jpnn.com, JAKARTA - Menjelang Munas Golkar Desember mendatang di Jakarta, muncul wacana untuk menggunakan musyawarah mufakat dalam memilih Ketua Umum Golkar. Hal ini disebabkan banyaknya dukungan untuk Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto, untuk memimpin partai beringin lagi.
Musyawarah mufakat juga cerminan demokrasi Pancasila. Apalagi, musyawarah mufakat juga bukan sesuatu yang tabu di Golkar. Bahkan pemilihan secara aklamasi sendiri diatur dalam AD dan ART Golkar. “Jika bakal calon ketua umum sudah mendapatkan dukungan 50 persen plus 1 dari pemilik suara maka bisa aklamasi,” kata Nurdin Halid, Ketua DPD Sulawesi Selatan, beberapa hari lalu.
BACA JUGA: Aziz Golkar: Semoga Aklamasi demi Kebesaran Bangsa
Musyawarah sendiri berasal dari bahasa Arab yakni “Syawara” yang bermakna berunding, mengajukan sesuatu atau urun rembuk. Dalam kehidupan modern dan tata negara Indonesia, musyawarah dikenal sebagai “Syuro” yang artinya rembug desa.
Musyawarah mufakat sendiri merupakan suatu upaya bersama dengan sikap yang rendah hati dalam memecahkan persoalan atau mencari jalan keluar untuk mengambil suatu keputusan bersama. Jadi anggapan musyawarah mematikan demokrasi adalah pemahaman yang salah.
BACA JUGA: Sempat Diprediksi Jadi Partai Papan Tengah, Golkar Justru Berjaya di Era Airlangga
Bahkan lewat musyawarah mufakat, sebuah organisasi dapat menghindari money politic (politik uang) dalam mengambil keputusan atau memilih seorang pemimpin.
Beberapa partai politik di Indonesia, seperti PDIP, Partai Gerindra, Partai Demokrat dan Partai Nasdem juga sering menggunakan musyawarah mufakat bahkan aklamasi dalam memilih ketua partai. Di partai-partai itu, tak ada gejolak atau perpecahan meski menggunakan musyawarah mufakat atau aklamasi dalam memilih ketua umumnya. Di Golkar hal sama semestinya bisa berlaku.
BACA JUGA: Munas Golkar Momen DPD II Naikkan Posisi Tawar, Sebaiknya Tak Terbujuk Aklamasi
Menurut Demer Linggih, Plt. Ketua DPD 1 Bali juga menyatakan jika kader partai di daerah sudah lelah dalam menghadapi perpecahan yang mungkin bisa timbul setelah pemilihan ketua umum di Golkar.
“Kami sudah capek, dengan pemilihan, dengan konflik yang harus terjadi setelah pemilihan. Lebih baik kita satukan energi kita untuk membangun Golkar bersama-sama, tanpa harus ada kompetisi,” kata Demer Linggih kepada media. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil