Malaria Sebabkan Resiko Keguguran

Senin, 25 Juni 2012 – 10:28 WIB

LARANTUKA-Penyakit malaria ternyata sangat berbahaya.  Penyakit infeksi yang disebabkan parasit plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia itu berisiko tiga kali lipat menyebabkan keguguran ibu hamil.

Malaria membahayakan karena menyebabkan anemia atau kekurangan darah. Plasmodium malaria membuat sel-sel darah merah banyak yang hancur. Hal itu membuat efek malaria sangat berbahaya pada 3 bulan pertama kehamilan. Karena itu, deteksi dini pada wanita hamil serta pengobatan yang efektif sangat penting untuk mengurangi risiko itu.

Demikian diungkapkan spesialis penyakit dalam di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tc. Hillers Maumere, dr. Asep Purnama di kepada anggota DPRD Flores Timur dalam workshop yang diselenggarakan LSM Yayasan Sosial Pembangunan Masyarakat (Yaspem) Maumere, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur.

Dikatakan mantan Direktur RSUD Tc. Hilers Maumere ini, anemia akibat malaria juga dapat menyebabkan pertumbuhan janin kurang baik. Selain itu, malaria menjadi penyumbang risiko kematian bayi, ibu dan balita. Setengah dari jumlah kematian bayi, ibu dan balita, kata dia, disebabkan oleh malaria. "Penyakit mematikan ini memang telah lama diketahui menyebabkan kelahiran prematur dan berat lahir rendah," katanya.

Berdasarkan data yang ada, sebutnya, pada tahun 2009 jumlah kematian bayi, ibu dan balita di NTT mencapai angka 1.400 orang. Jika dibagikan, maka setiap bulannya ada 100 kasus kematian bayi, ibu dan balita. Sementara itu, anak yang berhasil hidup 17 ribu orang menderita kurang gizi.

Selain risiko kematian, malaria juga menyebabkan 'economic lost' atau kerugian ekonomi yang besar. Data di RSUD Tc Hilers Maumere, jelasnya, total biaya yang harus dibayar oleh negara melalui program jamkesmas untuk masyarakat yang sakit karena malaria sebesar Rp 2 miliar lebih.

Di Flores Timur, pada tahun 2006, kerugian yang diderita akibat malaria sebesar Rp 3,6 miliar. Angka tersebut meningkat di tahun 2007. Pada tahun itu, kerugian akibat malaria menjadi Rp 5,5 miliar. Sementara di tahun 2010 sebesar Rp 4,4 miliar.

Jumlah kerugian tersebut dihitung setelah membuat total biaya berobat, transportasi untuk berobat dan biaya perawatan. "Malaria juga membuat produktivitas menjadi menurun. Kalau tidak kerja, berapa kerugian ekonomi yang diderita?" ujarnya.

Karena itu, ia berharap, semua pihak sudah seharusnya bekerja keras secara bersama untuk memberantas penyakit malaria. Di NTT sendiri, sudah sejak tahun 2005 pemberantasan malaria diatur melalui peraturan daerah. Akan tetapi, Perda Nomor 3 itu kurang terasa dalam implementasinya.

"Tidak pake helm yang risikonya hanya untuk pribadi saja pemerintah melakukan penegakan aturan, apalagi malaria yang diidap satu orang risikonya pada banyak orang. Pemerintah tidak boleh diam," tandasnya. (krf2/ito)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kebanyakan Begadang Nonton Euro, Warga China Tewas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler