Sektor pendidikan internasional di Australia Barat dengan ibu kota Perth sudah hampir kembali normal, tetapi sebagian mahasiswa asing mengatakan mereka masih mengalami berbagai masalah yang disebabkan karena pandemi.

Mahasiswa internasional di Australia Barat setidaknya harus mengeluarkan dana sekitar Rp200 juta per tahun.

BACA JUGA: Australia Lolos ke Piala Dunia Qatar Setelah Mengalahkan Peru Secara Dramatis Melalui Adu Penalti

Kalau mau belajar menjadi perawat, biayanya bahkan lebih dari Rp300 juta setiap tahun, namun untuk mahasiswa lokal karena mendapatkan subsidi dari pemerintah biayanya hanya sekitar Rp40 juta.

Setelah perbatasan untuk masuk negara bagian Australia Barat dibuka bulan Maret 2022, banyak mahasiswa internasional yang bersedia mengeluarkan dana untuk bisa mengecap pendidikan di negara baru.

BACA JUGA: Amerika Serikat Tingkatkan Fokus di Indo-Pasifik, Marinir Siap Tempur Diterjunkan ke Australia Utara

Namun sekarang saat semester pertama sudah hampir berakhir, beberapa mahasiswa asing mengatakan mereka masih menghadapi berbagai masalah yang disebabkan karena pandemi sebelumnya. Mahasiswa sudah kembali, tetapi pengalamannya berbeda

Menurut Wakil Rektor bidang pendidikan Edith Cowan University di Perth, Angela Hill, jumlah mahasiswa internasional yang kembali cukup tinggi sejak perbatasan dibuka.

BACA JUGA: Timnas Basket Indonesia Telan Kekalahan Kedua di Australia

"Ketika ada penundaan pembukaan perbatasan, beberapa mahasiswa harus mengubah rencana mereka," katanya.

"Tetapi kami puas dengan jumlah mahasiswa yang masuk ke sini, mahasiswa internasional sangat memperkaya kampus kami dalam berbagai segi dan  memperkaya seluruh kehidupan kampus bagi mahasiswa."

Menurut Professor Hill, meski masih diperlukan waktu untuk bisa kembali seperti keadaan normal sebelum pandemi, mereka sekarang sudah berada di jalur yang tepat.

Cerita yang sama juga terjadi University of Western Australia di mana pendaftaran mahasiswa untuk semester pertama tahun ini sudah mencapai 80 persen dari keadaan sebelum COVID-19.

Namun, pengalaman para mahasiswa kembali belajar di kampus sangat berbeda sekarang ini dibandingkan ketika pandemi belum terjadi.

Dhanya Shri Vimalan memulai pendidikan S1-nya pada tahun 2020, di saat COVID baru mulai menyebar.

"Ketika COVID menyebar, saya merasa kurang mendapatkan dukungan," katanya.

"Saya adalah kontak dekat sehingga saya harus isolasi mandiri selama tujuh hari. Saya tidak bisa bekerja selama seminggu.

"Karena status saya sebagai mahasiswa internasional, saya tidak mendapat bantuan apa pun seperti mereka yang punya status PR atau warga negara."

"Ibu saya dulu juga belajar di Perth, di Murdoch. Saya ingin mengalami hidup sepenuhnya sebagai mahasiswa. Namun sedih juga tidak bisa  merasakannya secara keseluruhan."

Bagi mahasiswa jurusan keperawatan yang menjalani pendidikan S2, Hameed Mohammad mengalami berbagai masalah dengan praktik kerja yang harus dilakukannya di rumah sakit.

"Teman satu kos saya positif, dan sebagai kontak erat, saya tidak bisa bekerja di rumah sakit," katanya.

"Sebagai mahasiswa internasional jurusan ilmu kesehatan, kami harus melakukan praktik kerja.

"Ketika kami positif, maka praktik kerja kami jadi terhambat. Ini memengaruhi visa, ini memengaruhi masa sekolah saya."

Sofia Gonzalez Torres adalah presiden komite mahasiswa internasional di Curtin University dan mengatakan informasi mengenai bantuan yang bisa didapat oleh mahasiswa asing tidak cukup jelas.

"Kami mestinya mendapat dukungan dari pemerintah dan universitas ketika kami tiba di sini saat perbatasan dibuka baru-baru ini," katanya.

"Saya merasa bahwa mahasiswa internasional yang baru datang mendapatkan sedikit sekali bantuan, tetapi mahasiswa internasional yang sudah ada di sini tidak mendapatkan bantuan apa pun.' Beradaptasi dengan keadaan normal baru

Dosen Curtin University, Renee Ralph, dulunya juga adalah mahasiswa internasional dan mengatakan bersimpati dengan para mahasiswa sekarang.

"Lebih sulit bagi mereka untuk mencerna berbagai informasi yang harus mereka terima," katanya.

Dr Ralph mengatakan saat ini keadaannya memang belum ideal, namun dia berharap universitas maupun mahasiswa internasional akhirnya bisa saling menyesuaikan diri. 

"Mereka yang belajar lewat online dari negara-negara Asia Tenggara, ada kesulitan bahasa yang dihadapi. Kita harus lebih sabar menghadapi mereka dan lebih jelas dengan topik yang dibahas," katanya.

"Ini adalah keadaan normal baru. Kami semua belajar keterampilan baru. Zoom, Skype, konferensi mengunakan video adalah bagian dari kehidupan sekarang. "

Manekha Balgobin adalah mahasiswa internasional di salah satu kelas yang diajar Dr Ralph, yang mengatakan sekarang sudah menyesuaikan diri dengan belajar secara virtual.

Setelah pindah dari Mauritius ke Perth lebih dari dua tahun lalu untuk belajar, Manekha didiagnosa menderita penyakit  kekebalan tubuh dan harus pindah ke Sydney untuk tinggal bersama keluarganya.

Namun, karena program online sudah dimulai karena COVID, Manekha tetap melanjutkan pendidikannya di Curtin University tanpa gangguan apa pun walau jarak Sydney dan Perth lebih dari 3.000 km jauhnya.

"Saya merasa transisi dari belajar tatap muka ke online sangat mudah bagi saya," katanya.

"Saya lebih fokus dengan apa yang saya pelajari ketika melakukannya lewat online dibandingkan ketika tatap muka langsung."

Artikel ini diproduksi oleh Sastra Wijaya dari ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Redam Amarah Prancis, Australia Setuju Membayar Rp 8,5 Triliun

Berita Terkait