LPSK Minta Saksi Kasus Cebongan Tak Dihadirkan Langsung

Rabu, 29 Mei 2013 – 06:20 WIB
JAKARTA - Sebanyak 42 orang saksi kasus penyerangan berdarah di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, diupayakan tidak hadir langsung di persidangan yang akan digelar oleh Pengadilan Militer. Atas berbagai pertimbangan terutama faktor psikologis, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) merekomendasikan kesaksian jarak jauh memanfaatkan teknologi teleconference.
               
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, menyatakan pihaknya telah memberikan perlindungan terhadap 42 saksi kasus Cebongan yang terdiri atas 31 orang tahanan dan 11 orang sipir. Salah satu fasilitas atas pemberlakuan perlindungan tersebut diupayakan agar seluruhnya tidak hadir langsung dalam persidangan yang mengadili para terdakwa dari kalangan militer.
               
Sebagai gantinya, kata Haris, mereka cukup memberikan kesaksian via teleconference dan permohonan tersebut sudah disampaikan secara resmi melalui surat kepada Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi yang juga menaungi Peradilan Militer. "Sudah komunikasi dengan peradilan militernya juta. Tapi sampai sekarang belum ada respon," ujarnya usai penandatanganan nota kesepahaman antara Komisi Yudisial (KY), LPSK, dan Ombudsman Republik Indonesia, di gedung KY, Selasa (28/5).
               
Haris mengatakan pihaknya sudah mendapat informasi dari Oditur Militer bahwa seluruh saksi akan diperiksa di persidangan. Kesaksian mereka dijadwalkan berlangsung mulai Juni 2013.
               
Meski begitu kondisi psikis para saksi yang notabene murni saksi mata sekaligus sebagian di antaranya mengalami pemukulan saat kejadian pada 23 Maret 2013 itu dinilai belum memungkinkan untuk hadir langsung. Atas dasar itu muncul usulan agar dilakukan kesaksian jarak jauh.
               
Haris memaparkan bahwa saat ini saja para korban masih mendapat pemulihan berupa layanan psikologi dan layanan medis. "Layanan psikologi kita bekerjasama dengan beberapa universitas seperti UII (Universitas Islam Indonesia), UGM (Universitas Gajah Mada), dan rumah sakit Cilacap yang mereka punya petugas psikologi," paparnya.
               
Kenapa perlu layanan psikologi itu, menurutnya, karena terjadi trauma terhadap para saksi. "Bagaimana tidak, ada empat orang dibantai di depan mata mereka. Itu bukan hal gampang dilupakan dan membuat mereka trauma dan takut. Karena itu mereka butuh recovery dan pengobatan," ulasnya.
               
Selain trauma secara psikologi, beberapa saksi memang mendapat tindak kekerasan fisik sehingga ada yang mengalami kerusakan gigi akibat pukulan benda keras. "Tapi sampai saat ini mereka belum ada yang menyampaikan mendapat ancaman. Tapi karena ketakutan mereka itu maka wajar butuh proteksi," terusnya. (gen)

BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Janji Bahas RUU Komponen Cadangan

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler