jpnn.com, JAKARTA - Istilah greenflation mendadak menjadi tenar setelah muncul dalam debat cawapres pada Minggu 20 Januari 2024.
Dalam debat itu, cawapres 02, Gibran Rakabuming Raka menanyakan mengenai konsep greenflation atau inflasi hijau kepada cawapres 03, Mahfud MD.
BACA JUGA: Mahfud Sebut Ada Aparat Beking Tambang Ilegal, KSAD Jenderal Maruli Merespons Begini
Namun, Mahfud MD tak memberikan jawaban maksimal dan menganggap greenflation hanya isu recehan yang tidak perlu dibahas.
Lalu apakah makna dari istilah greenflation atau inflasi hijau ini?
BACA JUGA: Prabowo-Gibran Didukung Emak-emak & Penyandang Difabel, TKN Makin Optimistis Jagoannya Menang
Menurut laman COBS Insights yang dikutip pada Senin (22/12), inflasi hijau merujuk pada peningkatan harga barang dan jasa sebagai akibat dari peralihan ekonomi saat ini menuju ekonomi yang lebih ramah lingkungan atau ekonomi net-zero.
Fenomena inflasi hijau ini muncul ketika banyak negara, termasuk pemerintah dan sektor bisnis, mulai menerapkan teknologi yang berkelanjutan, khususnya dalam konteks ekonomi hijau secara umum.
BACA JUGA: Terima Dukungan Petani Bawang Merah di Brebes, TKN: Prabowo-Gibran Berkomitmen Soal Pertanian
Inflasi hijau ini kemungkinan besar akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang seiring dengan upaya global untuk memenuhi komitmen terhadap perlindungan lingkungan.
Salah satu aspek yang memengaruhi inflasi hijau adalah kebutuhan akan logam dasar dan mineral tertentu yang digunakan dalam teknologi ramah lingkungan.
Contohnya adalah logam seperti tembaga, litium, dan kobalt. Permintaan akan logam-logam ini dalam teknologi berkelanjutan jauh lebih besar dibandingkan dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan.
Selain itu, contoh konkret lain bisa dilihat pada perbandingan kendaraan listrik yang memerlukan lebih banyak mineral dibandingkan dengan kendaraan konvensional, atau pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai yang memerlukan ketersediaan tembaga dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga gas.
Kenaikan harga logam dasar dan mineral ini terjadi karena permintaan yang tinggi tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan yang memadai.
Dalam upaya untuk meningkatkan pasokan, seringkali diperlukan waktu yang cukup lama, yaitu antara lima hingga sepuluh tahun untuk mengembangkan tambang baru.
Sebagai contoh, terjadi lonjakan harga yang signifikan pada litium, di mana harga litium meningkat sebanyak 1.000 persen antara tahun 2020 dan 2022.
Mengapa Masalah Greenflation Menjadi Penting bagi Indonesia
Saat ini, Indonesia juga tengah mendorong transisi hijau, sejalan dengan target untuk mencapai emisi bersih pada tahun 2060.
Salah satu fokus utama dalam upaya ini adalah mendorong penggunaan sumber energi hijau.
Program unggulannya adalah menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga fosil dan menggantinya dengan pembangkit listrik berbasis sumber energi hijau, seperti pembangkit listrik tenaga surya.
Hal ini menjadikan isu greenflation di Indonesia sangat relevan, karena salah satu dampak yang mungkin timbul dari penggunaan energi hijau adalah inflasi karena kenaikan harga bahan bakar fosil sebagai salah satu upaya mereduksi penggunaan bahan bakar fosil.
Pada 2023, Prancis mengalami periode greenflation yang signifikan. Hal ini menyebabkan demonstrasi kaum Rompi Kuning secara besar-besaran terhadap Presiden Macron.
Demonstrasi ini berlangsung selama tiga minggu dan dipicu oleh sistem perpajakan yang dianggap memberatkan dan tidak sebanding dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Gerakan ini bermula dari kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang bertujuan untuk mendanai pengembangan energi bersih dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Demonstrasi ini kemudian berubah menjadi kerusuhan, dengan aksi pembakaran kendaraan dan tindakan penjarahan yang dilakukan oleh sebagian demonstran.
Pada masa ini, Greenflation juga terjadi di Indonesia. Namun, Greenflation di Indonesia masih identic dengan masalah komoditas hijau seperti pangan.
Menurut informasi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) selama tahun 2023, faktor yang menjadi penyebab utama dari tingginya tingkat inflasi di Indonesia adalah beras, cabai merah, dan rokok kretek.
Masing-masing dari komoditas ini berkontribusi sebanyak 0,53%, 0,24%, dan 0,17% terhadap laju inflasi. Selain itu, komoditas lain yang juga memiliki kontribusi yang signifikan adalah emas dan perhiasan sebesar 0,11%, serta cabai rawit sebesar 0,10%.
Inflasi bahan pangan sampai 6,73% juga terjadi karena selama tahun 2023, sektor pertanian Indonesia harus menghadapi tantangan berat dari El-Nino yang berkepanjangan.
Hal ini harus menjadi perhatian banyak pihak, karena Indonesia akan menjunjung transisi hijau dan greenflation pasti akan menjadi fokus utama dari kebijakan tersebut. (flo/jpnn)
Simak! Video Pilihan Redaksi:
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi