SINEAS muda Lola Amaria tidak berhenti mengangkat tema sosial dalam filmnya. Setelah Minggu Pagi di Victoria Park pada 2010, dia kembali mengungkap kehidupan buruh. Judulnya, Kisah 3 Titik. Film itu akan menghiasi bioskop-bioskop tanah air, sehari setelah peringatan Hari Buruh.
”Ide film ini (didapat) setahun yang lalu. Aku terinspirasi dari buruh yang belakangan ini selalu bentrok dengan pengusaha dan pemerintah melalui demo,” ujar Lola Amaria saat press screening di PPHUI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).
Bukan sekadar hiburan, perempuan kelahiran Jakarta, 30 Juli 1977 itu akan mengajak penonton berpikir sejenak lewat setiap scene yang ditampilkan. Bukan hanya menghadirkan realita kehidupan pekerja dan kaum buruh, film berdurasi 100 menit itu menyajikan sisi-sisi kemanusiaan dari para pelaku industri. Dia menunjuk Chermantha Adji sebagai penulis skenarionya.
Lola melakukan riset selama setahun sebelum akhirnya menggarap Kisah 3 Titik. Dia ingin menyampaikan pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui lewat film itu. ”Saya langsung ke lapangan, ketemu buruh,” katanya. Memang, Wajah Femina 1997 itu menyuguhkan cerita pilu dan penderitaan kaum buruh. Namun, dia berusaha tetap netral.
Lola memberikan porsi yang sama untuk pengusaha dan pemerintah. Jadi, dia tidak menyatakan siapa yang benar dan salah dalam persoalan buruh di negeri ini. Intinya, hanya menceritakan dunia ketenagakerjaan di Indonesia, beserta konflik-konflik yang mewarnainya.
”Tidak hanya kaum buruh, untuk membuat film ini saya pun bertemu langsung dengan sejumlah pengusaha dan pemerintah,” terangnya.
Bukti tidak memojokkan salah satu pihak, Lola mendapat dukungan dan bantuan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kementrans), serta International Labour Organization (ILO) dalam penggarapan Kisah 3 Titik.
”Ketika kami mempunyai ide, kami tidak mempunyai dana. Ketika cerita sudah jadi, kami mencari dana ke sana kemari. Dan bertemu dengan staf Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, termasuk Pak Menteri (Muhaimin Iskandar) sendiri. Dan pas banget film ini sesuai dengan program kementerian,” tuturnya.
Meski melibatkan Kementrans dan ILO, Lola menolak karyanya disebut kepanjangan tangan mereka. Dia mengaku diberi kebebasan dalam mengeksplorasi kehidupan buruh, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Tak ada sedikit pun tekanan dari pemerintah, ataupun pengusaha.
”Meski mereka men-support kami, mereka tidak membatasi kreativitas kami. Dan jarang sekali kementerian memberikan kebebasan seperti ini,” ungkapnya.
”Satu hal, buat saya pribadi membuat film itu harus jujur pada realita, pada diri sendiri, dan karakter yang kita lihat. Kisah yang ada sebagian adalah nyata,” sambungnya. Lola mengaku tidak memikirkan keuntungan dari filmnya kali ini. Bisa dinikmati dan menjadi bahan pemikiran bagi buruh, pengusaha, dan pemerintah, sudah cukup baginya.
Pemain film Tanpa Huruf R itu menyebut Kisah 3 Titik sebagai proyek dari hati. ”Karena film ini bisa menjadi arsip 20-30 tahun ke depan. Kita nggak tahu ke depan (kondisi ketenagakerjaan di Indonesia) seperti apa. Film ini bisa menjadi cerminan,” ucapnya.
Lola menambahkan, filmnya kali ini tidak happy ending. Dia benar-benar ingin filmnya menjadi bahan pemikiran bagi penontonnya. ”Ini bukan film Hollywood yang selalu happy ending. Kami ingin memberikan sesuatu kepada penonton untuk menjadi bahan pemikiran usai menonton film ini,” katanya.
Salah satu pemain, Inggrid Widjanarko, mengaku senang bisa ambil bagian dalam film itu. Sebab, sebagai pekerja seni, dia menganggap dirinya pun seorang buruh. Jadi, cerita yang dihadirkan dalam film itu dirasanya sangat dekat dengan kehidupannya.
”Kami rasa ini adalah salah satu kritik dan saran dari pekerja seni melalui sebuah karya kepada pemerintah. Dan rasanya, melihat karya ini lebih baik daripada demo,” pungkasnya. (ash)
”Ide film ini (didapat) setahun yang lalu. Aku terinspirasi dari buruh yang belakangan ini selalu bentrok dengan pengusaha dan pemerintah melalui demo,” ujar Lola Amaria saat press screening di PPHUI, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).
Bukan sekadar hiburan, perempuan kelahiran Jakarta, 30 Juli 1977 itu akan mengajak penonton berpikir sejenak lewat setiap scene yang ditampilkan. Bukan hanya menghadirkan realita kehidupan pekerja dan kaum buruh, film berdurasi 100 menit itu menyajikan sisi-sisi kemanusiaan dari para pelaku industri. Dia menunjuk Chermantha Adji sebagai penulis skenarionya.
Lola melakukan riset selama setahun sebelum akhirnya menggarap Kisah 3 Titik. Dia ingin menyampaikan pesan-pesan moral tanpa terkesan menggurui lewat film itu. ”Saya langsung ke lapangan, ketemu buruh,” katanya. Memang, Wajah Femina 1997 itu menyuguhkan cerita pilu dan penderitaan kaum buruh. Namun, dia berusaha tetap netral.
Lola memberikan porsi yang sama untuk pengusaha dan pemerintah. Jadi, dia tidak menyatakan siapa yang benar dan salah dalam persoalan buruh di negeri ini. Intinya, hanya menceritakan dunia ketenagakerjaan di Indonesia, beserta konflik-konflik yang mewarnainya.
”Tidak hanya kaum buruh, untuk membuat film ini saya pun bertemu langsung dengan sejumlah pengusaha dan pemerintah,” terangnya.
Bukti tidak memojokkan salah satu pihak, Lola mendapat dukungan dan bantuan dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kementrans), serta International Labour Organization (ILO) dalam penggarapan Kisah 3 Titik.
”Ketika kami mempunyai ide, kami tidak mempunyai dana. Ketika cerita sudah jadi, kami mencari dana ke sana kemari. Dan bertemu dengan staf Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, termasuk Pak Menteri (Muhaimin Iskandar) sendiri. Dan pas banget film ini sesuai dengan program kementerian,” tuturnya.
Meski melibatkan Kementrans dan ILO, Lola menolak karyanya disebut kepanjangan tangan mereka. Dia mengaku diberi kebebasan dalam mengeksplorasi kehidupan buruh, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Tak ada sedikit pun tekanan dari pemerintah, ataupun pengusaha.
”Meski mereka men-support kami, mereka tidak membatasi kreativitas kami. Dan jarang sekali kementerian memberikan kebebasan seperti ini,” ungkapnya.
”Satu hal, buat saya pribadi membuat film itu harus jujur pada realita, pada diri sendiri, dan karakter yang kita lihat. Kisah yang ada sebagian adalah nyata,” sambungnya. Lola mengaku tidak memikirkan keuntungan dari filmnya kali ini. Bisa dinikmati dan menjadi bahan pemikiran bagi buruh, pengusaha, dan pemerintah, sudah cukup baginya.
Pemain film Tanpa Huruf R itu menyebut Kisah 3 Titik sebagai proyek dari hati. ”Karena film ini bisa menjadi arsip 20-30 tahun ke depan. Kita nggak tahu ke depan (kondisi ketenagakerjaan di Indonesia) seperti apa. Film ini bisa menjadi cerminan,” ucapnya.
Lola menambahkan, filmnya kali ini tidak happy ending. Dia benar-benar ingin filmnya menjadi bahan pemikiran bagi penontonnya. ”Ini bukan film Hollywood yang selalu happy ending. Kami ingin memberikan sesuatu kepada penonton untuk menjadi bahan pemikiran usai menonton film ini,” katanya.
Salah satu pemain, Inggrid Widjanarko, mengaku senang bisa ambil bagian dalam film itu. Sebab, sebagai pekerja seni, dia menganggap dirinya pun seorang buruh. Jadi, cerita yang dihadirkan dalam film itu dirasanya sangat dekat dengan kehidupannya.
”Kami rasa ini adalah salah satu kritik dan saran dari pekerja seni melalui sebuah karya kepada pemerintah. Dan rasanya, melihat karya ini lebih baik daripada demo,” pungkasnya. (ash)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bimbim Slank Fans Berat Dahlan Iskan
Redaktur : Tim Redaksi