Pihak jaksa penuntut umum dalam kasus sunat perempuan yang pertama dibawa ke pengadilan di Australia, bersikeras untuk menghukum para terdakwa. Dakwaan jaksa sebelumnya dibatalkan oleh pengadilan banding karena tidak ditemukan bukti terjadinya mutilasi.
Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (High Court of Australia) yang menyidangkan perkara ini hari Rabu (12/6/2019).
BACA JUGA: Polri Ungkap Peran Kivlan Zen Dalam Rencana Pembunuhan 4 Tokoh Nasional
Di pengadilan tingkat pertama pada November 2015, mantan perawat Kubra Magennis dan Shabbir Mohammedbhai Vaziri, pemuka komunitas Dawoodi Bohra, serta ibu dari dua anak perempuan, telah divonis bersalah.
Vonis menyebutkan Magennis dan ibu kedua anak itu bersalah memotong bagian alat kelamin anak perempuan berusia enam dan tujuh tahun di rumah mereka di Kota Wollongong dan di pinggiran Sydney.
BACA JUGA: Australia Diminta Lebih Tegas Sikapi Ekstradisi Hong Kong-China
Sedangkan terdakwa Vaziri dinyatakan bersalah menganjurkan warga komunitasnya berbohong mengenai penyunatan itu.
Kasus ini menandai untuk pertama kalinya ada pelaku sunat perempuan diseret ke meja hijau di Australia.
BACA JUGA: WNI Alami Kekerasan di Melbourne, Apa Bantuan Yang Bisa Diharapkan Dari Polisi?
Namun putusan tersebut kemudian dibatalkan di pengadilan tingkat banding pada tahun 2018, karena tidak ditemukan bukti-bukti telah terjadinya mutilasi.
Sunat perempuan umumnya dipahami sebagai praktek merobek atau memotong bagian klitoris dari alat kelamin perempuan yang disaksikan pihak orangtua.
Sejak ketiga terdakwa dijatuhi vonis oleh pengadilan tingkat pertama, telah dilakukan pemeriksaan medis terhadap kedua anak tersebut.
Hasilnya menunjukkan bahwa bagian kepala klitoris mereka tetap utuh, sehingga tidak terbukti bahwa bagian itu telah dipotong dalam proses penyunatan. Photo: Shabbir Mohammedbhai Vaziri (baju putih) saat meninggalkan gedung pengadilan di tahun 2015. (AAP: Dan Himbrechts)
Namun di MA pihak jaksa berargumen bahwa ketiga terdakwa tetap melanggar hukum yang melarang sunat perempuan di New South Wales (NSW), sehingga harus disidangkan ulang.
Anak perempuan tertua dalam persidangan pertama memberikan kesaksian bahwa, "mereka memotong sedikit di bagian intim saya".
Anak ini saat itu menyebutkan dia tidak terbiasa menceritakan apa yang dialaminya karena ibunya melarangnya.
Dia juga mengaku melihat terdakwa Magennis memegang suatu alat yang tampaknya berupa gunting.
Magennis sendiri bersikukuh alat itu bukan gunting melainkan alat penjepit (forceps) yang biasa digunakan di rumahsakit.
Menurut Magennis, sunat perempuan atau khitan, melibatkan "prosesi menyentuh ujung alat kelamin sehingga memungkinkan kulit menyentuh alat logam itu."
Dalam persidangan tahun 2015 silam, pihak terdakwa telah membantah bahwa dalam proses sunat itu hanya menggunakan forceps dan tidak memotong bagian alat kelamin.
Undang-undang di New South Wales melarang tindakan "memotong, menginfibulasi, atau memutilasi" bagian eksternal alat kelamin wanita atau gadis tanpa alasan kesehatan yang sah.
Isu utama dalam gugatan jaksa ke MA menyangkut tafsir dari terminologi "atau mutilasi", dengan pertimbangkan bahwa kedua anak tersebut sama sekali tidak mengalami kerusakan fisik.
Jaksa berdalih bahwa terminologi ini telah mencakup perbuatan ketiga terdakwa sehingga mereka harus disidangkan kembali.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Babi Seberat 300 Kg Ini Dilarang Untuk Berjalan Di Tanah Pemerintah