jpnn.com - Ada yang menyebutnya ‘’lelaki kemayu’’, ada juga yang menyebutnya ‘’pria melambai’’, dan ada yang menamainya ‘’laki-laki tulang lunak’’.
Mereka adalah sekalangan pria yang berpenampilan mirip wanita dan berdandan serta berbicara dengan dandanan dan logat feminin.
BACA JUGA: Ada Perilaku Menjurus Promosi LGBT di Citayam Fashion Week, MUI Minta Pemerintah Bertindak
Fenomena ini belakangan bermunculan di ajang Citayam Fashion Week (CFW).
Di setiap show selalu ada side show.
BACA JUGA: JMM Mengingatkan Citayam Fashion Week Jangan Sampai Jadi Promosi LGBT
Di setiap pertunjukan besar selalu muncul pertunjukan sampingan yang terkadang bisa mengalihkan perhatian dari show besar.
Sejumlah lelaki kemayu ini muncul di show SCBD dan menarik perhatian banyak orang karena tampilannya yang nyeleneh dan beda.
BACA JUGA: LGBT jadi Korban Penipuan, Modus Pelaku Bikin Geleng Kepala
Berbedalah maka kamu akan terkenal. Begitu kata pepatah Arab.
Maka untuk menjadi terkenal tidak membutuhkan persyaratan yang sulit, asal berani beda maka peluang menjadi terkenal akan lebih besar.
Maka anak-anak SCBD pun berebut perhatian dengan penampilan yang berbeda, dan banyak yang asal beda.
Lelaki kemayu itu pun bermunculan dengan dandanan yang asal beda.
Ada yang bercelana pendek dan tank top yang terbuka lebar di bagian punggung dan menyebutnya sebagai gaya ‘’backwind style’’ alias gaya angin buritan.
Ada yang memakai celana panjang ketat dan membiarkan bagian atasnya terbuka dengan hanya mengenakan sejenis bra dan menyebutnya sebagai ‘’open-bra style’’.
Tidak biasanya anak-anak jenis lelaki kemayu ini berani muncul di tempat terbuka seperti ajang SCBD ini.
Biasanya mereka cenderung tampil di tempat-tempat mejeng yang khusus dihadiri oleh komunitas sejenis dan tempatnya lebih eksklusif dan tertutup.
Di beberapa kota besar ada tempat-tempat khusus untuk para lelaki kemayu berkumpul.
Di Jakarta, ada Taman Lawang dan di Surabaya ada Jl Irian Barat, dan di beberapa kota besar juga bermunculan sentra-sentra lelaki kemayu tersendiri.
Di kalangan lelaki kemayu itu, aktivitas mejeng disebut sebagai ‘’ngeber’’ semacam buka lapak atau membuka dagangan untuk berjualan.
Biasanya dalam aktivitas ngeber itu mereka mencari pasangan, dan banyak juga yang melakukannnya secara transaksional dengan menerima imbalan uang untuk pelayanan seksual yang diberikan.
Mereka yang berani muncul di permukaan disebut sebagai ‘’coming out’’ dan sudah tidak malu-malu lagi mengakui perebedaan orientasi seksualnya.
Umumnya para penyandang perbedaan orientasi seksual ini menyembunyikan jati dirinya secara sangat rahasia, termasuk kepada keluarga terdekatnya.
Hanya kalangan tertentu saja yang berani coming out dan berani membuka rahasianya.
Fenomena lelaki kemayu yang muncul secara terbuka di ajang CFW menunjukkan bahwa makin banyak lelaki kemayu yang secara terbuka coming out tanpa malu-malu lagi. Isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) pun ramai lagi seiring dengan makin banyaknya lelaki kemayu yang mejeng di CFW.
Kemunculan sejumlah anak muda laki-laki dengan pakaian perempuan memunculkan kekhawatiran ajang mejeng anak-anak baru gede (ABG) itu dibajak oleh aktivitas LGBT.
Pemerintah DKI mengancam akan menggaruk para lelaki kemayu itu dan memasukkannya ke panti sosial.
Sejumlah peserta yang mengikuti pawai obor memeringati tahun baru hijriah (29/7) melewati area SCBD yang sedang ramai dijejali oleh paran pemejeng. Peserta pawai obor itu meneriakkan takbir dan shalawat dan membentangkan poster ‘’Bubarkan LGBT dari SCBD’’.
Wakil Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) K.H Anwar Abbas menyesalkan kemunculan lelaki kemayu itu di arena SCBD dan menganggapnya sebagai ancaman moral bagi anak-anak remaja yang sedang mencari identitas.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria juga mengingatkan bahwa kemunculan lelaki kemayu itu akan menjadi ancaman bagi jati diri para remaja anak bangsa. Riza mengingatkan kewajiban orang tua untuk menyelamatkan generasi muda dari moral yang merusak.
Gayung bersambut. Kalangan yang mendukung LGBT pun bersuara.
Salah satu yang paling lantang adalah Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, yang menyebut pernyataan Riza Patria diskriminatif dan akan menjadi ancaman bagi kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi hak-haknya.
Sikap pemerintah DKI ini dianggap akan mengancam eksistensi kelompok minoritas karena akan menjadi korban persekusi kelompok mayoritas.
Kata Usman Hamid, mengungkapkan identitas dan ekspresi gender bukan tindakan kriminal, melainkan ekspresi diri yang dilindungi oleh hukum nasional maupun internasional.
Dia menjelaskan semua warga, terlepas dari gender, etnis, agama, orientasi seksual, atau status lainnya, mempunyai hak yang setara dengan warga lainnya.
Pihak berwenang justru seharusnya melindungi mereka dari diskriminasi, bukan malah membuat pernyataan-pernyataan yang dapat memicu diskriminasi dan persekusi.
Organisasi Gay Nusantara yang memberi advokasi kepada para aktivis LGBT juga lantang mengritik pemerintah DKI.
Dede Oetomo, yang menjadi dedengkot Gay Nusantara menilai sikap Pemprov DKI cenderung menampakkan kebencian dan diskriminasi terhadap orang yang mempunyai identitas seksual dan orientasi seksual tertentu. Dede menyebut sikap pemerintah DKI kacau.
Kekacauan sikap Pemprov DKI dinilainya tecermin pada kerancuan pandangan soal ekspresi gender, identitas gender, dan orientasi seksual.
Ekspresi gender bisa beraneka macam.
Namun, masalah ekspresi gender berbeda dengan masalah identitas gender, dalam hal ini transeksual (berubah jenis kelamin), dan berbeda pula dengan orientasi seksual (lesbian, gay, biseksual).
Reaksi berlebihan yang menunjukkan ketidakpahaman generasi pejabat akan kreativitas busana yang memang dapat melibatkan eksperimentasi dengan ekspresi gender. Begitu kata Dede.
Dia menambahkan ekspresi gender adalah bagian dari keberagaman. Pemprov DKI harusnya memfasilitasi kebebasan berekspresi karena CFW punya untuk potensi menjadi ajang kreativitas yang lebih luas bagi anak-anak muda.
Pemprov DKI menyebut para lelaki kemayu itu dalam kategori PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial).
Kelompok ini ialah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya jasmani, rohani, dan sosial secara memadai dan wajar.
Dinsos DKI akan membina PMKS dan memasukkannya ke dalam panti sosial.
Dede tidak setuju. Hal itu berpotensi melanggar HAM (hak asasi manusia) karena ekspresi gender itu bukan masalah sosial. Penindakan itu akan menimbulkan trauma psikologis yang berkepanjangan.
Isu lelaki kemayu di CFW akan berkembang menjadi perdebatan yang lebih luas. Lagi-lagi isu yang muncul adalah polarisasi antara cebong dan kadrun.
Kelompok liberal yang dipelopori oleh Usman Hamid dan Dede Utomo akan berhadapan dengan kelompok KH Anwar Abas dan kawan-kawan.
Isu ini akan berkembang menjadi isu politik di tengah tahun politik yang makin memanas.
Tarik menarik antara koservatifisme dan liberalisme akan menjadi isu panas menjelang perhelatan Pilpres 2024.
Kalangan liberal selalu memakai alasan HAM untuk melindungi keberadaan para lelaki kemayu dan kelompok LGBT sejenis.
Dan kalangan agama akan bertahan dengan argumen bahwa semua agama melarang LGBT.
Liberalisme fanatik semacam itu bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan yang diekspresikan pada sila Ketuhanan Yang Mahae Ssa dalam Pancasila.
Nilai-nilai agama apa pun akan menolak legalisasi kelompok LGBT. Makin ekstrem kampanye kelompok liberal untuk mengampanyekan eksistensi LGBT, akan makin ekstrem juga reaksi dari kelompok agama. Pertarungan dua kutub itu akan menjadi pertarungan abadi sampai kapan pun. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror