Malaysia Belum Taati Jatah Libur TKI

Sabtu, 29 September 2012 – 11:58 WIB
JAKARTA - Sejumlah kesepakatan baru yang tertuang dalam MoU pengiriman TKI ke Malaysia ternyata belum sepenuhnya ditaati Negeri Jiran, terutama soal jatah satu hari libur bagi buruh migran.

Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Binapenta Kemenakertrans) Reyna Usman mengatakan, jaminan one day off atau libur satu hari kadang belum sepenuhnya diterapkan. Alasannya, ada kesepakatan dengan pengguna dan permintaan dari TKI sendiri. "Kita tetap meminta kepastian agar para TKI tersebut benar-benar mendapatkan kompensasi pembayaran uang lembur jika tidak mengambil ketentuan hari libur atau one day off tersebut," ujarnya di Jakarta, Jumat 28/9).

Ia mengatakan, belum jalannya MoU terungkap saat pertemuan Joint Working Group (JWG) antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur, 27-28 September.
Selain Reyna, delegasi Indonesia diwakili Deputi Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kementerian Luar Negeri Dino Nurwanyudin, Atase Naker di Malaysia Agus Triyanto, Ses. Balitfo Kemnakertrans Maruli Hasoloan, Suryana Sastradiredja (KBRI di Malaysia), dan Amiruddin Panjaitan (KBRI di Malaysia).

Sementara Delegasi dari Malaysia dipimpin Sekjen Kementerian Sumber Manusia Dato’ Seri Zainal Rahim Seman, Deputi Sekjen KSM En Mohd Sahar Darussman, dan Dirjen Departemen Ketenagakerjaan En Mohd Sahar Darussman.

Reyna mengatakan, sejak dicabutnya moratorium 1 Desember 2011 lalu, baru ada 64 TKI informal yang dikirim ke Malaysia. Masih sedikitnya TKI yang dikirim karena pemerintah sudah memperbaiki perekrutan dan pelatihan 200 jam. Selain itu, mereka hanya bekerja untuk satu jabatan dari empat jabatan yang ada, yaitu babysitter, pengasuh rumah, juru masak, dan perawat orang tua.

"Kedua negara sepakat akan memperkuat aspek pengawasan dan evaluasi rutin terhadap agen penempatan TKI di masing-masing negara. Hal ini diterapkan maksimal untuk memastikan proses penempatan dan perlindungan TKI berjalan dengan baik,“ bebernya.

Reyna menambahkan, dalam pertemuan tersebut delegasi Indonesia mengusung beberapa persoalan utama yang selama ini masih butuh pembahasan dalam mencari solusi penerapannya di lapangan, yaitu soal penerbitan Journey performance (JP) Visa, pasport, hari libur (one day off), cost structure, dan calling visa. "Kita mendesak dihentikannya penerbitan JP visa yang ditenggarai menjadi pintu masuk bagi TKI domestik worker secara non prosedural untuk bekerja di Malaysia, sehingga dapat memicu terjadinya penempatan TKI ilegal dan nonprosedural," katanya.

Permintaan tersebut, lanjut Reyna, akhirnya disetujui Malaysia. Bahkan, sejak Maret 2012 sudah tidak ada JP yang dikeluarkan, kecuali untuk beberapa alasan tertentu dan sifatnya terbatas. "Kami meminta agar kebijakan ini harus diterapkan secara menyeluruh bagi TKI yang bekerja di Malaysia," urai Reyna.

Sementara itu, Delegasi Indonesia pun menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen dengan konsep 200 jam pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelatihan kerja bagi TKI domestic worker, sehingga keterampilan dan kompetensi kerja pada TKI bisa diandalkan.

”Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pelatihan, maka disadari harus ada penambahan biaya pelatihan seperti yang tercantum dalam besaran biaya cost structure. Tapi kita sepakat akan dibicarakan lebih lanjut dalam forum JTF,” kata Reyna. Selama ini, besaran pembayaran cost structure penempatan TKI ke Malaysia disepakati bahwa 2,711 RM dibebankan pengguna di Malaysia dan sebesar 1.800 RM ditanggung TKI. (cdl)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dugaan Sementara Karena Konsleting

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler