--------------
SUGENG SULAKSONO, Jakarta
-------------
Pertengahan April 2010 menjadi momen tak terlupakan bagi Maherda. Saat itu lajang kelahiran Bandung, 27 September 1979, tersebut mendapat kabar gembira: lulus sebagai pilot dengan lisensi pesawat komersial dan bekerja untuk PT Lion Mentari Airlines (Lion Air Group).
Momen itulah yang dinanti Maherda sejak sepuluh tahun lalu. Yang kini diraih pria berdarah Madura itu adalah buah dari penantian panjang dan kesabaran luar biasa. Sebelum lulus sebagai pilot "sungguhan", Maherda menempuh pendidikan di sekolah penerbangan Deraya Flying School Jakarta. Dia mendaftar pada 2001, tahun yang sama ketika dia memutuskan merantau dari Surabaya ke Jakarta.
Dibutuhkan biaya besar untuk bisa masuk sekolah penerbangan. Hal tersebut menjadi salah satu kendala yang dihadapi Maherda. "Orang tua saya nggak mampu untuk menyekolahkan di penerbangan. Levelnya nggak nyampe," ucap putra sulung pasangan Djohar Maligan dan Ermien Sulistyowatie itu saat ditemui Jawa Pos di Perumahan Kalibata Indah Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk urusan biaya, Maherda dibantu pamannya, Ahmed Solihin, seorang pengusaha yang tinggal di ibu kota. Untuk tahap awal, biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 180 juta. Maherda numpang tinggal di rumah sang paman seraya menimba ilmu di Deraya Flying School. Dia lulus dengan mendapatkan lisensi sebagai pilot pesawat kecil pada 2003. Namun, itu sebatas lisensi pilot privat, bukan komersial. Dengan begitu, dia tidak bisa melamar ke maskapai penerbangan pada umumnya.
Untuk meraih lisensi pilot komersial, Maherda harus sekolah lagi dengan biaya saat itu sekitar Rp 200 juta. Bayangan menjadi pilot mulai pudar ketika dia menyadari ketidakmampuan finansial. Namun, dia tidak putus asa. Dengan lisensi dan kemampuan menerbangkan pesawat kecil, Maherda memulai petualangan di dunia berbeda. Dia memanfaatkan mobil pikap milik orang tuanya untuk usaha kurir.
"Misalnya, ada teman yang jualan perangkat video game mau ikut pameran, saya menawarkan diri mengangkut barang-barangnya," kisah alumnus SMAN 16 Surabaya itu.
Dari usaha kurir, Maherda banting setir ikut temannya yang mengelola bisnis fotografi pernikahan. Dia mengaku bisa memotret, tapi lebih sering memainkan peran sebagai pemegang flash.
Sekian waktu menyambung hidup mencoba berbagai profesi, Maherda mendapat kabar dari seorang teman sesama alumnus sekolah penerbangan. Ada tawaran dari perusahaan rekanan Garuda Indonesia untuk bekerja sebagai ground handling atau semacam mandor pesawat saat di darat untuk mempersiapkan segala kebutuhan menjelang penerbangan. Durasi kerjanya khusus untuk musim haji.
Maherda tidak menyia-nyiakan peluang itu. Dia senang menjalani profesi tersebut karena kembali dekat dengan impiannya menjadi pilot. "Yang lebih penting lagi, saya dapat teman baru. Dari mereka banyak informasi," ucapnya.
Benar saja, informasi yang dinanti Maherda akhirnya datang. Ada kabar sebuah perusahaan maskapai penerbangan membuka beasiswa sekolah pilot dalam rangka perekrutan. Maherda mendaftar, namun gagal karena usianya saat itu nyaris 25 tahun. Padahal, syarat yang diinginkan maksimal 23 tahun.
Setelah itu, ada program serupa dari maskapai berbeda dengan batas usia maksimal 25 tahun. Maherda kembali gagal karena usianya melebihi syarat yang ditentukan. Dia tidak putus asa. Maherda tetap menjalani kerja musiman sebagai ground handling. Dia menerima tawaran selama musim haji 2004 sampai 2011.
"Kerja musim haji itu hanya tiga bulan dan selebihnya ya tidak ada kerjaan. Bayarannya cukup besar sih, paling kecil Rp 30 juta dan paling besar Rp 60 juta per musim," ucapnya.
Datang lagi peluang beasiswa menjadi pilot dari salah satu perusahaan Australia. Mereka mencari pilot pesawat kecil untuk mendukung pengoperasian perusahaan minyak dan gas British Petroleum (BP). "Waktu itu saya lihat prosedurnya meyakinkan. Saya semangat ikut semua tahap tesnya," kenang Maherda yang kini terpilih menjadi pilot Batik Air tersebut.
Maherda lulus sampai tes tahap akhir dan hanya tinggal menunggu panggilan kerja. Sayang, dia mendapat kabar bahwa program tersebut tidak dilanjutkan tanpa alasan yang jelas.
Sekitar akhir 2009 di dekat rumah sang paman dibuka pool taksi Blue Bird. Maherda melamar menjadi sopir dan diterima. Keesokan harinya dia langsung turun ke lapangan. Mulailah lagi petualangan baru dalam kehidupannya.
Sudah tidak ada rasa gengsi dalam diri Maherda. Menurut dia, gengsi hanya akan menghambat. Justru karena jadi sopir taksi itu dia mendapat banyak kisah menarik. "Ada penumpang yang lagi cerai, ada penumpang yang mengaku stres menghadapi bos gila, mahasiswi nyambi jadi peliharaan om-om, sampai pasangan sesama jenis," paparnya. "Banyak cerita yang bikin saya bersyukur," sambung Maherda.
Penghasilan Maherda sebagai sopir taksi melalui sistem komisi. Jumlahnya beragam. Dalam sehari dia pernah hanya mendapat Rp 19 ribu. Tapi, saat ramai, Maherda bisa mengantongi Rp 270 ribu sehari.
Sejalan dengan itu, Maherda mulai menyadari bahwa kesempatan menjadi pilot semakin kecil. Sampai akhirnya pada awal 2010 dia kembali dikabari temannya sesama lulusan sekolah penerbangan bahwa ada beasiswa dari Lion Air Group yang membutuhkan banyak pilot.
Maherda kembali mendaftar. Segala proses pendaftaran dan tahap lainnya diikuti. Keyakinannya membuncah ketika melihat pesawat latihnya sudah tiba dari Amerika Serikat (AS) dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma. "Saya langsung ke sana dan melihat bahwa ternyata benar pesawatnya ada. Dari situ saya mulai yakin," ungkapnya.
Maherda mengikuti semua rangkaian tes sampai akhirnya dinyatakan lulus. Setelah itu, dia melakoni pendidikan sekitar setahun agar benar-benar matang dan siap terbang membawa penumpang. Dia menyebar kabar gembira itu kepada keluarganya. Namun, kabar gembira tersebut menjadi duka karena tidak lama kemudian ayahnya meninggal dunia lantaran penyakit kanker liver. "Saya belum sempat kasih lihat jadinya saya seperti apa. Paling lihat foto saat baru lulus berseragam saja," sesalnya.
Keinginan menjadi pilot murni datang dari diri Maherda. Gara-garanya, ketika kecil dia sering nonton film kartun Thunderbirds di TVRI. Saat kuliah dia baru menyadari bahwa pengaruh film itu begitu meresap.
Orang tuanya meminta dia kuliah di jurusan kedokteran. Sayang, itu tidak kesampaian karena Maherda tidak lulus tes masuk perguruan tinggi negeri. Dia kemudian kuliah "asal pilih jurusan" di Universitas Petra, Surabaya. Pilihannya adalah arsitektur. "Tidak punya passion di situ, tidak bisa mengimbangi, akhirnya kesapu. Nasakom (nasib satu koma) IP-nya," ungkap Maherda yang akhirnya mundur pada semester ketujuh.
Berdasar pengalaman itu, Maherda menegaskan bahwa profesi pilot tidak hanya milik orang dengan kemampuan finansial mumpuni. Bagi dia, yang terpenting adalah semangat dan tekad yang kuat. "Ada jalur beasiswa dan di situlah saya menyusup. Kuncinya, harus banyak teman dan rajin membina pertemanan," katanya. (*/c10/ca)
SUGENG SULAKSONO, Jakarta
-------------
Pertengahan April 2010 menjadi momen tak terlupakan bagi Maherda. Saat itu lajang kelahiran Bandung, 27 September 1979, tersebut mendapat kabar gembira: lulus sebagai pilot dengan lisensi pesawat komersial dan bekerja untuk PT Lion Mentari Airlines (Lion Air Group).
Momen itulah yang dinanti Maherda sejak sepuluh tahun lalu. Yang kini diraih pria berdarah Madura itu adalah buah dari penantian panjang dan kesabaran luar biasa. Sebelum lulus sebagai pilot "sungguhan", Maherda menempuh pendidikan di sekolah penerbangan Deraya Flying School Jakarta. Dia mendaftar pada 2001, tahun yang sama ketika dia memutuskan merantau dari Surabaya ke Jakarta.
Dibutuhkan biaya besar untuk bisa masuk sekolah penerbangan. Hal tersebut menjadi salah satu kendala yang dihadapi Maherda. "Orang tua saya nggak mampu untuk menyekolahkan di penerbangan. Levelnya nggak nyampe," ucap putra sulung pasangan Djohar Maligan dan Ermien Sulistyowatie itu saat ditemui Jawa Pos di Perumahan Kalibata Indah Jakarta, beberapa waktu lalu.
Untuk urusan biaya, Maherda dibantu pamannya, Ahmed Solihin, seorang pengusaha yang tinggal di ibu kota. Untuk tahap awal, biaya yang harus dikeluarkan sekitar Rp 180 juta. Maherda numpang tinggal di rumah sang paman seraya menimba ilmu di Deraya Flying School. Dia lulus dengan mendapatkan lisensi sebagai pilot pesawat kecil pada 2003. Namun, itu sebatas lisensi pilot privat, bukan komersial. Dengan begitu, dia tidak bisa melamar ke maskapai penerbangan pada umumnya.
Untuk meraih lisensi pilot komersial, Maherda harus sekolah lagi dengan biaya saat itu sekitar Rp 200 juta. Bayangan menjadi pilot mulai pudar ketika dia menyadari ketidakmampuan finansial. Namun, dia tidak putus asa. Dengan lisensi dan kemampuan menerbangkan pesawat kecil, Maherda memulai petualangan di dunia berbeda. Dia memanfaatkan mobil pikap milik orang tuanya untuk usaha kurir.
"Misalnya, ada teman yang jualan perangkat video game mau ikut pameran, saya menawarkan diri mengangkut barang-barangnya," kisah alumnus SMAN 16 Surabaya itu.
Dari usaha kurir, Maherda banting setir ikut temannya yang mengelola bisnis fotografi pernikahan. Dia mengaku bisa memotret, tapi lebih sering memainkan peran sebagai pemegang flash.
Sekian waktu menyambung hidup mencoba berbagai profesi, Maherda mendapat kabar dari seorang teman sesama alumnus sekolah penerbangan. Ada tawaran dari perusahaan rekanan Garuda Indonesia untuk bekerja sebagai ground handling atau semacam mandor pesawat saat di darat untuk mempersiapkan segala kebutuhan menjelang penerbangan. Durasi kerjanya khusus untuk musim haji.
Maherda tidak menyia-nyiakan peluang itu. Dia senang menjalani profesi tersebut karena kembali dekat dengan impiannya menjadi pilot. "Yang lebih penting lagi, saya dapat teman baru. Dari mereka banyak informasi," ucapnya.
Benar saja, informasi yang dinanti Maherda akhirnya datang. Ada kabar sebuah perusahaan maskapai penerbangan membuka beasiswa sekolah pilot dalam rangka perekrutan. Maherda mendaftar, namun gagal karena usianya saat itu nyaris 25 tahun. Padahal, syarat yang diinginkan maksimal 23 tahun.
Setelah itu, ada program serupa dari maskapai berbeda dengan batas usia maksimal 25 tahun. Maherda kembali gagal karena usianya melebihi syarat yang ditentukan. Dia tidak putus asa. Maherda tetap menjalani kerja musiman sebagai ground handling. Dia menerima tawaran selama musim haji 2004 sampai 2011.
"Kerja musim haji itu hanya tiga bulan dan selebihnya ya tidak ada kerjaan. Bayarannya cukup besar sih, paling kecil Rp 30 juta dan paling besar Rp 60 juta per musim," ucapnya.
Datang lagi peluang beasiswa menjadi pilot dari salah satu perusahaan Australia. Mereka mencari pilot pesawat kecil untuk mendukung pengoperasian perusahaan minyak dan gas British Petroleum (BP). "Waktu itu saya lihat prosedurnya meyakinkan. Saya semangat ikut semua tahap tesnya," kenang Maherda yang kini terpilih menjadi pilot Batik Air tersebut.
Maherda lulus sampai tes tahap akhir dan hanya tinggal menunggu panggilan kerja. Sayang, dia mendapat kabar bahwa program tersebut tidak dilanjutkan tanpa alasan yang jelas.
Sekitar akhir 2009 di dekat rumah sang paman dibuka pool taksi Blue Bird. Maherda melamar menjadi sopir dan diterima. Keesokan harinya dia langsung turun ke lapangan. Mulailah lagi petualangan baru dalam kehidupannya.
Sudah tidak ada rasa gengsi dalam diri Maherda. Menurut dia, gengsi hanya akan menghambat. Justru karena jadi sopir taksi itu dia mendapat banyak kisah menarik. "Ada penumpang yang lagi cerai, ada penumpang yang mengaku stres menghadapi bos gila, mahasiswi nyambi jadi peliharaan om-om, sampai pasangan sesama jenis," paparnya. "Banyak cerita yang bikin saya bersyukur," sambung Maherda.
Penghasilan Maherda sebagai sopir taksi melalui sistem komisi. Jumlahnya beragam. Dalam sehari dia pernah hanya mendapat Rp 19 ribu. Tapi, saat ramai, Maherda bisa mengantongi Rp 270 ribu sehari.
Sejalan dengan itu, Maherda mulai menyadari bahwa kesempatan menjadi pilot semakin kecil. Sampai akhirnya pada awal 2010 dia kembali dikabari temannya sesama lulusan sekolah penerbangan bahwa ada beasiswa dari Lion Air Group yang membutuhkan banyak pilot.
Maherda kembali mendaftar. Segala proses pendaftaran dan tahap lainnya diikuti. Keyakinannya membuncah ketika melihat pesawat latihnya sudah tiba dari Amerika Serikat (AS) dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma. "Saya langsung ke sana dan melihat bahwa ternyata benar pesawatnya ada. Dari situ saya mulai yakin," ungkapnya.
Maherda mengikuti semua rangkaian tes sampai akhirnya dinyatakan lulus. Setelah itu, dia melakoni pendidikan sekitar setahun agar benar-benar matang dan siap terbang membawa penumpang. Dia menyebar kabar gembira itu kepada keluarganya. Namun, kabar gembira tersebut menjadi duka karena tidak lama kemudian ayahnya meninggal dunia lantaran penyakit kanker liver. "Saya belum sempat kasih lihat jadinya saya seperti apa. Paling lihat foto saat baru lulus berseragam saja," sesalnya.
Keinginan menjadi pilot murni datang dari diri Maherda. Gara-garanya, ketika kecil dia sering nonton film kartun Thunderbirds di TVRI. Saat kuliah dia baru menyadari bahwa pengaruh film itu begitu meresap.
Orang tuanya meminta dia kuliah di jurusan kedokteran. Sayang, itu tidak kesampaian karena Maherda tidak lulus tes masuk perguruan tinggi negeri. Dia kemudian kuliah "asal pilih jurusan" di Universitas Petra, Surabaya. Pilihannya adalah arsitektur. "Tidak punya passion di situ, tidak bisa mengimbangi, akhirnya kesapu. Nasakom (nasib satu koma) IP-nya," ungkap Maherda yang akhirnya mundur pada semester ketujuh.
Berdasar pengalaman itu, Maherda menegaskan bahwa profesi pilot tidak hanya milik orang dengan kemampuan finansial mumpuni. Bagi dia, yang terpenting adalah semangat dan tekad yang kuat. "Ada jalur beasiswa dan di situlah saya menyusup. Kuncinya, harus banyak teman dan rajin membina pertemanan," katanya. (*/c10/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Baru Sekali Naik Pesawat, Bangga Kalahkan Guru Sertifikasi
Redaktur : Tim Redaksi