jpnn.com - Sulit sekali memahami apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi kemarin. Terutama bagi saya. Yang sejak dua hari lalu berada di tempat nan jauh.
Saya ikuti beberapa grup WA: MK tolak permohonan PSI soal perubahan umur cawapres. Berarti Gibran, putra sulung Presiden Jokowi yang lagi menjabat wali kota Solo, tidak bisa maju jadi cawapres Prabowo. Ia baru 36 tahun 1 Oktober lalu.
BACA JUGA: Suhu Panas
"Apa saya bilang. Enggak mungkin MK kabulkan gugatan. Kalau toh kabulkan baru akan berlaku lima tahun lagi," ujar seorang anggota grup dengan bangganya.
Dimuat juga komentar Gibran atas putusan MK yang mengakibatkannya gagal maju sebagai Cawapres. "Tidak apa-apa," kata Gibran di berita itu.
BACA JUGA: Perang Gaza
Berarti perjuangan tokoh seperti Goenawan Mohamad dan Butet Kartaredjasa berhasil. Demikian juga manuver yang dilakukan PDI-Perjuangan.
Prof Mahfud MD, menko polhukam, juga sudah lama berkomentar MK tidak boleh menentukan batas umur capres/cawapres. Itu urusan DPR, si pembuat UU. Bukan urusan MK.
BACA JUGA: Equitable Remedy
Pujian pun mengalir ke MK. Bahwa MK ternyata bukan mahkamah keluarga.
Saya pun menghubungi Butet. Di pikiran saya Butet pasti senang dengan putusan MK seperti itu. Sehari sebelumnya ia bikin pernyataan yang isinya mirip yang disampaikan GM.
"Sudah lega?" tanya saya.
"Masih menunggu kebaikan hati Gibran untuk tidak maju," jawabnya.
"Lho kan MK sudah memutuskan menolak gugatan PSI...berarti Gibran tidak mungkin maju...".
Butet menjawab dengan cara mengirim link berita sebuah media. Saya baca berita itu: pusing.
Isinya tidak jelas. Penulisannya mbulet. Saya tangkap sekilas ada putusan lain dari MK di hari yang sama.
Lalu saya hubungi tiga profesor: Prof Yusril Ihza Mahendra, Prof Jimly Assiddiqie, dan Prof Denny Indrayana. Lalu saya hubungi juga pengacara terkenal Surabaya, Moh Sholeh.
Saya ingin memahami apa yang terjadi di MK kemarin. Menurut Sholeh, MK kemarin itu membacakan enam putusan. Termasuk putusan atas gugatan PSI.
Enam putusan itu dibacakan dua tahap. Lima putusan atas lima gugatan dibacakan sebelum istirahat siang hari.
Sebelum makan siang itu, selesai membaca satu putusan (No.29/PUU-XXI/2023), diteruskan dengan membaca putusan nomor berikutnya.
Lima putusan itu isinya senada: menolak lima gugatan. Artinya, gugatan untuk menurunkan umur calon wakil presiden/presiden menjadi 35 tahun ditolak.
Maka tengah hari kemarin dunia politik gegap gempita. Gibran gagal maju sebagai cawapresnya Prabowo. Banyak sekali yang merayakannya di dunia maya.
Setelah istirahat siang, pukul 14.00, MK bersidang lagi. Yakni untuk membacakan putusan atas gugatan nomor 90.
Isinya: sangat berbeda dengan putusan sebelum makan siang. Isinya mengabulkan gugatan mahasiswa Solo itu sebagian. Yakni syarat usia capres/cawapres tetap 40 tahun, kecuali pernah/sedang menjabat kepala daerah.
Artinya Gibran memenuhi syarat maju sebagai cawapres. Kalau mau. Itulah inti jawaban Butet tadi. Saya pun paham.
Prof Yusril juga berpendapat putusan MK itu membuat orang seperti Gibran bisa jadi cawapres. ''Putusan MK sudah dibacakan. Berlaku sejak selesai dibacakan. Sifatnya final,'' ujar Prof Yusril.
Bedanya, putusan setelah makan siang itu tidak bulat. Empat dari sembilan hakim berbeda pendapat. Termasuk hakim Saldi Isra, tetapi kalah suara.
Saldi sangat kecewa. Ia menumpahkan kejengkelannya di mahkamah.
Ia heran bagaimana MK berubah sikap 180 derajat hanya dalam hitungan sekejap. Hanya selama waktu makan siang.
Anda pasti sudah melihat videonya. Saya juga sudah melihatnya. Banyak orang kirim ke saya. Prof Denny khusus menelepon Saldi. Mengucapkan selamat atas sikap disentingnya. "Saya pusing," ujar Prof Denny menirukan jawaban Saldi.
Apa alasan MK membolehkan usia belum 40 tahun jadi capres/cawapres asal sudah menjabat kepala daerah?
Itu karena kepala daerah sama-sama rumpun eksekutif dengan presiden/wapres dan sama-sama dipilih oleh rakyat.
Maka sepanjang hari kemarin, suhu politik yang mendingin saat makan siang kembali memanas menjelang makan malam. (*)
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sesudah TikTok
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi