Makna Lukisan di Belakang Jokowi - Prabowo Hingga Pesan Tersirat dari Naik MRT dan Makan Sate

Minggu, 14 Juli 2019 – 10:13 WIB
Jokowi dan Prabowo makan siang dengan latar lukisan wayang. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Entah sengata atau tidak, lukisan bergambar wayang menjadi latar saat Joko Widodo dan Prabowo Subianto makan siang di Sate Khas Senayan, FX Sudirman, Jakarta, Sabtu (13/7). Lukisan yang dimaksud itu bergambar para punakawan dan raksasa, lengkap dengan gunungannya.

Ada tujuh tokoh wayang yang ada di lukisan tersebut. Tiga di kiri, empat di kanan. Dua kelompok wayang ini dipisahkan oleh sebuah gunungan. Dalam pewayangan, gunungan biasanya digunakan sebagai pembuka atau penutup sebuah babak.

BACA JUGA: Persaudaraan Alumni 212: Selamat Tinggal, Prabowo Subianto

Tokoh wayang yang ada di sebelah kanan adalah para punakawan. Mereka adalah Semar dan tiga anaknya yaitu Petruk, Gareng dan Bagong (paling belakang sendiri). Di sebelah kiri ada Togog dan sobatnya, Bilung. Paling belakang sendiri adalah raksasa.

Dalam dunia pewayangan, punakawan bertugas menjadi pendamping para ksatria berwatak baik. Mereka adalah penghibur para ksatria. Sedangkan Togog dan kawanannya adalah pendamping abdi dalem raksasa yang berwatak jahat.

BACA JUGA: Golkar Mau Usung Penerus Visi Jokowi untuk Pilpres 2024

Apakah ada kaitan lukisan wayang itu dengan pertemuan Jokowi dan Prabowo? Entahlah. Namun, dalang nyentrik Sudjiwo Tedjo ikut menyoroti lukisan yang jadi latar pertemuan tersebut. 

Dia mengaku senang ada namanya dalam lukisan tersebut. Sosok yang dimaksud adalah Togog yang punya nama lain Tejo Mantri. Kata dia, Togog adalah kakaknya Semar. 

BACA JUGA: Hanung : Jokowi Cocok Perankan Tokoh Darsam di Bumi Manusia  

“Big Bang dalam wayang adalah telur yang pecah, kulitnya jadi Togog, putihnya jadi Semar dan kuningnya jadi Bathara Guru,” cuit Sudjiwo Tedjo, di akun Twitter miliknya, @sudjiwotedjo. Sejumlah followernya ikutan membahas maksud cuitan tersebut.

BACA JUGA: Persaudaraan Alumni 212: Selamat Tinggal, Prabowo Subianto

Tak cuma lukisan itu yang disorot. Sudjiwo Tedjo juga mengulas soal Jokowi dan Prabowo yang bertemu di jalan. Menurut dia, pertemuan tersebut mengandung kode tersendiri. Karena tak saling bertamu. “Khas teater Jawa Timur-an yang urakan. Saya bangga,” ungkapnya.

Pendeta Hindu Bali Mpu Jaya Prema ikutan menganalisa. Kata dia, tradisi di kampungnya, pertemuan di jalanan itu hanya saling sapa. Jika mengobrol tentang sesuatu, apalagi menghasilkan kesepakatan, itu tak sah. “Karena tak jelas siapa tuan rumah dan tamunya. Tak ada yang nraktir atau biayai minum kopi,” ujarnya, di akun @mpujayaprema.

Peneliti cerita rakyat dari UI Suni Wasono mengatakan, lukisan wayang yang latar belakang itu memang mendatangkan banyak tafsir. Dalam lukisan itu, ada tokoh Semar dan Togog. Kata dia, dalam pewayangan, tugas Semar bukan hanya sebagai pendamping para ksatria. Semar adalah jelmaan Dewa Ismaya, dewa yang menjelma dalam wujud manusia. Dalam konteks politik, Punakawan itu adalah representasi rakyat. 

“Dengan adanya lukisan itu bisa ditafsirkan kalau pimpinan yang didukung sudah rukun, rakyatnya pun rukun. Kalau pimpinan mereka sudah berekonsilisasi, rakyatnya pun bersatu,” kata Sunu.

Sementara itu, dalang politik Rohmad Hadiwijoyo punya tafsir lain. Kata dia, sepintas lukisan wayang tersebut menggambarkan adegan yang biasa. Sebuah adegan pertemuan antara punakawan, abdi dalem Pandawa dan abdi dalem dari pihak raksasa, yaitu Togog dan Bilung. “Para abdi dalem itu sedang bernegosiasi untuk kepentingan bosnya yang berseberangan,” kata Rohmad, saat dikontak Rakyat Merdeka tadi malam.

BACA JUGA: Pilihan Stasiun MRT Jadi Lokasi Pertemuan Jokowi - Prabowo Memang Sarat Makna

Secara keseluruhan, Rohmad menilai pertemuan keduanya sangat positif. Terlihat sekali mengutamakan kepentingan rakyat. Untuk Indonesia yang lebih baik. Diawali naik MRT diakhiri dengan makan sate. Menurut dia, ada pesan tersirat dalam peristiwa itu.

Naik MRT menunjukkan mereka berdua sudah dalam satu tujuan untuk membangun Indonesia yang padat teknologi dan inovasi. “Makan sate menunjukkan keduanya merakyat,” ujarnya.

Soal pertentangan dan perbedaan yang selama ini terjadi, Rohmad menggambarkannya ibarat perang kembang seperti dalam lukisan wayang tersebut. Sebagai kekembangan demokrasi. Yaitu perangnya satria melawan raksasa. Dalam dunia pewayangan, fragmen perang kembang adalah adegan wajib dalam sebuah pagelaran. Inti dari adegan itu adalah perang melawan nafsu sendiri. Raksasa adalah simbol nafsu sendiri. Sementara manusia terbaik adalah yang bisa mengalahkan nafsunya sendiri. (bcg)

Simak! Momen-momen pertemuan Jokowi-Prabowo selama Pilpres 2019:


BACA ARTIKEL LAINNYA... Sandi Pengin Jadi Oposan Saja, tetapi Tergantung Keputusan Gerindra


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler