lublan Lebanon Tur ke Kapal Perang TNI AL

Di mana, tingkat inflasinya melebihi 50 persen selama 30 hari berturut-turut, lansir ABC News.

Kenaikan tajam harga barang dan jasa semakin mendorong negara itu terperosok ke dalam krisis.

BACA JUGA: Panglima TNI: Kontingen Garuda Telah Mengharumkan Nama TNI dan NKRI di Lebanon

Inflasi tinggi berarti harga barang makin tidak terjangkau.

"Kami mulai menerima pesan dari orang-orang berpendidikan... Mengirim email kepada kami hanya untuk bantuan," kata Soha Zaiter, executive manager of the Lebanese Food Bank (Bank Makanan Lebanon).

BACA JUGA: Melarikan Diri ke Beirut, Mantan Bos Nissan Ditunggu Pengadilan Lebanon

Tidak ada kelas menengah lagi di Lebanon, lanjut Soha.

Sedangkan menurut ekonom Lebanon Roy Badaro, negara saat ini sangat bergantung pada impor, yang merupakan 60 persen dari barang-barang yang dikonsumsi.

Produk pakaian dan alas kaki saja mengalami kenaikan harga tahunan sebesar 345 persen.

Selain itu, langkah-langkah penguncian yang diambil untuk mengatasi pandemi coronavirus, mengakibatkan ditutupnya usaha kecil dan PHK besar-besaran, telah mendorong Lebanon ke jurang krisis.

Harga kebutuhan pokok rakyat Lebanon lainnya yang naik signifikan seperti sereal, roti hingga Labneh.

Mengutip surat kabar lokal, Daily Star, dari normalnya puluhan ribu menjadi ratusan ribu.

Saat ini, lira terhadap dolar AS mengalami kemerosotan hingga 80 persen, diperdagangkan sekitar 9.000 lira per dolar.

Lebih lanjut, Soha mengungkapkan, lebih dari setengah populasi di Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan. 

Bank Dunia memperkirakan bahwa 155.000 rumah tangga hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem.

"Sekarang orang-orang bergantung pada LSM karena pemerintah tidak memiliki rencana untuk orang-orang tersebut," katanya.

Sementara itu, pemerintah Lebanon telah menjanjikan bantuan keuangan kepada 43.000 keluarga termiskin, tetapi ada kekhawatiran bahwa itu tidak tepat sasaran. (rdo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Rasyid Ridha

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler