jpnn.com, ACEH BARAT - Pria inisial SA (23) dan mahasiswi berinisial ND (18) diduga melanggar syariat Islam.
ND merupkan mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Meulaboh Kabupaten Aceh Barat.
BACA JUGA: Kecam Macron, Pemerintah Aceh Tunda Kerja Sama dengan Prancis
Pasangan bukan suami istri itu diamankan polisi penegak syariat Islam, setelah ditemukan oleh warga berada di kafe yang sudah tutup dan tidak lagi melayani pelanggan di Desa Suak Ribee, Meulaboh, Aceh Barat, pada Selasa (3/11) petang.
Kasatpol PP WH Kabupaten Aceh Barat, Azim diwakili Kasi WH, Aharis Mabrur di Meulaboh, Rabu (4/11) mengatakan, saat ditanya oleh warga, pelaku SA dan ND mengaku ketinggalan telepon selular sehingga keduanya kembali ke kafe tersebut.
BACA JUGA: Pembacok Ustaz di Aceh Tenggara Ternyata Pecatan Polisi, Apa Motifnya? Begini Jawaban Kapolres
Karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum syariat Islam, kata Aharis Mabrur, keduanya diserahkan kepada aparat desa guna mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Namun, katanya, pasangan tersebut tidak menjalani hukuman cambuk di muka umum.
BACA JUGA: Habib Rizieq Pulang Langsung ke Petamburan
“Pelaku sebelumnya diamankan oleh warga karena mereka berada di lokasi kafe yang sudah tutup dan tidak melayani pelanggan. Setelah diproses oleh aparat desa, kemudian pasangan ini diserahkan ke polisi WH untuk dititipkan. Proses hukumnya sesuai peradilan adat,” kata Aharis Mabrur.
Seperti diketahui, sesuai Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong (Desa) terdapat 18 perkara yang penyelesaiannya dapat diselesaikan secara peradilan adat di desa tanpa harus dilakukan di persidangan Pengadilan Negeri.
Di antaranya terdiri dari perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh (ahli waris), perselisihan antarwarga, khalwat (mesum), perselisihan tentang hak milik, pencurian dalam keluarga (pencurian ringan), perselisihan harta sehareukat.
Kemudian, pencurian ringan, pencurian ternak peliharaan, pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan, persengketaan di laut, persengketaan di pasar, penganiayaan ringan, pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat).
Selain itu, pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, pencemaran lingkungan (skala ringan), ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman), serta perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat-istiadat.
Aharis Mabrur menjelaskan, peradilan adat yang diikuti oleh pasangan tanpa ikatan pernikahan tersebut digelar di desa pelaku, sesuai dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Gampong.
“Bisa saja kena sanksi adat atau misalnya mereka akan dinikahkan, tergantung putusan hukum adat nantinya,” katanya menambahkan. (antara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo