MEREKA datang jauh-jauh dari Timur Tengah ke Cisarua. Bervisa turis, belasan perempuan ras kaukasoid ini tak sekadar datang untuk melancong. Mereka meliarkan diri menjadi spesies baru satu kupu-kupu malam Puncak. Mereka disebut Magribi.
“Yana ruh coffera jib talatabatan magribi baden iji vila (Ayo pergi ke salon, ambil tiga magribi itu ke vila, red),” ujar Tariq (42) warga negara Arab Saudi kepada Rama, pramuwisata (guide) asal Jakarta, di sebuah vila, Desa Tugu Utara, Cisarua, akhir Mei malam itu. Mendapat titah, Rama balik kanan menuju Salon Wati, sebuah salon kecil di sebelah Masjid Al Muqshit, Jalan Raya Puncak, Tugu Utara.
Di vila mewah berkamar lima itu, Tariq tak sendiri. Dia bersama Saud (40), Yasir (42), sejawatnya di Kepolisian Kerajaan Arab Saudi. Tiga serangkai ini sudah dua pekan di Tanah Air. Selama itu, mereka menikmati gemerlap di Ibukota, Jakarta. Pekan ketiga di Indonesia, Tariq cs memilih menghabiskan sisa waktu liburannya di Puncak.
Selang 15 menit, Rama dengan mobil Xenia hitamnya kembali ke vila membawa pesanan Tariq. Pria berkulit legam ini memboyong tiga perempuan berhidung mancung, wangi, dan bertubuh sintal. Mereka bernama Misdad (23), Hanan (26) dan Tisam (28). Saat dipertemukan, tiga pasangan ini langsung akrab. Maklum saja, tutur bahasa dan gaya obrolan tiga perempuan itu sama dengan trio hidung belang tersebut. Perempuan-Perempuan itu diberlakukan layaknya istri meski hanya semalam.
Ya, kupu-kupu malam pesanan Tariq rupanya bukanlah kupu-kupu malam biasa. Misdad, Hanan, Tisam merupakan pramuria impor asal Timur Tengah. Di kalangan pelancong Arab, jenis spesies kupu-kupu malam ini dikenal dengan nama magribi. “Turis-turis Timur Tengah memang jarang memesan perempuan lokal. Mereka sudah tahu jika ada kaum magribi di Puncak,” jelas pria yang sudah sepuluh tahun menjadi guide ini kepada Radar Bogor, akhir pekan lalu.
Keberadaan magribi di Puncak memang baru ramai setahun terakhir ini. Sebelumnya, para magribi beroperasi di sejumlah hotel dan tempat hiburan malam khas Timur Tengah di Jakarta. Salah satunya, Cafe D"Layla, Jakarta. Sebarannya pun di Puncak belum banyak, hanya sekitar 15-an orang. Mereka "bermaktab" terpisah-pisah. Karena memang, setiap lima-tujuh perempuan magribi lebih memilih membentuk koloni yang berbeda.
Biasanya, kupu-kupu malam ini bersarang di sebuah salon. Ada dua salon yang kerap ditongkrongi magribi, yakni Salon Wati dan salah satu lagi di depan Kampung Ciburial, Tugu Utara. Di kedua salon itulah magribi bersolek sembari menunggu orderan dari seorang guide turis Timur Tengah, layaknya Rama.
Untuk bisa menikmati tubuh seksi wanita asal Maroko itu, sambung Rama, para turis cukup merogoh kocek Rp2-3 juta per malam. Dengan kisaran harga itu, magribi menegaskan tidak akan sembarangan menerima orderan. “Mereka disewa dari pukul 19:00 hingga siang hari sekitar pukul 12:00. Tak ada short time. Magribi tak suka karaoke atau semacamnya. Kalau memang diorder, mereka hanya mau berada di dalam vila,” jelas Rama.
Rama menuturkan, pangsa pasar magribi di Puncak, makin hari makin menjanjikan. Itu sebabkan, jumlah turis Timur Tengah ke Puncak terus bertambah. Dan kini tak hanya koloni Tisam yang ada di Puncak. Perlahan, rekan-rekannya yang sejenis mulai berdatangan. “Tak lebih dari lima belasan. Mereka tak mau bergabung, karena di sana (Timur Tengah) pun demikian,” sela Rama.
Selain turis Timur Tengah, biasanya magribi juga melayani pria hidung belang lokal. Tarif yang diketok pun sama. Biasanya, tutur Rama, pejabat dari Timur Indonesia yang sering memesan magribi. “Biasanya pejabat Papua yang sedang diklat,” tukasnya.
Karena sedang banjir orderan, belum lama ini magribi telah memiliki pesaing sengit. Mereka biasa disebut kaum Hadromi. Perempuan blasteran Arab dan Indonesia. Hadromi kerap menegaskan diri bahwa mereka merupakan magribi. Itu agar, tarif pakai mereka sama. Namun tak ada hadromi yang bersangkar di Puncak. Mereka banyak berasal dari Kota Bogor. (selengkapnya baca Hama itu Bernama Hadromi). Tisam mengaku kesal dengan keberadaan hadromi. Menurutnya, ada persaingan tidak sehat yang sedang dilakukan hadromi. “Cukup mengesalkan bila tempat usaha anda diganggu bukan?” tegasnya.
Seperti apa jejak perempuan magribi di Puncak?
Perempuan magribi tentu tak datang dengan sendirinya ke Puncak. Sebelumnya, mereka beroperasi di negara tetangga Arab Saudi, seperti Bahrain, Qatar, Suriah, Lebanon. Via akses Rama, Radar Bogor akhirnya dapat berkenalan dengan salah satu magribi bernama Tisam. Dia pun berkenan mengisahkan perjalanannya menuju Puncak. Tisam mengaku merancang bermigrasi ke Indonesia sejak lima tahun lalu. Kala itu, gadis asal Maroko ini mulai merasakan kehilangan banyak pelanggan. Selidik punya selidik, ternyata tak hanya Tisam yang mengalami penurunan pendapatan. Rekannya sesama magribi di Bahrain dan Qatar pun demikian.
“Justru kami baru mengetahui ada tempat bernama Puncak dari pelanggan asal Arab. Saya pun mencari tahu apakah benar banyak pria Arab pergi ke Puncak setiap tahunnya, dan ternyata benar,” jelas perempuan yang sudah dua tahun beroperasi di Puncak. Usai mengenal Puncak, Tisam dan tiga orang temannya mematangkan rencana untuk segera hijrah ke selatan Bogor ini. Keputusan membuat lahan baru di Puncak berlangsung cepat diambil Tisam cs lantaran, biaya hidup yang murah. Dari Bahrain, Tisam hanya memerlukan sangu 2.500-3.000 Real, atau Rp6-7 juta untuk keperluan akomodasi.
“Kami berangkat dan datang ke Indonesia sebagai turis. Kami tidak dikoordinir oleh germo dan semacamnya,” tegas perempuan berwangi parfum Buhur Ude (parfum minyak kayu gaharu) ini. Belum sampai Puncak, Tisam tertahan di Jakarta. Bukan lantaran urusan keimigrasian, namun pangsa pasar magribi di ibukota juga cukup menjanjikan. Terlebih, Tisam bertemu dengan rekan sepekerjaan di sejumlah diskotek Jakarta. “Memang banyak yang tertahan di Jakarta. Tapi saya penasaran ingin ke Puncak,” tutur Tisam.
Selang sebulan mencari nafkah di ibukota, Tisam akhirnya berlabuh ke Puncak. Semula, dia bersama rekannya memilih vila seputar Tugu Utara dan Tugu Selatan sebagai tempat penginapan. Namun belakangan, karena bisnis esek-eseknya kian menjanjikan, Tisam pindah ke hotel bintang tiga di Cisarua. “Untung kami tahu perkampungan itu (Warung Kaleng, red). Tak sampai dua hari saya di sini, saya langsung dapat pelanggan,” cetusnya.
Lantaran bervisa turis, ‘alarm’ tinggal Tisam sering berbunyi tiga bulan sekali. Untuk mengakalinya agar tak disanksi karena overstay, Tisam mesti keluar dari negeri ini terlebih dahulu. Tapi dia tak pulang kampung. Gadis berambut ikal ini memilih berlibur ke Thailand, Malaysia dan Singapura.
Usai melarikan diri sementara, Tisam kembali ke Puncak seperti biasanya. Tapi ada juga yang tak mau ribet. Mereka memilih membayar denda overstay dengan kisaran dari mulai Rp200 ribu hingga 40 Dollar Amerika. Dan itu berlangsung terus-menerus. Kantor Imigrasi Bogor sebenarnya tahu akan aktivitas ini. “Kami tahu jika di kawasan Puncak ada hal seperti itu. Tapi, minimnya informasi dan data di lapangan membuat petugas kesulitan menjaring mereka saat sedang melakukan transaksi seks atau razia di tempat hiburan malam,” tutur Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Bogor, Bambang Catur.(gar/yus)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berburu Pernik Eks Uni Soviet di Pasar Andriyivsky Uzviz, Ukraina
Redaktur : Tim Redaksi