jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tak sependapat penyerangan di Mabes Polri pada Rabu (31/10) sore dikatakan sebagai aksi nekat.
"Merespon aksi serangan di Mabes Polri, sejumlah kalangan menyebutnya nekat. Kata 'nekat' mengesankan pelaku tidak pakai kalkulasi," ucap Reza kepada JPNN.com.
BACA JUGA: Mabes Polri Diserang, Sahroni: Itu Simbol Tantangan dan Perang Terbuka Teroris, Basmi!
Pakar yang menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Psikologi UGM itu malah punya penilaian berbeda terkait penyerangan di Mabes Polri.
Reza justru membayangkan aksi pelaku bukan hanya bentuk serangan terencana terhadap anggota Polri. Bukan pula sebatas ingin menjadi polisi sebagai korban.
BACA JUGA: Ayahnya Dinilai Berjasa, Franky Ditawari Jenderal Listyo Menjadi Polisi
Dia juga punya keyakinan bahwa pelaku pasti bisa membayangkan risiko yang akan dia hadapi saat menyerang di pusat jantung lembaga kepolisian.
"Jadi, serangan tersebut sekaligus merupakan aksi terencana untuk bunuh diri (suicide by cops)," ujar peraih gelar MCrim (Forpsych, master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne, Australia itu.
BACA JUGA: Inilah Rumah yang Diduga Tempat Tinggal Penyerang Mabes Polri
Sisi lain, kata Reza, apakah setiap serangan termasuk penembakan terhadap polisi bisa disebut sebagai aksi teror?
Di Amerika Serikat, katanya, mengacu The Serve and Protection Act, serangan terhadap aparat penegak hukum disebut sebagai hate crime. Bukan terorisme.
"Di Indonesia boleh beda, tentunya," ujar pria asal Indragiri Hulu, Riau itu.
Reza menjelaskan, penyebutan hate crime menunjukkan bahwa pelaku penembakan yang menyasar polisi tidak serta-merta disikapi sebagai teroris atau terduga teroris.
"Butuh cermatan spesifik kejadian per kejadian untuk memprosesnya secara hukum dengan pasal yang tepat. Sekaligus menangkal kejadian berikutnya secara tepat sasaran," ujar Bang Reza. (fat/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam