jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Riau Prof Syahlan mengatakan perlu mengubah paradigma masyarakat Indonesia terkait pelaksanaan putusan perkara perdata.
“Ini suatu karakter bangsa yang mungkin perlu ada perubahan paradigma, Kalau sudah kalah, ya sudahlah,” kata Syahlan dalam acara Level Up With DPC Peradi Jakbar Volume 9 pada pekan ini.
BACA JUGA: Mediator dari DPC Peradi Jakbar Diharapkan Bisa Mendamaikan Perkara Perdata
Dalam webinar bertajuk “Eksekusi Putusan Perdata & Hambatan Pelaksanaannya” yang dihelat secara daring ini, Prof Syahlan menyampaikan, meski sudah ada putusan inkracht, tetapi orang Indonesia biasanya tidak bersedia melaksanakannya secara suka rela.
“Pada kenyataannya, para pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela. Inilah persoalannya,” kata dia.
BACA JUGA: Level Up Peradi: UU Desain Industri Sudah Kedaluwarsa, Harus Direvisi
Menurutnya, pola pikir atau mindset masyarakat Indonesia berbeda dengan mindset bangsa atau rakyat terutama dari negara-negara maju.
“Kalau sudah selesai beracara, ya dia hormati putusan, tentu dilaksanakan,” ucpanya.
BACA JUGA: Sinergi DPRD dan Peradi: Perkuat Akses Bantuan Hukum bagi Warga Bogor
Menurutnya, ini menjadi salah satu yang menyebabkan eksekusi putusan perkara perdata ini dinilai relatif sangat rumit di negeri ini.
Karena itu, Prof. Syahlan juga meminta advokat harus ekstra hati-hati dan cermat dalam menyusun gugatan agar putusannya tidak menghambat eksekusi.
“Penyusunan surat gugatan harus teliti, harus memuat hal-hal yang ditentukan oleh hukum acara,” ujarnya.
Prof. Syahlan selaku narasumber menyampaikan, surat gugatan ini merupakan dasar untuk pemeriksaan perkara perdata. Salah satu yang perlu diperhatikan, adalah posita dan petitum.
Posita atau duduk perkaranya harus jelas. Dalam konteks ini, di antaranya silsilah, riwayat kepemilikan, dan perbuatan apa yang dilakukan terhadap objek yang digugat.
“Kemudian tentunya adalah petitum apa yang diinginkan. Posita dan petitum itu memang sangat berhubungan erat. Petitum harus termuat di posita,” katanya.
Dia menjelaskan ketika duduk persoalan dan petitumnya tidak jelas, maka gugatannya akan dinyatkan kabur atau obscuur libel.
“Petitum yang diminta itu harus bersifat menghukum kalau memang dia minta dilaksanakan sesuatu perbuatan tertentu,” ujarnya.
Kemudian, identitas para pihak, khususnya tergugat harus jelas dan jangan sampai ada pihak yang terkait objek yang luput dari gugatan. Kalau ada pihak yang tertinggal akan menghambat proses eksekusi putusan.
Prof Syahlan menyampaikan beberapa macam putusan berdasarkan jenisnya, yakni putusan deklarator yang hanya menerangkan dan tak perlu dieksekusi.
“Putusan constitutif yang sifatnya menciptakan hukum atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dieksekusi,” katanya.
Terakhir, putusan condemnatoir adalah putusan berupa penghukuman atau perintah. Ciri-cirinya, terdapat kata menghukum atau memerintahkan.
Sementara itu, Ketua DPC Peradi Jakbar, Suhendra Asido Hutabarat, dalam beberapa kesempatan menyampaikan, sangat mendukung penyelenggaraan Level Up With Peradi Jakbar yang mengangkat berbagai tema perkembangan hukum termutakhir, seperti tema pada volume 9 ini.
Menurutnya, ini merupakan salah satu upaya DPC Peradi meningkatkan skill dan ilmu pengetahuan berbagai bidang hukum para advokat, khususnya advokat DPC Peradi Jakbar.
Bukan hanya itu, ini juga untuk para alumni Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) DPC Peradi Jakbar yang jumlahnya antara 5-6 ribu orang hampir di seluruh wilayah Indonesia.
“Ini merupakan komitmen dari DPC Peradi Jakarta Barat yang tetap mempertahankan dan konsisten bahwa organisasi avokat (Peradi) itu adalah wadah tunggal,” pungkas dia. (cuy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mahasiswa Sumbar Tolak Asas Dominus Litis yang Mengancam Keutuhan Sistem Peradilan
Redaktur & Reporter : Elfany Kurniawan