Mafia Favela Jelang World Cup 2014 dan Olympic Games 2016

Kamis, 13 Desember 2012 – 14:33 WIB
KUMUH: Bukit Niemeyer, tempat berkukimnya komunitas Favela di Brazil. Foto: Don Kardono/Indopos
Jika Anda berada di Rio de Janeiro, sempatkan waktu ke Rocinha, “sarang Favela” paling padat, paling kumuh, dan paling seram di Brazil. Syaratnya, harus punya guide terpercaya, berbahasa Portugis dengan slank Rio, dan punya persediaan nyali untuk menerobos kampung yang dihuni mafia obat, pengedar cocain, dan kriminalis bersenjata api itu.


Siap-siap mobil yang Anda tumpangi dihentikan, buka bagasi, buka pintu dan kaca jendela, dan diperiksa seperti kalau Anda hendak masuk ke parkiran Ritz Carlton, JW Marriot, Shangri-La, Five Season dan Intercontinental Hotel di Jakarta.

Kap mesin pun terkadang harus mereka buka, untuk memastikan kita ini polisi dan tidak sedang melakukan aktivitas mata-mata. Hampir tidak pernah ada polisi yang iseng sendirian atau hanya satu mobil bergerak ke kawasan berbukit-bukit dengan rumah kotak kecil-kecil, gang sempit dan sesak dengan penduduk slum area itu.

Hanya di Rio dan Sao Paulo, kota yang paling besar komunitas Fevala-nya. Dari sensus yang dirilis, Desember 2011 lalu oleh IBGE–Brazilian Institute of Geography and Statistics, tahun 2010 saja jumlah penghuni Favela itu mencapai 6 persen, jika jumlah penduduk Brazil 195 juta jiwa saat ini, maka komunitas kumuh dan berbahaya itu berjumlah 11,4 juta jiwa lebih.

Dan yang terbesar adalah area Rocinha, dari Copacabana terus menyusuri pantai menuju balik bukit, ketemu pantai Ipanema, terus lagi ke ujung pantai Leblon. Nanti ketemu bukit Niemeyer, nah di balik bukit yang biasa dipakai olahraga dirgantara, terbang layang itulah mereka bermukim.

Di kaki bukit dekat Favela terpadat itu, ada kompleks vila elite, tempat bermukimnya orang-orang kaya di Rio de Janeiro. Ada lapangan golf, club house, rumah dengan halaman yang luas, rumput terpotong rapi, dan pepohonan yang besar-besar. Tinggi dinding temboknya saja sudah lima meter, lapisan terluar dinding itu sudah tidak kelihatan terbuat dari bahan apa? Batu-batuan atau semen?

Karena tertutup 100 persen oleh bunga merambat di seluruh muka tembok. Kontras sekali, di perbukitan sana ada Favela, di lembah sini ada kompleks yang mirip “Gangnam” di Seoul, Korea Selatan yang lagi heboh itu.

Sungguh, Presiden Brazil Dilma Rousseff saat ini sedang “sakit kepala”  menghadapi Favela yang makin eksis dan sulit digoyang itu. Presiden Brazil terdahulu, Lula pada tahun 2007 juga pernah menawarkan skema menyelesaikan masalah sosial dengan konsep “Cidade de Deus” atau “the City of God”.

:TERKAIT Empat empat tahun lamanya dia berusaha, sebelum akhirnya frustasi dan gagal total. Mereka semakin eksis. Jumlah orang yang status ekonominya jauh di bawah kemiskinan di Brazil masih di atas 30 juta orang. Perbedaan antara si kaya dan si miskin di Brazil juga masih timpang. Hanya 10 persen populasi orang kaya, menguasai lebih dari 50 persen income nasional.

Potret komposisi pendapatan masyarakat itulah yang diibaratkan bara dalam sekam. Boom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak. Favela yang sudah ada sejak 1950 adalah kelompok urban yang tak memiliki struktur ekonomi yang kuat. Inilah potensi malapetaka yang mengancam stabilitas dalam negeri Brazil.
Hampir semua pencopet, perampok, pemeras, pengedar obat-obatan psikotropika, dan pelaku tindak kejahatan bersumber di kerumunan kumuh Favela itu.

Sebelum terbang ke Rio, saya sempat diingatkan oleh seorang kawan yang pernah lama tinggal di Sao Paulo. Hati-hati, Rio banyak copet, kotanya paling tidak aman, banyak pengutil, jangan keluar malam sendirian, jangan pernah ambil ATM di malam gelap, sasarannya adalah turis, karena 90 persen warga Rio tidak berbahasa Inggris.

Mereka memanfaatkan problem bahasa, yang rata-rata hanya paham rumpun bahasa Portugal, Spanyol, Italia, dan sedikit Prancis. Jangan bawa jam tangan mewah, perhiasan, asesoris mencolok, saat mengambil foto-foto di Copacabana. Kamera poket taruh di dalam tas, setelah berfoto-foto, masukkan tas lagi.

Saya betul-betul tersiksa dengan warning itu. Akhirnya saya putuskan untuk melihat dan merasakan sesasi seram itu? Maka saya cuek, hingga tengah malam mengamati suasana sepanjang pantai Copacabana. Bahkan saya sempat pergi ke tempat dugem dan lokasi mabuk-mabukan paling seru di Rio, nama populernya Lapa, -Arcos da Lapa, bangunan yang pintu-pintunya mirip Colosseoum di Italia--- naik taksi sekitar 30 menit dari depan Copacabana Palace Hotel. Kehidupan malamnya ada di situ.

Saya baru ngeh, Bali is better! Bali jauh lebih oke, lebih aman, lebih ramah, lebih bernuansa kultural, dan tak perlu mencadangkan adrenaline untuk sekadar melawan rasa was-was. Siapa sih yang tidak ingin berbasah-basah kaki di pantai Copacabana, Ipanema dan Leblon? Itu ciptaan Tuhan yang tiada tara, dan sulit dicarikan bandingannya. Pasirnya yang putih berkedip, seperti ada pecahan berlian yang lembut dan berkilau kena cahaya. Air lautnya jernih, tak menyisakan warna coklat sedikitpun di ujung percikannya. Suhu tidak terlalu panas sekalipun berada di derajad 35 Celcius.

Bukit-bukit batu terjal yang dibungkus hutan tropis yang tebal dan membiru mirip lukisan alam. Semua keindahan panorama sepertinya dipersembahkan secara gratis oleh Tuhan di sana. Tekstur pegunungan dan lautan yang kontras, membuat mata tak pernah merasa bosan berlama-lama di Rio de Janeiro.

Susah membandingkan, material pantai-pantai indah di tanah air. Senggigi Lombok misalnya, adalah pantai hebat, berpasir putih, tapi diameter butiran-butiran pasirnya lebih besar, lebih terasa kasar mengganjal di kaki. Putihnya pasir masih kelihatan mentah, bekas kerang dan biota laut laut yang tergerus ombak. Kuta Bali juga bagus, tapi tingkat “putih”-nya masih jauh, masih ada sedikit campuran cokelat. Karimunjawa juga oke, tapi tidak ada yang sepanjang 27 kilometer tanpa terpecah-pecah. Di utara Jepara itu masih tersebar di 26 pulau dan tidak menyatu.

Lagi-lagi, buat apa pantai putih sempurna seindah surga, tetapi dihantui ancaman keamanan dan rasa was-was? Sekitar delapan tahun silam ada mafia top dari Favela itu. Namanya Fernandinho Biera Mar, yang acap dipanggil Fernando. Dia tertangkap polisi saat sedang transaksi kokain dan ganja 10 ton di hutan Amazon. Orang Brazil dibuat gempar, tetapi proses hukumnya sampai sekarang pun mandek.

Penghuni Favela itu banyak yang menjadi pengedar, dan memanfaatkan transit peredaran obat-obatan dari Columbia. Mereka bersenjata, dan Brazil memang sipil boleh pegang senjata.

Ada satu pertanyaan, mengapa Favela itu tidak digusur paksa saja? Dihancurkan oleh pasukan? Jawabnya, “Senjata mereka lebih canggih dari polisi!” Inilah problem mendasar yang "laten" saat ini.

Tetapi, soal mafia, soal kriminalitas, soal favela, soal kemiskinan, soal kesenjangan yang amat drastis, soal perampokan turis, soal ancaman terhadap Pesta Sepak Bola Piala Dunia 2014, ketakutan Olimpiade 2016, dan sebagainya itu seolah “tertutup” dan tidak pernah menjadi bahasan public internasional. Kalah dengan “goyang samba”, Rio carnival, prestasi sepak bola, sukses penyelenggaraan Rio Environment and Development Forum 2012, surplus pangan, kopi terbaik dunia, dll. Diplomasi luar negeri mereka jempol dua! (bersambung).

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler