Profesi pengawal pribadi alias bodyguard menjadi pilihan Artini. Selama 24 jam dia mendampingi kliennya. Perempuan 34 tahun itu selalu siap dengan risiko terburuk: mati!
RIDLWAN HABIB, Jakarta
PISTOL Sig Sauer P-226 itu tergeletak di tepi meja. Tangan mulus Artini mengambilnya dengan lembut. Senjata api genggam standar US Navy SEALs itu lalu dikokang dengan cekatan untuk memastikan tidak ada peluru yang tertinggal. "Saya pakai ini kalau memang situasinya darurat," katanya saat ditemui Jawa Pos di gedung Citra Graha, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (16/3) lalu.
Artini saat itu mengawal seorang perempuan yang merupakan petinggi sebuah badan usaha milik negara (BUMN). Dia meminta izin tiga jam untuk interview. "Kebetulan, Ibu juga sedang istirahat," katanya.
Artini lalu membuka magasinnya. Standarnya, bongkar pasang itu maksimal sepuluh menit. "Kalau sedang tak bawa pisol, saya pakai semprotan merica dan pengejut listrik," ujar Artini sembari mengeluarkan pepper spray dan stunt gun dari tas kecilnya.
Senjata memang tak bisa dipisahkan dari keseharian Artini. Maklum, dia sudah teken kontrak untuk melindungi keselamatan kliennya.
"Saya harus siap pasang badan. Pernah nonton film Whitney Houston, The Bodyguard? Ya seperti itu. Bedanya, saya bukan Kevin Costner," katanya, lalu tersenyum.
Sejak terjun sebagai pengawal pribadi lima tahun lalu, janda kelahiran 1978 tersebut sudah mendampingi belasan klien. Mulai istri pengusaha papan atas, pejabat, artis, bahkan selingkuhan pejabat. Dia menyebut beberapa nama. Namun, dengan alasan kerahasiaan, Artini meminta nama-nama itu tidak ditulis. "Saya terikat dengan kontrak, " ujarnya.
Perempuan yang dibayar minimal Rp 8 juta per bulan tersebut mengaku memiliki segudang rahasia paling pribadi klien-kliennya. Misalnya, kebiasaan mabuk-mabukan sampai urusan seputar asmara dan ranjang. "Saya pernah harus mendorong klien pakai kursi roda pukul tiga pagi dari sebuah diskotek karena dia mabuk berat," ujar lulusan sebuah SMA di Tangerang itu.
Pengalaman Artini memang beragam. Suatu ketika, dia mengikuti kliennya seminggu penuh. Yang menarik, setiap hari sang klien selalu berbelanja di mal. "Di setiap lift kami ketemu orang yang sama. Sehari dua hari, ternyata memang dibuntuti," ujarnya.
Setelah yakin bahwa kliennya terancam, Artini meminta si ibu berpindah rumah selama beberapa hari. "Jenis teror macam-macam. Yang paling penting memang dibuntuti. Untuk menimbulkan perasaan resah, tapi tak bisa dihukum pidana," tutur dia.
Salah seorang kliennya pernah dikuntit kendaraan berpelat aparat. Hal itu berlangsung dua hari. Nah, pada hari ketiga Artini menyusun rencana escape (melarikan diri). Mobil dibawa masuk ke SPBU. Klien turun, menuju toilet, dan berganti pakaian. "Saya larikan lewat jalan tembus pakai taksi," tutur dia.
Di setiap lokasi Artini selalu mencari jalur evakuasi atau tempat lari. "Itu prosedur tetapnya. Masuk ke mana pun, harus cari dulu. Kalau situasi darurat, klien harus dikeluarkan dari titik mana," terang dia.
Hal yang paling dilematis adalah ketika konflik yang mengancam kliennya justru datang dari keluarga atau orang dekat. Misalnya, suami atau mantan suami. "Saya pernah mengamankan seorang ibu dengan anaknya yang masih TK," ujar dia.
Mantan suami kliennya itu tidak terima karena tidak mendapatkan hak pengasuhan anak. Dia membawa puluhan preman untuk menjemput si anak. Tentu saja sang ibu panik. "Saya dipaksa dan dilatih untuk harus tenang dalam situasi apa pun. Saya bawa anaknya ke ruang kepala sekolah, ditemani gurunya di dalam, saya kunci dari luar," tutur dia.
Lalu, dia membawa sang ibu ke tempat terbuka untuk "berdebat" dengan mantannya. "Di lokasi terbuka banyak saksi. Secara hukum, kalau ada apa-apa, kami menang," tambahnya.
Untuk memberikan shock therapy bagi para pengawal si pria, Artini cukup menyentuh pimpinan mereka di titik berbahaya. "Lalu, tatap tajam di mata. Kuncinya, harus berani adu mata," ucap dia.
Langkah itu cukup efektif. Artini adalah pemegang sabuk hitam bela diri boxer tarung derajat. Sentuhannya terasa menyakitkan jika diiringi dengan tenaga dan titik sentuh yang pas. Tarung derajat terkenal dengan latihan full body contact yang keras dan disiplin.
Lantas, debat pun dimenangi sang ibu. Mantan suaminya pun ngeloyor pergi bersama rombongan preman. "Saya juga siap dengan telepon petugas kepolisian setempat. Jika ada apa-apa, mereka on call," katanya.
Tinggal bersama klien, Artini harus siap tidur di mana saja. Terkadang saat berada di luar kota, dia tidak dijatah kamar hotel. "Saya tidur di sofa, sudah biasa," imbuh dia.
Ketika klien makan, Artini tak boleh ikut menyantap makanan. Dia harus tetap waspada dan menjaga jarak. "Biasanya, saya makan pagi pukul tiga sore," terang dia. Demikian juga ketika mereka dugem di diskotek. "Kode etiknya, diharamkan menyentuh rokok, apalagi minum," beber dia.
Soal pakaian, Artini fleksibel. Ada klien yang menginginkan dia berdandan formal untuk mengesankan seorang pengawal pribadi. Namun, ada juga yang risi dan memintanya berdandan biasa layaknya sekretaris.
"Tapi, saya menolak kalau disuruh membawakan tas belanja atau mendorong troli. Sebab, bodyguard bukan pembantu," tegas dia.
Rutinitas pagi Artini dimulai dengan push-up. "Minimal sepuluh kali," katanya. Setelah itu, dia minum air putih tiga gelas dan buah yang selalu disiapkan. "Kalau tidak push-up, rasanya ada yang kurang," katanya.
Dia juga rajin mengecek senjatanya. Pistol harus dibersihkan setiap hari. Sedangkan penyemprot merica harus diganti dua minggu sekali. "Lewat waktunya, mericanya sudah tak perih lagi di mata," jelas dia.
Kok mau jadi bodyguard? Rupanya, Artini punya sejarah hidup yang pahit. "Saya pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Karena itu juga, saya bercerai," ucap dia.
Setelah rumah tangganya gagal, Artini berkonsentrasi belajar bela diri. Dia lantas menjadi satpam.
Wira, CEO Omyganesha, perusahaan penyedia jasa bodyguard, mengakui bahwa permintaan akan bodyguard sangat tinggi. "Klien sampai antre," ucap dia.
Dia sekarang memiliki enam bodyguard yang siap bertugas di seluruh Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Dulu perusahaannya hanya menyediakan pengawal cowok. Namun, ternyata banyak klien yang komplain ketika bodyguard itu harus mengawal perempuan. "Ada suami marah-marah karena bodyguard-nya ada affair dengan istrinya," jelas dia.
Karena itu, Wira lalu merekrut pengawal perempuan. Mereka disekolahkan di International Security Academy di Singapura. Mereka juga dibekali pengetahuan standar kepolisian. "Mereka harus siap dengan risiko terburuk," katanya.
Pria yang juga mantan bodyguard itu menilai, pengawal perempuan semakin dibutuhkan ketika ancaman di tengah masyarakat, terutama Jakarta, meningkat tajam. "Lagi jalan, dirampok. Bahkan, di rumah sendiri ditembak, bahaya sekali," ucap mantan pengawal Rahardi Ramelan dan Tommy Soeharto tersebut.
Dia juga sengaja memilih janda untuk direkrut karena relatif bisa all-out saat berdinas. "Bukan bermaksud apa-apa. Supaya lebih fokus saja," katanya. (*/c11/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Blasius Harry, Tukang Becak yang Go International
Redaktur : Tim Redaksi