jpnn.com, DAHUK - Isak tangis terdengar di perbatasan Syria dan Iraq akhir pekan lalu. Sebanyak 18 bocah dan 3 perempuan larut dalam haru. Mereka berpelukan erat, seolah tidak mau lepas lagi.
Di bawah sorot kamera, anak-ibu dan kerabat yang telah lima tahun terpisah karena ISIS itu saling melepas rindu. Mereka bertemu setelah benteng terakhir ISIS di Desa Baghouz runtuh.
BACA JUGA: Inggris Cabut Kewarganegaraan Pengantin ISIS Shamima Begum
"Syukurlah mereka bisa kembali," ujar Noura Ali yang menjemput sepupunya, Milad Hussein Khalaf, kepada Al Jazeera Sabtu (2/3).
Khalaf dan 17 temannya menjadi tawanan ISIS setelah kelompok militan radikal itu merebut desa mereka, Sinjar, pada 2014. Kaum Yazidi yang menghuni desa itu lantas menjadi bulan-bulanan. Jika tidak dibunuh, anak-anak lelakinya dijadikan tawanan.
BACA JUGA: Didanai ISIS Rp 30 Juta, Eks Napi Teroris Ini Nyaris Terbang ke Iran
Dilbar Ali Ravu, salah seorang bocah yang disandera ISIS, bahagia melihat sang paman, Jihad, menjemputnya di perbatasan. Dia tidak bisa berkata-kata. Pipinya basah oleh air mata. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, dia bersyukur masih bisa pulang ke kampung halaman. Kini Sinjar sudah bebas dari ISIS. Tapi, desa itu masih porak-poranda.
Mereka yang menjemput anak-anak bekas tawanan ISIS itu mencemaskan masa depan bocah-bocah yang kini beranjak remaja tersebut. Tentu mereka mengkhawatirkan ideologi Khalaf, Ravu, dan anak-anak yang lain.
BACA JUGA: Syria Ancam Bombardir Israel
Lima tahun terpisah dari orang tua dan "diasuh" ISIS membuat mereka sangat mungkin terdoktrin menjadi radikal. Tapi, Khalaf menampik tuduhan itu.
Namun, Koordinator LSM Khalsa Aid Susan Fahmy meragukan hal itu. Dalam banyak kasus, beberapa bocah Yazidi tertangkap berkomunikasi dengan ISIS bertahun-tahun setelah mereka dipulangkan. (bil/c10/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Trump Sudah Tak Sabar Tendang Mattis dari Kabinet
Redaktur & Reporter : Adil