Lokalisasi Ditutup, HIV/AIDS Menyebar

Minggu, 01 September 2013 – 10:51 WIB

jpnn.com - SURABAYA - Suasana lengang tampak dari salah satu sudut gang yang berdekatan dengan lapangan Tambakasri. Berdasar pantauan Jawa Pos saat siang, hanya terlihat beberapa warung kopi yang menyediakan aneka minuman. Namun, jika kita jeli, juga tampak beberapa botol minuman keras yang sengaja disembunyikan.

Ya, itulah gambaran eks lokalisasi Tambakasri saat ini. Tetapi, siapa sangka di balik lengangnya suasana kampung, terselip sebuah pemandangan baru, yakni munculnya mantan PSK yang beraktivitas lagi. Setelah ditutup beberapa bulan silam, eks lokalisasi di kawasan Bangunsari dan Tambakasri justru masih menyisakan masalah.

BACA JUGA: LKS Ajak Siswa Bahas Perselingkuhan

Hal itu tampak dari beberapa PSK yang menyebar ke beberapa lokasi. Ada beberapa lokasi yang ditengarai menjadi ajang transaksi prostitusi sembunyi-sembunyi tersebut. Alhasil, dampak yang muncul adalah semakin beragamnya karakter penderita HIV/AIDS.

Ketua LKMK Dupak Arif An mengatakan, penutupan lokalisasi memang tidak sepenuhnya menyelesaikan semua persoalan. Secara lokasi, memang sudah tidak ada ruang bagi PSK untuk melakukan praktik prostitusi. Namun, yang menjadi kendala adalah kebutuhan ekonomi yang belum terjawab sehingga eks PSK kembali pada profesi sebelumnya.

BACA JUGA: Dihantam Ponton, Jembatan Kapuas Retak

"Ya kami harus akui, ada beberapa PSK yang masih beroperasi. Kami memaklumi karena mereka tidak punya pekerjaan lain," ujarnya.

Dia menjelaskan, beberapa PSK biasanya menjalankan praktik prostitusi secara sembunyi-sembunyi. Menurut Arif, lokasi yang diduga menjadi tempat untuk menjalankan bisnis esek-esek tersebut, antara lain, tempat kos dan hotel. Sedangkan untuk transaksi, dia menyebut masih dilakukan di gang kampung dan mucikari setempat.

BACA JUGA: Cuaca Buruk, Nelayan Tak Melaut

Ya, mucikari memang menjadi mediator utama dalam menjalankan kembali bisnis mereka. Sejak lokalisasi ditutup, mucikari seolah-olah kehilangan pendapatan. Tak ayal, sejalan dengan keinginan PSK, mereka pun kembali menjalankan bisnis haram itu meski dilakukan secara terselubung.

Misalnya, yang diungkapkan Wawan (nama samaran), salah seorang mucikari. Dia mengakui sejak lokalisasi ditutup, dirinya kehilangan pendapatan. Maklum, selain mengandalkan keahliannya sebagai perantara bisnis seks, saat ini dia hanya menjadi pekerja serabutan.

"Ya susah juga sih, kemarin waktu ditutup kami tidak diberi uang saku. Sedangkan itu adalah satu-satunya pekerjaan kami," ujarnya.

Wawan merupakan salah satu contoh di antara sekian banyak mucikari yang masih berusaha untuk menjalankan bisnis haramnya. Padahal, ada lebih dari sepuluh germo yang beredar di kawasan eks lokalisasi itu. "Teman-teman saya sih masih banyak, ya ada lah lebih dari sepuluh," imbuhnya.

Tak berbeda dengan cara sebelumnya, transaksi masih dilakukan melalui perantara. Hanya, saat ini bentuknya lebih berhati-hati. Pelanggan sekarang cukup menelepon mucikari yang bersangkutan untuk menanyakan stok PSK serta tempat eksekusi yang dituju. Biasanya hal itu dilakukan pelanggan lama yang sudah akrab dengan mucikari tersebut.

Sementara itu, pelanggan baru, kata Wawan, biasanya nongkrong di warung kopi untuk bertanya tentang PSK yang ingin digunakan. "Kalau yang baru, mereka bertanya-tanya langsung ke warung kopi. Nah, di situ kami juga stand by," ujarnya.

Setelah semuanya sepakat dengan transaksi, kini giliran PSK yang dipandu mucikari tersebut. Dari lokasi yang sudah disepakati, para PSK tersebut diantar dengan motor atau becak. ''Biasanya sih yang lebih banyak pakai becak. Soalnya, kalau kami yang antar, nanti bisa ketahuan," tuturnya.

Tak berbeda dengan kondisi di Kremil Tambakasri, pemandangan serupa terlihat di eks lokalisasi Bangunsari. Pasca ditutup Desember silam, ternyata aktivitas kafe belum sepenuhnya tutup. Menurut laporan warga, saat ini ada beberapa kafe dan tempat karaoke yang masih menjalankan aktivitasnya.

Arif An mengatakan, aktivitas kafe itu sebenarnya sudah berlangsung beberapa bulan terakhir. Bagi warga sendiri, aktivitas kafe tersebut masih dibiarkan karena jumlahnya memang sedikit. Namun, lama-kelamaan ada beberapa kafe yang mengikuti untuk buka. "Lama-lama banyak kafe yang buka lagi, bahkan tidak sedikit yang menyediakan miras," ujarnya.

Dia menambahkan, dengan bukanya kafe, PSK mempunyai kesempatan untuk menjalankan profesinya lagi. Hal itu terbukti dari beberapa PSK yang mulai ramai di kafe-kafe tersebut. "Apalagi kalau Sabtu-Minggu, banyak PSK yang mulai berani berjualan lagi di situ," ujarnya.

Aktivitas PSK yang kembali muncul itu justru memicu kasus sosial baru, yakni semakin maraknya peredaran HIV/AIDS. Ya, data terbaru dari Puskesmas Morokrembangan menyebutkan bahwa dua warga positif terjangkit virus mematikan itu.

Kepala Puskesmas Morokrembangan dr Fitriah Wahyuningsih mengatakan, dua pasien tersebut merupakan warga biasa yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Dia menambahkan, pasien baru itu ditemukan bukan melalui proses screening terhadap mantan PSK. Namun, lewat poli umum di puskesmas.

"Iya, dua pasien ini baru diketahui setelah periksa di poli umum. Saya curiga dengan gejala yang tampak pada pasien. Setelah saya periksa, ternyata benar mereka positif terinfeksi HIV/AIDS," jelasnya.

Hal serupa ditemukan di wilayah Dupak. Menurut data Puskesmas Dupak, selama Januari hingga Juli tercatat sembilan pasien positif terinfeksi penyakit yang belum ditemukan obatnya itu.

Kepala Puskesmas Dupak dr Nurul Lailah mengatakan, secara angka jumlah tersebut turun daripada tahun sebelumnya. Namun, yang menarik adalah semakin bertambahnya penderita HIV/AIDS pasca ditutupnya lokalisasi.

Sama dengan kasus yang terjadi di Morokrembangan, di wilayah itu semua pasien adalah warga biasa. "Jadi, semuanya warga biasa dan bukan PSK, sedangkan untuk ibu hamil sejauh ini belum ada temuan," ujarnya.

Nurul pun menduga temuan terhadap warga biasa tersebut juga terkait dengan keberadaan eks PSK yang menyebar. Dia menyebut suami adalah salah satu faktor penularan penyakit tersebut. Menurut dia, ketika si suami "jajan", mereka tidak mengetahui bahwa si PSK tersebut terjangkit HIV.

Nurul menjelaskan, jika PSK tersebut masih di lokalisasi, tentu penularan itu tidak mungkin terjadi. Sebab, dengan diadakannya screening, para PSK yang positif terinfeksi pasti segera diambil dan dijauhkan dari tempat tersebut. Namun, dengan tersebarnya mereka, pantauan dari dinas kesehatan pun sulit.

"Kami jadi kesulitan. Karena itu, sekarang banyak warga biasa yang terjangkit HIV/AIDS. Saya menduga karena si suami tidak tahu waktu kencan, si PSK mengidap penyakit tersebut," katanya.

Nurul juga menjelaskan soal bertambahnya pasien HIV/AIDS. Dia menganggap jumlah tersebut masih terbilang kecil. Menurut dia, pasca-penutupan  eks lokalisasi, sulit mendeteksi dan menjaring pasien HIV/AIDS. Penyebabnya, banyak mantan PSK yang kini sudah berpindah tempat atau berprofesi di bidang lain.

"Ya jujur, di satu sisi penutupan itu positif untuk mengatasi problem sosial. Namun, untuk kesehatan sendiri, saya sulit mendeteksi mereka. Masalahnya, saya bingung mencari mereka," ujarnya.

Nurul menambahkan, fenomena HIV/AIDS ibarat fenomena gunung es. Secara data, bisa saja disajikan bahwa jumlah pasien HIV/AIDS turun. Hal itu terjadi karena petugas kesehatan terkesan pasif, yakni menunggu warga memeriksakan diri di puskesmas atau rumah sakit. Dari situ baru diketahui apakah warga terinfeksi atau tidak. (dha/dor/c7/end)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ciptakan Rekor Dunia Martumba


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler