Underground secret dining (USD) menawarkan konsep perjamuan makan yang tak biasa. Mulai lokasi hingga menu, semuanya menyajikan sesuatu yang berbeda. Kokinya pun bukan koki profesional, melainkan ibu rumah tangga.
-------------
BAYU PUTRA, Jakarta
------------
MEJA panjang terpasang di tengah-tengah salah satu ruang di kompleks Museum Layang-Layang Indonesia Minggu lalu (17/2). Di atas meja sudah tersaji delapan jenis masakan Sunda yang ditempatkan dalam peralatan memasak tradisional. Semua makanan itu masih ditutup karena jam masih menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Sembari menunggu, sekitar 35 peserta USD diajak berkenalan dengan layang-layang dari seluruh Nusantara yang dipajang di museum. Selain mereka, ada delapan anak yang ikut serta dalam tur di museum yang terletak di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu.
Mereka berasal dari Bandung dan merupakan anak didik Rita Koesma, pemilik sebuah perpustakaan khusus buku-buku berbahasa Inggris.
Mereka disuguhi film dokumenter tentang layang-layang, kemudian diajak berkeliling ke ruang pameran. Puas berkeliling, para peserta menuju pendapa utama bangunan museum yang berbentuk joglo.
Di situ telah siap kertas, gunting, lem, krayon, dan tentu saja kerangka layang-layang yang berbentuk berlian. Mereka diajari membuat layang-layang oleh para instruktur.
Sekitar pukul 12.30, barulah acara makan siang dimulai. Mata para peserta USD pun berbinar tatkala membuka penutup makanan di meja. Masakan yang tersaji tampak mengundang selera. Sebagian besar jarang dijumpai di restoran ataupun warung makan pada umumnya.
Sebut saja nasi liwet Sunda, bobotok daun labu, tumis genjer, ayam bekakak, pepes ikan, lalapan, sambal terasi, dan olahan kentang khas Sunda. Sebagai dessert, es goyobod sudah disiapkan. "Semua adalah makanan rumahan dan kokinya adalah Ibu Rita," terang Lisa Firgiano, penggagas USD. Rita yang disebut hanya tersenyum.
Selama berkomunikasi, Lisa selalu menggunakan bahasa Inggris. Sebab, sebagian di antara peserta USD merupakan ekspatriat. Meski begitu, dia tidak perlu khawatir peserta lain yang asli Indonesia tidak mengerti. Sebab, selama ini seluruh peserta yang mengikuti acara USD sudah terbiasa dengan bahasa internasional tersebut.
Konsep USD tergolong berbeda dengan perjamuan pada umumnya. Mendengar nama Underground Secret Dining, sudah terbayang kuliner yang tidak biasa. Lisa memang merahasiakan lokasi dan menu yang akan disajikan.
Lokasi baru diberitahukan dua hari menjelang acara. Sedangkan menu yang disajikan baru diketahui para peserta saat hari H, tepat saat jam makan siang. Kegiatan itu dilangsungkan satu bulan sekali.
Untuk lokasi, Lisa mengonsepnya secara tidak biasa. Dia tidak memilih hotel atau restoran. Biasanya dia meminjam rumah sebagai lokasi acara. Kadang dia menggunakan lokasi kamping, rumah sakit, pura, bahkan makam.
Makam yang dimaksud adalah Mausoleum O.G. Khouw di Petamburan, Jakarta Pusat. Itu adalah makam tokoh Tionghoa pada zaman Belanda yang sarat nilai sejarah.
Selain menentukan lokasi, Lisa membatasi pesertanya. Paling banyak 40 orang. Pertimbangan utamanya adalah kesanggupan si juru masak. "Sebelum bikin acara, saya tanya dulu juru masaknya, sanggup untuk berapa orang," jelasnya. Sebab, kebanyakan juru masak yang didatangkan Lisa bukan kalangan koki profesional.
Sebagian besar di antara mereka merupakan ibu rumah tangga yang kebetulan jago memasak. Tentu saja mereka tidak terbiasa memasak dalam jumlah besar. Jika sang koki menyatakan hanya sanggup memasak untuk 25 orang, peserta akan lebih sedikit lagi. Hal-hal itulah yang mendasari Lisa menamai acaranya underground secret dining.
Selain agenda utama berupa makan, para peserta USD diberi kegiatan lain di lokasi acara. Dalam acara kemarin, misalnya, mereka dikenalkan lebih dalam dengan layang-layang karena acara berlokasi di museum layang-layang. Begitu juga di Mausoleum O.G. Khouw, kegiatan dipadukan dengan acara amal.
Masakan tradisional yang dimasak orang rumahan sebenarnya memiliki cita rasa yang khas. Itu menjadi kelebihan Indonesia dalam hal kuliner. Sayang, masakan-masakan rumahan itu kurang tereksplorasi dengan baik sehingga tidak banyak yang muncul ke permukaan.
Lewat acara USD, Lisa telah mendatangkan koki rumahan untuk berbagai jenis kuliner Indonesia. Mulai kuliner khas Aceh, Bangka Belitung, Ternate, Singaraja, Palembang, Makassar, masakan khas Tangerang peranakan, hingga Kerajaan Buton. Lisa tidak mendatangkan koki tersebut dari tempat asalnya. Koki-koki itu kebetulan memang tinggal di Jakarta.
Perempuan 31 tahun itu mengatakan, jangan melihat kuliner hanya dari sudut pandang masakannya. Ada beberapa hal lain yang cukup menarik. Misalnya kehidupan warga yang memiliki kuliner tersebut, jalur distribusi, seluk-beluk pertanian, perikanan, dan peternakannya.
"Jika tidak mengetahui hal tersebut, agak susah memahami makna makanan yang tersaji secara utuh," tuturnya.
Saat acara Minggu lalu para peserta mengantre untuk mengambil makanan dengan konsep prasmanan. Disediakan piring bambu dengan alas daun pisang untuk mereka.
Setidaknya ada dua jenis makanan yang paling membuat penasaran para peserta. Yakni, nasi liwet Sunda dan bobotok daun labu. Nyaris seluruh peserta belum pernah menjumpai dua jenis masakan itu. Lisa pun membantu menjelaskan bahwa nasi liwet terbuat dari campuran beras merah dan putih. Dua jenis beras itu lalu dimasak dalam sebuah dandang dari besi.
Dandang untuk nasi liwet Sunda memang harus terbuat dari besi tebal. Tujuannya, dandang tidak cepat panas dan panasnya merata di seluruh bagian. "Jadi, tidak sampai gosong," lanjutnya. Pembuatan nasi itu sama dengan nasi liwet pada umumnya. Menggunakan rempah-rempah khas Indonesia, yakni daun salam dan serai. Tidak lupa di bagian atas nasi diberi jamur tiram dan cabai rebus.
Sedangkan bobotok daun labu merupakan masakan berbahan dasar tahu atau kelapa yang dikukus. Bentuk dan rasanya mirip dengan botok di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bedanya, bobotok dibungkus dengan daun labu muda sehingga pembungkusnya bisa dimakan. Dua masakan itu menjad favorit para peserta.
"Ayo, tambah lagi, dihabiskan saja," ujar Lisa. Tanpa dikomando, sebagian peserta yang telah menandaskan makanan masing-masing pun beranjak mengambil makanan untuk kali kedua. Bahkan, di akhir acara sebagian peserta mengeluarkan kotak bekal dan plastik. Mereka mengambil makanan yang masih tersisa di meja makan hingga ludes.
Seorang ekspatriat asal Jerman, Steen Bach, tampak menikmati makanan tersebut. Bersama istri dan anak perempuannya, dia sudah beberapa kali mengikuti acara USD.
Putrinya yang masih berusia 15 tahun pun tampak senang. Beberapa kali dia minta tambah bobotok. Meski bisa dibilang bobotok masakan paling sederhana di antara menu lain, rupanya para peserta sangat menyukainya. Beberapa orang di antara mereka berjanji mengunjungi Rita di Bandung untuk mencicipi masakannya lagi.
Karir Rita di dunia kuliner berawal pada 2009. Kala itu dia mengalami kejenuhan dalam hal makanan. "Saya ini hobi makan, tapi bosan dengan makanan yang ada di restoran," ujarnya. Karena itu, dia mulai mengeksplorasi berbagai jenis masakan Indonesia.
Mulailah dia membuat konsep perjamuan makan yang tidak biasa. Yakni, menghadirkan menu-menu tradisional dengan mengundang kalangan terbatas. "Awalnya saya ajak teman-teman lewat e-mail, ternyata banyak di antara mereka yang hobi makan," tutur master di bidang komunikasi pembangunan dari Malmo University, Swedia, itu.
Untuk acara berikutnya, perempuan yang sering mengajar di Jurusan Culinary Business Universitas Ciputra Surabaya itu berencana mengadakan tur ke Jawa Timur. Jumlah peserta dibatasi hanya 20 orang. Dia ingin mengenalkan potensi kuliner Jatim beserta berbagai bahan masakan yang tidak biasa.
Saat ditanya apa impiannya, dia mengatakan ingin membuat sebuah centre of excellent di bidang kuliner Indonesia.
Dia ingin mendatangkan para koki dari seluruh dunia untuk mempelajari kuliner Indonesia mulai rasa hingga cara memasaknya dari para ibu rumah tangga. Tujuannya, menyebarluaskan masakan Indonesia ke seantero dunia. (*/c11/oki)
-------------
BAYU PUTRA, Jakarta
------------
MEJA panjang terpasang di tengah-tengah salah satu ruang di kompleks Museum Layang-Layang Indonesia Minggu lalu (17/2). Di atas meja sudah tersaji delapan jenis masakan Sunda yang ditempatkan dalam peralatan memasak tradisional. Semua makanan itu masih ditutup karena jam masih menunjukkan pukul 11.00 WIB.
Sembari menunggu, sekitar 35 peserta USD diajak berkenalan dengan layang-layang dari seluruh Nusantara yang dipajang di museum. Selain mereka, ada delapan anak yang ikut serta dalam tur di museum yang terletak di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, itu.
Mereka berasal dari Bandung dan merupakan anak didik Rita Koesma, pemilik sebuah perpustakaan khusus buku-buku berbahasa Inggris.
Mereka disuguhi film dokumenter tentang layang-layang, kemudian diajak berkeliling ke ruang pameran. Puas berkeliling, para peserta menuju pendapa utama bangunan museum yang berbentuk joglo.
Di situ telah siap kertas, gunting, lem, krayon, dan tentu saja kerangka layang-layang yang berbentuk berlian. Mereka diajari membuat layang-layang oleh para instruktur.
Sekitar pukul 12.30, barulah acara makan siang dimulai. Mata para peserta USD pun berbinar tatkala membuka penutup makanan di meja. Masakan yang tersaji tampak mengundang selera. Sebagian besar jarang dijumpai di restoran ataupun warung makan pada umumnya.
Sebut saja nasi liwet Sunda, bobotok daun labu, tumis genjer, ayam bekakak, pepes ikan, lalapan, sambal terasi, dan olahan kentang khas Sunda. Sebagai dessert, es goyobod sudah disiapkan. "Semua adalah makanan rumahan dan kokinya adalah Ibu Rita," terang Lisa Firgiano, penggagas USD. Rita yang disebut hanya tersenyum.
Selama berkomunikasi, Lisa selalu menggunakan bahasa Inggris. Sebab, sebagian di antara peserta USD merupakan ekspatriat. Meski begitu, dia tidak perlu khawatir peserta lain yang asli Indonesia tidak mengerti. Sebab, selama ini seluruh peserta yang mengikuti acara USD sudah terbiasa dengan bahasa internasional tersebut.
Konsep USD tergolong berbeda dengan perjamuan pada umumnya. Mendengar nama Underground Secret Dining, sudah terbayang kuliner yang tidak biasa. Lisa memang merahasiakan lokasi dan menu yang akan disajikan.
Lokasi baru diberitahukan dua hari menjelang acara. Sedangkan menu yang disajikan baru diketahui para peserta saat hari H, tepat saat jam makan siang. Kegiatan itu dilangsungkan satu bulan sekali.
Untuk lokasi, Lisa mengonsepnya secara tidak biasa. Dia tidak memilih hotel atau restoran. Biasanya dia meminjam rumah sebagai lokasi acara. Kadang dia menggunakan lokasi kamping, rumah sakit, pura, bahkan makam.
Makam yang dimaksud adalah Mausoleum O.G. Khouw di Petamburan, Jakarta Pusat. Itu adalah makam tokoh Tionghoa pada zaman Belanda yang sarat nilai sejarah.
Selain menentukan lokasi, Lisa membatasi pesertanya. Paling banyak 40 orang. Pertimbangan utamanya adalah kesanggupan si juru masak. "Sebelum bikin acara, saya tanya dulu juru masaknya, sanggup untuk berapa orang," jelasnya. Sebab, kebanyakan juru masak yang didatangkan Lisa bukan kalangan koki profesional.
Sebagian besar di antara mereka merupakan ibu rumah tangga yang kebetulan jago memasak. Tentu saja mereka tidak terbiasa memasak dalam jumlah besar. Jika sang koki menyatakan hanya sanggup memasak untuk 25 orang, peserta akan lebih sedikit lagi. Hal-hal itulah yang mendasari Lisa menamai acaranya underground secret dining.
Selain agenda utama berupa makan, para peserta USD diberi kegiatan lain di lokasi acara. Dalam acara kemarin, misalnya, mereka dikenalkan lebih dalam dengan layang-layang karena acara berlokasi di museum layang-layang. Begitu juga di Mausoleum O.G. Khouw, kegiatan dipadukan dengan acara amal.
Masakan tradisional yang dimasak orang rumahan sebenarnya memiliki cita rasa yang khas. Itu menjadi kelebihan Indonesia dalam hal kuliner. Sayang, masakan-masakan rumahan itu kurang tereksplorasi dengan baik sehingga tidak banyak yang muncul ke permukaan.
Lewat acara USD, Lisa telah mendatangkan koki rumahan untuk berbagai jenis kuliner Indonesia. Mulai kuliner khas Aceh, Bangka Belitung, Ternate, Singaraja, Palembang, Makassar, masakan khas Tangerang peranakan, hingga Kerajaan Buton. Lisa tidak mendatangkan koki tersebut dari tempat asalnya. Koki-koki itu kebetulan memang tinggal di Jakarta.
Perempuan 31 tahun itu mengatakan, jangan melihat kuliner hanya dari sudut pandang masakannya. Ada beberapa hal lain yang cukup menarik. Misalnya kehidupan warga yang memiliki kuliner tersebut, jalur distribusi, seluk-beluk pertanian, perikanan, dan peternakannya.
"Jika tidak mengetahui hal tersebut, agak susah memahami makna makanan yang tersaji secara utuh," tuturnya.
Saat acara Minggu lalu para peserta mengantre untuk mengambil makanan dengan konsep prasmanan. Disediakan piring bambu dengan alas daun pisang untuk mereka.
Setidaknya ada dua jenis makanan yang paling membuat penasaran para peserta. Yakni, nasi liwet Sunda dan bobotok daun labu. Nyaris seluruh peserta belum pernah menjumpai dua jenis masakan itu. Lisa pun membantu menjelaskan bahwa nasi liwet terbuat dari campuran beras merah dan putih. Dua jenis beras itu lalu dimasak dalam sebuah dandang dari besi.
Dandang untuk nasi liwet Sunda memang harus terbuat dari besi tebal. Tujuannya, dandang tidak cepat panas dan panasnya merata di seluruh bagian. "Jadi, tidak sampai gosong," lanjutnya. Pembuatan nasi itu sama dengan nasi liwet pada umumnya. Menggunakan rempah-rempah khas Indonesia, yakni daun salam dan serai. Tidak lupa di bagian atas nasi diberi jamur tiram dan cabai rebus.
Sedangkan bobotok daun labu merupakan masakan berbahan dasar tahu atau kelapa yang dikukus. Bentuk dan rasanya mirip dengan botok di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bedanya, bobotok dibungkus dengan daun labu muda sehingga pembungkusnya bisa dimakan. Dua masakan itu menjad favorit para peserta.
"Ayo, tambah lagi, dihabiskan saja," ujar Lisa. Tanpa dikomando, sebagian peserta yang telah menandaskan makanan masing-masing pun beranjak mengambil makanan untuk kali kedua. Bahkan, di akhir acara sebagian peserta mengeluarkan kotak bekal dan plastik. Mereka mengambil makanan yang masih tersisa di meja makan hingga ludes.
Seorang ekspatriat asal Jerman, Steen Bach, tampak menikmati makanan tersebut. Bersama istri dan anak perempuannya, dia sudah beberapa kali mengikuti acara USD.
Putrinya yang masih berusia 15 tahun pun tampak senang. Beberapa kali dia minta tambah bobotok. Meski bisa dibilang bobotok masakan paling sederhana di antara menu lain, rupanya para peserta sangat menyukainya. Beberapa orang di antara mereka berjanji mengunjungi Rita di Bandung untuk mencicipi masakannya lagi.
Karir Rita di dunia kuliner berawal pada 2009. Kala itu dia mengalami kejenuhan dalam hal makanan. "Saya ini hobi makan, tapi bosan dengan makanan yang ada di restoran," ujarnya. Karena itu, dia mulai mengeksplorasi berbagai jenis masakan Indonesia.
Mulailah dia membuat konsep perjamuan makan yang tidak biasa. Yakni, menghadirkan menu-menu tradisional dengan mengundang kalangan terbatas. "Awalnya saya ajak teman-teman lewat e-mail, ternyata banyak di antara mereka yang hobi makan," tutur master di bidang komunikasi pembangunan dari Malmo University, Swedia, itu.
Untuk acara berikutnya, perempuan yang sering mengajar di Jurusan Culinary Business Universitas Ciputra Surabaya itu berencana mengadakan tur ke Jawa Timur. Jumlah peserta dibatasi hanya 20 orang. Dia ingin mengenalkan potensi kuliner Jatim beserta berbagai bahan masakan yang tidak biasa.
Saat ditanya apa impiannya, dia mengatakan ingin membuat sebuah centre of excellent di bidang kuliner Indonesia.
Dia ingin mendatangkan para koki dari seluruh dunia untuk mempelajari kuliner Indonesia mulai rasa hingga cara memasaknya dari para ibu rumah tangga. Tujuannya, menyebarluaskan masakan Indonesia ke seantero dunia. (*/c11/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dipegang Anak Muda, Brand Lokal Jadi Keren
Redaktur : Tim Redaksi