Penelusuran Radar Bogor (Grup JPNN), penyusutan potensi pajak dilakukan dalam angka fantastis. Pajak hotel misalnya. Kepada Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, pengelola hotel berbintang empat di Jalan Djuanda hanya melaporkan omset per bulan sekitar Rp1,2 – Rp1,4 miliar atau setara dengan tingkat hunian sekitar 30–40 persen.
Sementara kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bogor, pelaporannya sekitar 70 – 80 persen. Dengan jumlah kamar sekitar 120 unit dan harga minimum Rp900 ribu, tingkat hunian 70 – 80 persen itu setara dengan omset minimal Rp2,4 – 2,9 miliar per bulan.
Dari hasil perhitungan BPK, penyusutan potensi pajak yang dilakukan sekitar Rp1,2 – 1,5 miliar per bulan. Itu baru satu hotel, sementara di Kota Bogor tercatat 48 hotel dari kelas melati hingga berbintang.
Modus lainnya, penggunaan jenis pajak tidak sesuai dengan jenis objeknya. Tempat hiburan malam dikenakan tarif pajak restoran yang hanya sekitar 10 persen. Padahal, bila dikenakan pajak hiburan minimal 30 persen dari omset.
Lain lagi dengan salah satu karaoke yang berlokasi di Plaza Ekalokasari. Selain menyusutkan omsetnya, karaoke milik penyanyi dangdut beken itu mengenakan pajak dengan tarif sesuka hati, hanya 20 persen. Padahal, Perda Nomor 11 Tahun 2011 menetapkan pajak hiburan mininal 30 persen.
Imbas dari berbagai modus itu, PAD kota berslogan Beriman ini terbilang rendah dibandingkan potensi logisnya. Pada 2012, sepanjang tahun dari Januari – Februari hanya terhimpun sekitar Rp300 miliar. Bila setahun jumlahnya sebesar itu, berarti dalam sehari hanya Rp821 juta. Bila dibagi jumlah penduduk sekitar satu juta jiwa, berarti hanya terhimpun Rp821 dari setiap warga dalam sehari. Logiskah"
“Parkir kena pajak, makan kena pajak, menginap di hotel kena pajak, berwisata kena pajak. Rasanya saya bayar pajak dalam sehari lebih dari delapan ratus rupiah deh,” kata Aldi (23), warga Cimanggu.
Ketua Komisi B DPRD Kota Bogor, Muaz HD membenarkan adanya indikasi kuat penyusutan omset untuk mengurangi besaran pajak yang harus dibayar. “Makanya, kami minta untuk dilakukan uji petik lagi untuk memastikan potensi sejumlah objek pajak,” terangnya.
Muaz mengaku lengah saat pertumbuhan PAD 2012 melebihi target secara signifikan. “Targetnya Rp220 miliar pada APBD, kemudian meningkat menjadi Rp260 miliar pada APBD-Perubahan. Tapi, akhir tahun tutup buka pada angka Rp300 miliar,” jelasnya.
Menurut Muaz, optimalisasi PAD bisa dilakukan dengan membenahi sistem dan sumber daya manusia (SDM). “Para petugas pajak jangan bersikap naif saat sebuah diskotek mengaku berpendapatan Rp6 juta per bulan atau Rp200 per hari. Padahal, satu meja saja bertransaksi jutaan rupiah,” katanya.
Kepala Seksi Pemeriksaan Dispenda Kota Bogor, Evandi Dahni mengatakan, kini sedang dilakukan uji petik di sejumlah objek pajak. “Uji petik dilakukan sejak awal, kemudian dilakukan setiap kali dianggap perlu. Pemeriksaan BPK pun sebenarnya dilakukan bersama-sama dengan Dispenda,” ujarnya. (cr17/d)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ribut Hak Asuh Mendominasi
Redaktur : Tim Redaksi