JAKARTA - Direktur PT Green Planet Indonesia, Ricksy Prematuri yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menganggap Ricksy telah terbukti secara sah melakukan korupsi hingga merugikan negara sebesar USD 3,08 juta.
Pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/5), majelis makim yang diketuai Sudharnawatingsih menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut. "Menjatuhkan hukuman oleh karenanya dengan penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Apabila tak denda dibayar maka diganti pidana kurungan dua bulan," kata Sudharmawatiningsih saat membacakan putusan.
Tak hanya itu, majelis juga memerintahkan Ricksy membayar ganti rugi USD 3,08 juta. Jika pengganti kerugian negara itu tak dibayarkan paling lama sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta Ricksy akan dirampas dan dilelang untuk membayar uang pengganti.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis menghukum Ricksy dengan penjara selama 12 tahun. Atas putusan ini JPU menyatakan akan melakukan banding. Sedangkan pihak terdakwa menyatakan pikir-pikir.
Namun putusan majelis yang terdiri dari tiga hakim itu tidaklah bulat. Hakim anggoya, Sofiadi memiliki pendapat berbeda atau disenting opinion. Namun, karena Sofiadi yang tengah menunaikan ibadah umroh maka pendapatnya dibacakan oleh hakim anggota lainnya, Alexander.
Dalam pendapatnya, Sofialdi menyatakan bahwa PT GPI sudah melaksanakan kontrak sesuai dengan prosedur. Pekerjaan bioremediasi yang dilakukan PT GPI sudah selesai. Terkait keterangan ahli bioremediasi yang dihadirkan di persidangan, Sofialdi berpendapat bahwa keterangan itu diragukan dan tidak independen.
PT GPI juga tak harus mengurus izin sendiri. Sebab, menurut peraturan pemerintah, yang harus mengurus izin adalah Chevron sebagai pemilik limbah.
Sofialdi juga mengungkapkan, pengambilan sampel yang dilakukan ahli Edison Effendi maupun uji sampel yang hanya dilakukan di laboratorium dadakan di Kejaksaan Agung, tak bisa digunakan sebagai bukti di persidangan. Menurutnya, uji sampel bertentangan dengan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi. "Hasilnya menjadi tidak valid dan tidak ilmiah," kata Alexander membacakan pendapat Sofialdi.
Selain itu, pendapat Edison sebagai ahli bisa dikesampingkan karena tidak independen lantaran pernah sama-sama ikut dalam tender peoyek bioremediasi di Chevron.
Selain itu, Sofialdi juga menganggap unsur memerkaya diri sendiri dan orang lain yang dituduhkan kepada Ricksy tidak terbukti secara hukum. Karenanya, Sofiadi menegaskan bahwa Ricksy harus dibebaskan dari seluruh dakwaan. "Mengingat dakwaan primer dan subsider tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan," katanya.
Usai persidangan Ricksy menyatakan ketidakpuasannya atas putusan hakim. Menurut Ricksy, izin itu sebenarnya diberikan kepada pemilik limbah. "Artinya kepada PT Chevron, bukan Green Planet," sesal Ricksy.
Kemudian, ia melanjutkan, di dalam persyaratan perizinan itu disebutkan soal izin lokasi. "Nah yang punya izin lokasi itu Chevron, bukan GPI. Kami adalah sebagai kontraktor," ungkap dia.
Ricksy juga menegaskan, PT GPI tidak pernah tahu bahwa kontrak bioremediasi dibayar dengan dari dana Cost Recovery. "Tidak ada dalam kontrak pada PT GPI dibayar dari cost recovery, semua dari perusahaan PT, Chevron. Tidak ada disebutkan dari PT Chevron akan mengklaim pada negara dengan mekanisme cost recovery," ungkapnya.
Pengacara Ricksy, Najib Ali Gysmar, menilai putusan yang dikeluarkan majelis hakim itu sesat. Pasalnya, sambung Najib, PT GPI bukan penghasil limbah. "Melainkan hanya kontraktor yang datang untuk mengelola limbah yang dihasilkan oleh PT CPI," tegasnya.(boy/jpnn)
Pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (7/5), majelis makim yang diketuai Sudharnawatingsih menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut. "Menjatuhkan hukuman oleh karenanya dengan penjara lima tahun dan denda Rp 200 juta. Apabila tak denda dibayar maka diganti pidana kurungan dua bulan," kata Sudharmawatiningsih saat membacakan putusan.
Tak hanya itu, majelis juga memerintahkan Ricksy membayar ganti rugi USD 3,08 juta. Jika pengganti kerugian negara itu tak dibayarkan paling lama sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta Ricksy akan dirampas dan dilelang untuk membayar uang pengganti.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta majelis menghukum Ricksy dengan penjara selama 12 tahun. Atas putusan ini JPU menyatakan akan melakukan banding. Sedangkan pihak terdakwa menyatakan pikir-pikir.
Namun putusan majelis yang terdiri dari tiga hakim itu tidaklah bulat. Hakim anggoya, Sofiadi memiliki pendapat berbeda atau disenting opinion. Namun, karena Sofiadi yang tengah menunaikan ibadah umroh maka pendapatnya dibacakan oleh hakim anggota lainnya, Alexander.
Dalam pendapatnya, Sofialdi menyatakan bahwa PT GPI sudah melaksanakan kontrak sesuai dengan prosedur. Pekerjaan bioremediasi yang dilakukan PT GPI sudah selesai. Terkait keterangan ahli bioremediasi yang dihadirkan di persidangan, Sofialdi berpendapat bahwa keterangan itu diragukan dan tidak independen.
PT GPI juga tak harus mengurus izin sendiri. Sebab, menurut peraturan pemerintah, yang harus mengurus izin adalah Chevron sebagai pemilik limbah.
Sofialdi juga mengungkapkan, pengambilan sampel yang dilakukan ahli Edison Effendi maupun uji sampel yang hanya dilakukan di laboratorium dadakan di Kejaksaan Agung, tak bisa digunakan sebagai bukti di persidangan. Menurutnya, uji sampel bertentangan dengan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi. "Hasilnya menjadi tidak valid dan tidak ilmiah," kata Alexander membacakan pendapat Sofialdi.
Selain itu, pendapat Edison sebagai ahli bisa dikesampingkan karena tidak independen lantaran pernah sama-sama ikut dalam tender peoyek bioremediasi di Chevron.
Selain itu, Sofialdi juga menganggap unsur memerkaya diri sendiri dan orang lain yang dituduhkan kepada Ricksy tidak terbukti secara hukum. Karenanya, Sofiadi menegaskan bahwa Ricksy harus dibebaskan dari seluruh dakwaan. "Mengingat dakwaan primer dan subsider tidak terbukti maka terdakwa harus dibebaskan," katanya.
Usai persidangan Ricksy menyatakan ketidakpuasannya atas putusan hakim. Menurut Ricksy, izin itu sebenarnya diberikan kepada pemilik limbah. "Artinya kepada PT Chevron, bukan Green Planet," sesal Ricksy.
Kemudian, ia melanjutkan, di dalam persyaratan perizinan itu disebutkan soal izin lokasi. "Nah yang punya izin lokasi itu Chevron, bukan GPI. Kami adalah sebagai kontraktor," ungkap dia.
Ricksy juga menegaskan, PT GPI tidak pernah tahu bahwa kontrak bioremediasi dibayar dengan dari dana Cost Recovery. "Tidak ada dalam kontrak pada PT GPI dibayar dari cost recovery, semua dari perusahaan PT, Chevron. Tidak ada disebutkan dari PT Chevron akan mengklaim pada negara dengan mekanisme cost recovery," ungkapnya.
Pengacara Ricksy, Najib Ali Gysmar, menilai putusan yang dikeluarkan majelis hakim itu sesat. Pasalnya, sambung Najib, PT GPI bukan penghasil limbah. "Melainkan hanya kontraktor yang datang untuk mengelola limbah yang dihasilkan oleh PT CPI," tegasnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Halim Perdanakusuma jadi Bandara Haji Oktober 2013
Redaktur : Tim Redaksi