Lia Ahok

Dahlan Iskan

Jumat, 17 Mei 2024 – 07:47 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dia pasti istimewa. Bagaimana bisa: rambut panjang, perokok, sampai diminta menjadi guru di SMA Santa Ursula.

Itulah James F. Sundah. Rambut panjang bisa diakali dengan dikuncir. Atau diberi topi. Toh, guru musik. Mengajar pakai topi pun pantas.

BACA JUGA: Lia Simple


Lia Sundah bersama putranya, Erick, saat mengikuti Camino. Foto ini diambil saat perjalanan mereka menyisakan 5 km agar besoknya bisa langsung tiba terus misa.

Rokok bisa diatur asal tidak di kelas. Dan tidak di lingkungan sekolah.

BACA JUGA: Lia James

Maka Santa Ursula Jakarta tidak selalu kalah lagi dalam prestasi musik murid-muridnya.

Sekolah yang ditinggalkan Jameslah yang sewot --apalagi dua sekolah itu selalu bersaing dalam segala kualitas.

BACA JUGA: Lia Camino

Sekian tahun kemudian, guru musik yang menggantikan James memberi info: ada murid Santa Ursula yang punya bakat piano luar biasa.

James pun bertanya genre apa yang menonjol dari siswi itu: musik klasik.

Itulah Lia, putri pengusaha Yakob Suntoso, yang kemudian menjadi istri James Sundah.

Masalahnya: James pencipta lagu pop. Dia penasaran apakah Lia punya minat di genre lain. Dia ingin tahu seberapa bagus Lia. Apakah bisa juga selain di klasik.

Sang guru pun mengetes: Lia diminta memainkan piano apa saja selain klasik.

"Pilihannya ternyata jazz. Pun sangat bagus," ujar James mengenang awal perkenalan dengan Lia.

"Dari klasik ke jazz itu tidak mudah. Semua orang tahu mengapa sulit," ujar James. Rambutnya masih panjang. Juga masih merokok. Pun setelah hampir 30 tahun tinggal di Amerika.

Saya tidak tahu mengapa sulit. Anda sudah tahu: saya awam di bidang musik. Nama-nama sekolah musik yang hebat pun saya tidak tahu.

Sampai-sampai ketika James mengucapkan Berklee, di telinga saya terdengar Berkeley. Maka saya pun salah menulis: setelah Santa Ursula Lia kuliah musik di Berkeley. Padahal yang benar adalah Berklee.

Berkeley di California, dekat San Fransisco. Berklee di Boston. Jauh sekali.

Mungkin karena saya belum pernah ke Berklee --beberapa kali mampir Berkeley ketika ke Sacramento. "Saya takut diprotes alumni Berkeley," ujar Lia.

Saya tidak melihat ada piano di rumah Lia di Queens, New York. Lia juga tidak pernah menyinggung piano. Dia sudah benar-benar jadi orang hukum. Kantor hukum milik Lia bagus. Di jalan utama Queens.

Lia sering mengekspresikan keinginannyi untuk bisa pulang ke Indonesia. Agar bisa menyumbangkan tenaganyi untuk masyarakat dan negara.

Ketika menjadi ketua tim pemenangan Ganjar di Amerika pun tujuan Lia untuk Indonesia yang lebih baik.

Saya tidak setuju itu. Saya justru menyarankan Lia untuk tetap di Amerika. Di Indonesia sudah terlalu banyak politisi. Jangan risi dengan anggapan berkarier di luar negeri itu kurang nasionalistik.

"Itu pikiran lama dari orang yang pandangan nasionalismenya sempit. Jangan ikut nasionalisme sempit. Harus berubah ke nasionalisme modern". Itu Anda sudah tahu: kata-kata yang sering diucapkan anaknya Pak Iskan.

Indonesia sulit maju karena dua pandangan yang bertabrakan. Keagamaan yang sempit dan nasionalisme yang sempit. Pak Iskan mungkin marah mendengar pendapat anaknya seperti itu. Tetapi zaman sudah berubah.

Nasionalisme sempit juga masih mengagungkan doktrin berdikari. Termasuk memuja swadesinya India. Padahal, India sendiri sudah lama meninggalkan swadesi --karena swadesi nyaris membuat India bangkrut.

Setelah mendengar 'seminar' saya itu, Lia bisa punya dua pilihan: mengembangkan kantor hukumnya di New York atau menjadi hakim.

Lia punya peluang jadi hakim di sana, tetapi harus menjadi warga negara Amerika.

Saya pilih yang pertama. Entah Lia. Saya lihat Lia punya energi berlebih. Sayang kalau orang seperti Lia frustrasi oleh kejadian-kejadian politik di dalam negeri.

Menjadi caleg di zaman SBY, dan menjadi tim sukses di zaman Ganjar, apa yang dihasilkannyi: Camino!

Baik juga Camino: Lia jadi berpikir harus menentukan masa depan. Terutama ketika anak tunggalnyi, Erick, akan pergi jauh ke Austin, Texas, minggu depan.

Erick akan buka usaha properti di sana. Betapa sedihnya seorang ibu. Selama 26 tahun Lia hampir tidak pernah berpisah dengan anaknyi. Seminggu lagi harus berjauhan.

Saya lihat Lia mengusap mata. James diam di meja makan.

"Lia, Anda harus bahagia punya anak seperti Erick. Banyak orang tua yang susah karena kelakuan anak mereka. Erick begitu baik. Relakan dia pergi." Toh suatu saat dia juga harus menikah.

Saya tahu karakter Erick. Anak baik. Tiga hari dia menemani saya di New York. Termasuk dua hari ke pengadilan Manhattan tempat Donald Trump disidangkan perkara uang tutup mulut.

Ketika Erick mengemudikan mobil, Lia begitu sering minta Erick harus belok di mana. Erick pun menurut. Padahal, setelah belok, Erick mengatakan 'lewat yang sana lebih cepat Ma'.

Hubungan Lia dan anaknya mirip dengan hubungan Lia dengan bapaknya. Hari itu saja Lia video call dengan bapaknya di Jakarta dua kali.

Sejak pagi, kalau bicara pun, Lia sering menyebut nama bapaknya. "Toh Anda bisa tetap dekat dengan papa Anda".

Sekolah musik Berklee menghasilkan orang seperti DJ Khaled. Juga Meghan Trainor si penyanyi "All About That Bass". Atau yang Anda juga sudah akrab: Psy, Korea. Kalau di musik Mandarin ada Roy Wang. Mungkin Anda mengenalnya sebagai Wang Yuan.

Lia tidak akan bersaing dengan James di musik. Kekayaan energi dan otaknya akan dia pakai yang lebih ke depan.

Kalau toh kelak balik ke Indonesia Lia sudah harus menjadi Ahok yang berbeda.(*)

Yuk, Simak Juga Video ini!

BACA ARTIKEL LAINNYA... James Surip


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler