Luhut dan Muhadjir

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 03 November 2021 – 14:08 WIB
Ilustrasi - Menko PMK Muhadjir Effendy. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Di luar negeri panen puja puji, di dalam negeri banjir caci maki.

Presiden Jokowi kabarnya sedang menjadi bintang dalam pertemuan para pemimpin dunia yang tergabung dalam G-20.

BACA JUGA: Pak Muhadjir Tak Mau Masyarakat Los saat Nataru, Jangan Pesan Tiket Dahulu!

Dalam pertemuan yang berlangsung di Roma, Italia, Presiden Jokowi menjadi pusat perhatian, terutama karena Indonesia terpilih menjadi ketua kumpulan negara-negara ekonomi besar itu untuk kepengurusan periode 2022.

Saat Jokowi asyik menikmati perhatian, di Jakarta menteri-menterinya sedang kepanasan gegara kebijakan tes polymerase chain reaction (PCR) yang diwajibkan kepada semua penumpang pesawat terbang.

BACA JUGA: Muhadjir Effendy: Jika Ingin Menjadi Negara Maju, Ini Kuncinya

Kebijakan ini ganjil dan tidak masuk akal, terutama karena harga tes yang kelewat mahal. Masyarakat protes keras, sampai akhirnya Jokowi memerintahkan penurunan harga tes. Masyarakat masih tetap protes. Akhirnya kewajiban tes dibatalkan.

Satu urusan selesai, muncul urusan lainnya.

BACA JUGA: Menko Muhadjir Effendy: Indonesia Dikepung Bencana, Bangsanya akan Tangguh

Muncul berita bahwa Luhut Panjaitan dan Erick Thohir terlibat dalam bisnis PCR dan beberapa bisnis yang berhubungan dengan penanganan pandemi.

Luhut yang selama ini menjadi kepercayaan Jokowi dan seolah-olah untouchable kali ini tidak bisa berkutik.

Erick yang selama ini mengekor di belakang Luhut, kali ini juga tidak bisa bersembunyi lagi. Masyarakat tahu bahwa dua tokoh itu menangguk untung sampai triliunan rupiah dari bisnis pandemi. Dua orang itu dikabarkan punya saham di perusahaan yang menjadi pemain dalam bisnis penanganan pandemi.

Publik menjuluki Luhut dan Erick sebagai 'peng-peng', penguasa dan pengusaha. Ada juga yang memelesetkannya menjadi penguasaha, mirip orang keselo lidah.

Kebijakannya tidak menyejahterakan, tetapi malah menyengsarakan rakyat.

Nama yang selama ini moncer mendadak redup. Pemerintah terpaksa menjilat ludah dan membatalkan kewajiban tes PCR.

Luhut yang telanjur terekspos tidak kelihatan lagi mukanya. Kabarnya Jokowi murka terhadap Luhut dan gengnya, karena kandang yang sedang ditinggal Jokowi berantakan.

Kali ini rupanya Jokowi sudah kehabisan kesabaran. Dia mengeluarkan kartu kuning dan Luhut harus minggir. Paling tidak Luhut tidak muncul ketika pemerintah mengumumkan pembatalan kewajiban tes PCR.

Lebih baik menghilang daripada menanggung malu. Mungkin begitu pikir Luhut.

Sebagai ganti muncul Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan (PMK) Prof. Muhadjir Effendy yang mengumumkan pembatalan itu.

Banyak yang senang dengan perubahan ini. Seharusnya memang Menko PMK yang menjadi komandan perang melawan pandemi Covid-19.

Dia membawahi tujuh kementerian; kesehatan, pendidikan, sosial, agama, pedesaan, dan pemuda dan olahraga.

Semuanya sangat strategis dalam penanganan Covid-19.

Namun, selama ini Muhadjir tidak pernah tampil di depan. Dia hanya memainkan peran figuran saja. Peran utama selalu diambil oleh Luhut.

Kali ini Muhadjir benar-benar menjadi jenderal. Dia akan memimpin operasi penanggulangan pandemi. Salah satu tugas besarnya adalah memastikan bahwa selama dan setelah libur Natal dan Tahun Baru tidak terjadi gelombang penularan ketiga yang sekarang menghantui berbagai negara.

Kemampuan Muhadjir sedang diuji. Namun, kelihatannya dia siap. Sebagai orang sipil, pendekatan yang dilakukan Muhadjir pasti beda dengan Luhut.

Soal efektivitas memimpin, Muhadjir tidak kalah dari Luhut. Dalam hal ini Muhadjir adalah seorang jenderal.

Mungkin tidak banyak yang memperhatikan penampilan Muhadjir Effendy dalam beberapa kunjungan kerja ke daerah.

Selain tampilan yang bersahaja dengan baju putih atau batik lengan panjang, Muhadjir ternyata sering memakai topi dengan lambang empat bintang.

Di kalangan militer empat bintang adalah simbol untuk seorang jenderal. Tidak banyak menteri yang memakai topi dengan simbol jenderal.

Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan biasanya memakai topi bersimbol bintang. Namun, Prabowo formalnya adalah pensiunan letnan jenderal bintang tiga.

Latar belakang Muhadjir yang sipil tentu mengundang tanda tanya mengapa ia memakai empat bintang di topinya. Ketika wartawan menanyakan hal itu pada sebuah kesempatan, Muhadjir menjawabnya dengan gayanya yang khas.

Ia tersenyum lebar dan mengatakan bahwa tidak ada maksud apa-apa dengan topi itu. Tidak ada filosofi di balik pemakaian topi itu. Ia memakainya karena staf sudah menyiapkan untuk dipakai.

Dengan bintang empat itu Muhadjir layak disebut sebagai Jenderal Muhadjir. Sebagai koordinator menteri, layak saja Muhadjir disejajarkan dengan jabatan seorang jenderal. 

Sama dengan menteri koordinator, Muhadjir mengomandoi banyak kementerian strategis di lingkungan sosial, pendidikan, agama, budaya, dan kesehatan.

Ketika penyebaran Covid-19 tengah mencapai puncak pada Juli lalu, 'Jenderal Muhadjir' mengagetkan banyak orang dengan pernyataannya bahwa Indonesia sekarang sedang berada pada kondisi darurat militer.

Banyak yang terkejut dengan pernyataan itu. Ada juga yang mengira Muhadjir salah ucap. 

Muhadjir menyatakan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat militer meski tidak terdeklarasikan.

Kondisi pemberlakuan pembatasan kegiatan atau PPKM Darurat sekarang ini oleh Muhadjir dianggap sebagai kondisi darurat militer.

Dalam sistem tata negara demokratis, tugas keamanan diserahkan kepada polisi, dan tugas pertahanan diserahkan kepada tentara. Dalam kondisi normal, aturan standar keamanan yang diterapkan adalah tertib sipil, dan urusan keamanan diserahkan kepada polisi.

Kalau terjadi kondisi yang tidak normal karena munculnya berbagai gangguan negara bisa mendeklarasikan keadaan darurat sipil.

Dalam kondisi seperti ini polisi masih tetap memegang kendali pengamanan dengan mendapatkan kewenangan yang lebih dari kondisi tertib normal.

Dalam kondisi darurat polisi bisa menangkap seseorang yang dianggap menjadi sumber gangguan tanpa prosedur standar di saat normal.

Jika kondisi masih memburuk, negara bisa mengumumkan kondisi darurat militer. Dalam kondisi ini polisi dianggap tidak mencukupi lagi untuk mengendalikan keadaan, sehingga dibutuhkan bantuan militer.

Dalam situasi seperti ini polisi dan militer terjun bersama-sama menyelenggarakan ketertiban sosial.

Kondisi yang lebih gawat lagi adalah darurat perang. Dalam situasi seperti ini kendali keamanan dan pertahanan sepenuhnya ada di tangan militer. Hukum yang berlaku bukan lagi hukum sipil tetapi hukum militer, karena situasi memang berada pada situasi perang.

Di dalam semua situasi darurat itu pemerintah mengumumkan deklarasi secara resmi dan mengambil tindakan-tindakan yang extra-ordinary di luar kondisi normal.

Pemerintah bisa melakukan penangkapan tanpa barang bukti, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran secara darurat, dan pemerintah bisa melakukan tindakan yang bisa dikategorikan above the law, di atas hukum.

Indonesia tidak sedang menghadapi musuh yang nyata. Namun, perang melawan virus sekarang ini adalah perang yang sangat berat karena lawannya tidak tampak. Indonesia harus mengambil langkah extra-ordinary untuk memenangi perang ini.

Melihat kondisi itu Muhadjir menyimpulkan bahwa Indonesia sekarang berada pada situasi darurat militer. Dalam PPKM Darurat ini polisi dianggap tidak cukup untuk mengatasi keadaan. Pemerintah juga sudah mengambil langkah-langkah darurat di luar prosedur resmi.

Atas nama kondisi darurat, pengeluaran anggaran penanganan pandemi ratusan triliun rupiah memakai standar darurat di luar prosedur normal.

Atas nama situasi darurat, semua anggaran penanganan Covid-19 tidak bisa dijerat oleh pasal-pasal korupsi.

Untunglah peraturan kekebalan hukum itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak ada lagi yang kebal hukum. Tidak ada lagi yang boleh mempergunakan anggaran semaunya dan kemudian berlindung di balik aturan darurat.

Dalam praktiknya ternyata banyak yang ketahuan mendompleng kondisi darurat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok.

Mencuatnya kasus Luhut dan Erick menunjukkan adanya gejala cari untung di tengah kondisi buntung.

Ada teknik manajemen sederhana yang bisa diterapkan untuk membongkar praktik curang di sebuah perusahaan. Caranya dengan meminta pemimpin perusahaan itu untuk cuti sementara dan diganti orang lain. Dari situ akan ketahuan praktik-praktik culas yang selama ini berlangsung.

Jokowi rupanya mempraktikkan jurus sederhana ini. Luhut dicutikan dan diganti Muhadjir. Akan ketahuan semua praktik-praktik aneh yang selama ini berlangsung.

Bagi Muhadjir, penugasan ini akan menjadi test case bagi pendekatan kepemimpinan sipil yang lebih komunikatif, lentur, dan adaptif, yang berbeda dengan pendekatan militer yang serba komando.

Inilah the moment of truth bagi kepemimpinan sipil, sekaligus tes pribadi bagi Muhadjir. Siap, Jenderal. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler